Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan yang menyinggung soal alat kontrasepsi tengah ramai jadi perbincangan.
Dalam PP ini dibahas soal penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja, tepatnya di Pasal 103 ayat 4.
Baca Juga
Akibatnya, tak sedikit masyarakat menganggap bahwa pemerintah memperbolehkan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan di kalangan para pelajar.
Advertisement
Terkait isu ini, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dokter Hasto Wardoyo ikut angkat bicara.
Dia menegaskan, pihaknya menentang perzinahan dan kontrasepsi harus digunakan oleh sasaran yang tepat.
"BKKBN sangat menentang perzinahan. Kontrasepsi harus digunakan oleh sasaran yang tepat," kata dokter Hasto dalam kegiatan Jajaki, Layani, dan Input Data ke dalam Elsimil bagi Calon Pengantin (Jalin Catin) di Aula Pendopo Kota Subulussalam, Provinsi Aceh, Selasa (06/08/2024).
"Remaja itu memang unik. Remaja yang menjelang nikah harus ingat, Undang-Undang itu diperbolehkan beli alat kontrasepsi dengan anak umur 15, 16, 17 asalkan sudah menikah. Maka dari itu yang diberikan alat kontrasepsi jangan yang masih SMP dan belum menikah."
Hasto menambahkan, kelompok orang yang boleh membeli alat kontrasepsi sepatutnya disesuaikan dengan norma agama.
“Yang diperbolehkan beli alat kontrasepsi sebetulnya harus disesuaikan dengan norma agama juga. Yang mau nikah berjanji sebelum sah jangan melakukan hubungan seks," kata dokter Hasto.
Penyediaan Alat Kontrasepsi Tidak Ditujukan untuk Semua Remaja
Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Mohammad Syahril telah memberi penjelasan soal simpang siur isu alat kontrasepsi di sekolah. Menurutnya, edukasi terkait kesehatan reproduksi memang termasuk soal penggunaan kontrasepsi.
“Namun penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan,” kata Syahril di Jakarta, Senin (5/8/2024).
“Jadi, penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil,” tambahnya.
Pernikahan dini akan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Risiko anak yang dilahirkan akan menjadi stunting juga sangat tinggi.
Sesuai dengan ketentuan dalam PP tersebut, sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko. Dengan demikian, penyediaan alat kontrasepsi tidak akan ditujukan kepada semua remaja.
Advertisement
Imbau Masyarakat Tak Salah Persepsi
Syahril mengimbau agar masyarakat tidak salah persepsi dalam menginterpretasikan PP tersebut, dan aturan itu akan diperjelas dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai aturan turunan dari PP tersebut.
Aturan turunan juga akan memperjelas mengenai pemberian edukasi tentang keluarga berencana bagi anak usia sekolah dan remaja yang akan disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan usia anak.
Menurut Anggota Komisi IX DPR RI
Dalam keterangan lain, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Edy Wuryanto mengatakan, dirinya paham jika soal reproduksi akan menjadi pembicaraan hangat. Sebab bagi masyarakat, membicarakan reproduksi masih soal yang tabu. Namun, menurut Edy pasal ini harus disikapi lebih dalam.
“Coba berkaca pada diri sendiri, yang orangtua apakah pernah membicarakan soal kesehatan reproduksi atau seksualitas pada anak? Yang anak-anak, apakah pernah juga membicarakan ini? Jarang sekali. Akhirnya apa? Anak bisa berpotensi mendapatkan informasi dari sumber yang salah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (6/5/2024).
Politisi PDI Perjuangan itu menyatakan tidak adanya informasi atau pendidikan reproduksi yang baik bisa menyebabkan meningkatnya seks bebas.
“Anak yang penasaran lalu bisa jadi coba-coba,” katanya.
Seks bebas ini juga salah satu pintu pernikahan dini. Yang menjadi momok selanjutnya adalah risiko anak stunting pada pasangan yang belum cukup umur.
“Saya melihat pasal 103 ini sudah tepat alurnya,” kata Edy.
Legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini mengatakan pasal tersebut tahapannya runtut dari ayat 1 hingga 5.
Dalam ayat 1 disebutkan upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja yang pertama adalah pemberian edukasi dan informasi. Lalu ayat 2 mengatur apa saja informasi yang diberikan, yang salah satunya adalah menjaga kesehatan reproduksi dan risiko perilaku seksual. Di ayat 3 dijelaskan cara memberikan edukasi kesehatan reproduksi bisa lewat bahan ajar maupun kegiatan di luar sekolah.
Selanjutnya ayat 4 merupakan panduan pelayanan kesehatan reproduksi untuk usia sekolah dan remaja setidaknya mencakup soal konseling hingga penyediaan alat kontrasepsi.
“Menyediakan ini bukan lantas membagi-bagikan. Ada tahapan dan syaratnya. Seolah-olah pasal ini melegalkan free sex,” tutur Edy.
Lalu pada ayat 5 menyebut konseling ini dilakukan oleh tenaga yang kompeten sesuai kewenangan dan wajib menjaga kerahasiaan.
Meski demikian, sebagai perwakilan fraksi yang berada di komisi yang menaungi sektor kesehatan, Edy berjanji akan membahas pasal ini.
“Agar semuanya semakin jelas dan tidak ada simpang-siur maka perlu melihat aturan turunan dan pengaplikasiannya,” pungkasnya.
Advertisement