Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah resmi mewajibkan semua produsen air minum dalam kemasan (AMDK) mencantumkan label peringatan bahaya senyawa kimia Bisfenol A (BPA) pada galon air minum dengan kemasan plastik polikarbonat. Kebijakan tersebut tertuang dalam revisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan yang disahkan pada 1 April 2024 lalu.
Banyak kalangan menyambut positif terbitnya peraturan baru tentang Label Pangan Olahan ini, termasuk dari Ahli farmakologi Universitas Airlangga, Profesor Junaidi Khotib.
Baca Juga
Menurut Prof Junaidi, kebijakan pelabelan peringatan bahaya BPA merupakan langkah nyata pemerintah dalam melindungi kesehatan publik dalam jangka panjang.
Advertisement
“Dengan adanya regulasi BPOM terkait pelabelan, masyarakat akan lebih teredukasi dan dapat memilih produk yang menjamin kesehatan serta mencegah potensi penyakit yang berhubungan dengan endokrin,” katanya.
Prof Junaidi menerangkan, BPA sejatinya adalah senyawa kimia sintesis yang dikenal luas sebagai pengganggu fungsional endokrin (endocrine disrupting compound).
“Senyawa ini menyerupai senyawa endokrin dalam tubuh, termasuk beberapa hormon, dan dapat membentuk ikatan pada reseptor hormon. Ikatan endokrin dengan reseptornya akan menjamin fungsi fisiologis terjadi dengan baik. Namun jika fungsinya diganggu oleh BPA, maka keadaan fisiologis ini akan bergeser pada keadaan patofisiologi,” katanya.
Dampak Negatif Paparan BPA bagi Kesehatan
Judandi menyebut ada banyak penelitian yang mengungkap dampak paparan BPA terhadap kesehatan mental.
“Dalam penelitian di laboratorium pada hewan coba, paparan BPA dengan berbagai kadar pada jangka waktu lama dapat menimbulkan gangguan perilaku berupa kemampuan motorik, aktivitas gerak, keseimbangan, serta daya ingat. Pada studi epidemiologi, kadar BPA dalam darah atau urin pada anak usia pertumbuhan berkorelasi erat dengan gangguan perilaku, kecemasan, dan depresi,” tambahnya.
Riset Soroti Mekanisme Migrasi BPA
Sejumlah riset terkait bahaya BPA juga menyoroti mekanisme migrasi BPA dari kemasan ke dalam air minum.
“Komponen BPA pada polimer plastik mampu mempertahankan bentuk plastik dan menjaga agar tidak mudah rusak. Namun, BPA dapat terlepas ke dalam makanan atau air minum yang dikemas. Migrasi ini tergantung pada tingkat keasaman cairan yang dikemas, suhu penyimpanan, dan paparan sinar matahari,” katanya.
Selain itu, dia menyatakan bahwa penelitian menunjukkan bahwa jumlah BPA yang bermigrasi dari polimer polikarbonat meningkat seiring dengan siklus penggunaan kemasan isi ulang.
“Dari data tiga kali pemeriksaan pada fasilitas produksi oleh BPOM kurun 2021-2022, didapati kadar BPA yang bermigrasi pada air minum dengan jumlah melebihi ambang batas aman 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut-turut 3,13%, 3,45%, dan 4,58%,” katanya.
Mengutip penelitian di China, Junaidi menyebutkan bahwa paparan BPA dikaitkan juga dengan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) selama perkembangan remaja.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi BPA dalam urin pada kelompok anak dengan ADHD secara signifikan lebih tinggi. Peningkatan kadar BPA berkorelasi dengan peningkatan kejadian ADHD, terutama pada anak laki-laki,” paparnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 1 April 2024, BPOM telah mengesahkan penambahan dua pasal pada peraturan Label Pangan Olahan, yakni kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan (Pasal 48a) dan kewajiban pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat.
Pasal 61A dalam peraturan anyar tersebut menyebutkan, “Air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan ‘dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan’ pada label."
Pasal lainnya menyebut produsen galon air minum bermerek punya waktu tenggang (grace period) empat tahun untuk mentaati peraturan tersebut.
(*)
Advertisement