Sukses

Banyak Celah dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, PKJS UI: Berpotensi Lemahkan Upaya Pengendalian Tembakau di Masa Mendatang

Banyaknya celah pada bagian Pengamanan Zat Adiktif di PP Nomor 28 Tahun 2024 akan melemahkan upaya pengendalian tembakau ke depan.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Ir. Aryana Satrya mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah atau PP No. 28 tahun 2024 tentang Kesehatan masih memiliki banyak celah.

“Bagaimanapun, sangat disayangkan masih banyak celah pada bagian Pengamanan Zat Adiktif di PP ini yang akan melemahkan upaya pengendalian tembakau ke depan,” ujar Aryana dalam temu media pada Rabu, 31 Juli 2024 di Jakarta.

Menurutnya, aturan-aturan seperti jumlah 20 batang per kemasan yang hanya berlaku untuk rokok putih sedangkan perokok Indonesia merokok rokok kretek. Serta larangan iklan yang hanya berlaku di media sosial sedangkan media digital selain media sosial begitu masif iklan rokoknya.

“Tentu akan menjadi celah kelemahan PP ini yang tujuannya memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya rokok dan rokok elektronik.”

Senada dengan Aryana, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Prof Hasbullah Thabrany, menyampaikan bahwa regulasi ini memang belum ideal.

“Meski regulasi ini belum ideal, kami mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah menandatangani PP Kesehatan ini,” kata Hasbullah dalam kesempatan yang sama.

Dia menyadari sulitnya pengaturan pengendalian produk zat adiktif tembakau yang lebih ketat dan sempurna di PP ini, mengingat intervensi dan tekanan yang luar biasa oleh industri rokok dan pendukungnya.

“Namun dengan segala keterbatasan di PP ini, kami mendorong Pak Presiden Jokowi maupun Presiden Terpilih Pak Prabowo dan jajarannya agar PP Nomor 28 Tahun 2024 segera dilaksanakan. Kami siap membantu proses sosialisasi untuk memastikan masyarakat memahami haknya atas perlindungan kesehatan,” tambahnya.

2 dari 4 halaman

Pemerintah Daerah Harus Ikut Proaktif

Temu media juga dihadiri Ketua Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), dr. Sumarjati Arjoso. Di sana ia mengatakan bahwa PP ini mengamanatkan penerapan aturan yang mengikat pada kementerian-kementerian teknis terkait.

“Sehingga beban masalah konsumsi rokok yang tinggi di negara ini bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mengingat dampaknya yang juga multi-sektor,” ujar Sumarjati.

“Peran Pemerintah Daerah yang juga akan sangat besar dalam penerapan aturan ini dan menjadi bagian yang sangat penting, sehingga diharapkan pemerintah daerah turut proaktif dalam implementasi di daerahnya masing-masing,” tambahnya.

3 dari 4 halaman

Harapan Masyarakat Sipil terkait PP Nomor 28 tahun 2024

Ketiga perwakilan organisasi masyarakat sipil itu khususnya menyoroti soal Pengamanan Zat Adiktif. Sebelumnya, peraturan pelaksana Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 baru saja disahkan pada 26 Juli melalui Peraturan Pemerintah atau PP nomor 28 tahun 2024 tentang Kesehatan.

Di dalamnya terdapat bagian Pengamanan Zat Adiktif yang mengatur peredaran, pemasaran, dan konsumsi produk zat adiktif tembakau dan rokok elektronik (pasal 429 - 463), yang menjadi perhatian masyarakat sipil.

Ketiganya berharap, pengaturan di dalam bagian Pengamanan Zat Adiktif ini mampu memberikan perlindungan yang kuat kepada masyarakat terhadap produk zat adiktif yang terus meningkat konsumsinya di Indonesia. Terutama pada anak-anak dan remaja. 

4 dari 4 halaman

Tingginya Prevalensi Perokok Indonesia

Sebagaimana diketahui, Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi merokok tertinggi di dunia. Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menyebutkan 34,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia adalah perokok. Dengan penambahan jumlah perokok dewasa 8,8 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir dan peningkatan konsumsi rokok elektronik 10 kali dalam satu dekade. Serta prevalensi perokok laki-laki yang masih menempati posisi tertinggi di dunia.

Di sisi lain, perokok usia pelajar 10 hingga 18 tahun sebesar 7,4 persen (Survei Kesehatan Indonesia, 2023) yang terancam perkembangan otaknya akibat adiksi nikotin.

Sementara itu, penyakit tidak menular mematikan seperti stroke, penyakit jantung, dan kanker paru dengan faktor risiko utama merokok terus meningkat, dan menempati posisi-posisi teratas klaim jaminan kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Ditambah dampak lain, seperti sulitnya pengentasan kemiskinan dan penurunan prevalensi stunting yang salah satunya juga dipicu oleh konsumsi rokok.