Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam mengenal Nabi Khidir as sebagai nabi yang hidup di zaman Nabi Musa. Nabi ini kerap disebut masih hidup hingga kini.
Soal Nabi Khidir, Tim Aswaja Center Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sidoarjo, Muh Fiqih Shofiyul Am, memberi penjelasan.
Baca Juga
Saat mengaji di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Fiqih sempat memerhatikan kitab unik tentang segala hal terkait Nabi Khidir. Kitab itu sempat dikaji oleh ulama sekaligus politikus Indonesia, KH Maimoen Zubair saat Ramadhan tahun 2009, selepas Ashar menjelang buka puasa.
Advertisement
“Kitab ditulis oleh Syekh Mahfudz Termas. Sementara, KH Maimoen dalam kitab ini berperan merestorasi, menyalin dari manuskrip asli, men-tahqiq (menguji keaslian), dan mempublikasikannya,” kata Fiqih mengutip NU Online, Selasa (9/7/2024).
Kitab ini jarang ditemukan dalam daftar karya Syekh Mahfudz Termas. Waktu penulisan kitab, KH Maimoen memberikan pengantar untuk kitab dan menyebutkan bahwa kitab ini ditulis oleh Syekh Mahfudz pada tanggal 28 Safar 1337 Hijriyah atau 3 Desember 1918 Masehi. Setelah menulis kitab Bughyatul Adzkiya fi Bahtsi an Karamatil Auliya pada tanggal 18 Rabiul Awal di tahun yang sama.
Kitab yang disebut Inayatul Muftaqir ditulis oleh Syekh Mahfudz atas dasar penelitannya tentang segala hal yang terkait dengan Nabi Khidir dari kitab Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani.
Bahas Pro Kontra Keabadian Nabi Khidir
Kitab Inayatul Muftaqir membahas tentang pro kontra keabadian Nabi Khidir dan berisi delapan sub pembahasan, yaitu:
- Antara Khidir dengan Musa.
- Nasab Khidir.
- Kenabian Khidir.
- Eksistensi Keabadian Khidir dan Faktornya.
- Pendapat Pakar tentang Kematian Khidir
- Informasi keberadaan Khidir di era Nabi Muhammad hingga sekarang.
- Informasi eksistensi Khidir setelah Nabi Muhammad dan orang-orang yang pernah bertemu dengannya.
- Kesimpulan.
Advertisement
Beda Pendapat Syekh Mahfud dan Al-Hafizh Ibnu Hajar
Menurut KH Maimoen dalam pengantar kitab, Syekh Mahfudz cenderung berbeda pendapat dengan Al-'Asqalani terkait eternalitas (keabadian) Nabi Khidir.
Al-'Asqalani memang tidak menyinggung secara tekstual dalam Al-Ishabah, akan tetapi Al-'Asqalani membahas tema ini khusus dalam kitab lain berjudul Az-Zahrun Nadhr fi Naba’i Khidr.
Syekh Mahfudz lebih condong kepada pendapat tentang keabadian Khidir dengan argumentasi dan dalil yang menurutnya kuat yang mendukung pendapatnya tersebut.
Syekh Mahfudz menyebutkan argumentasinya setelah menguraikan argumentasi al-Asqalani yang berseberangan dengan pendapatnya.
Kiai Maimoen secara pribadi mendukung pendapat Syekh Mahfudz tentang eksistensi Nabi Khidir hingga saat ini. Kiai Maimoen juga menyebutkan sanad tarekat Idrisiyah, terkenal juga dengan tarekat Khidiriyah dalam pengantarnya.
Nabi Khidir dalam Al-Quran
Bahkan Kiai Maimoen mengungkapkan pengalaman pribadi bertemu dengan guru-gurunya yang pernah berjumpa dengan Nabi Khidir dalam keadaan sadar dan mendapatkan ilmu serta siraman ruhani yang sangat banyak (ilmu laduni) darinya.
Kitab ini ditulis dengan judul Inayatul Muftaqir bima Yata’allaqu bi Sayyidina Khidir dengan jumlah 53 halaman.
Kisah Nabi Khidir tertulis dalam Al Quran surat ke-18 yakni Al Kahfi ayat 65 hingga 82.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Artinya:
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami,” QS Al Kahfi ayat 65.
Cerita tentang Nabi Khidir dijelaskan pula di ayat-ayat berikutnya hingga ayat 82.
Advertisement