Sukses

Gaduh PP Kesehatan Atur Penyediaan Alat Kontrasepsi untuk Remaja, Berpotensi Multitafsir?

Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan membahas soal penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja, tepatnya di Pasal 103 ayat 4. Banyak respon negatif yang beredar di masyarakat tentang aturan ini.

Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024 itu memicu berbagai reaksi, terutama mengenai Pasal 103 ayat 4 yang mengatur tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja. Isu ini menuai respons dari banyak pihak.

Pada pasal 103 ayat 4 dikatakan: Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining;b. pengobatan;c. rehabilitasi;d. konseling; dane. penyediaan alat kontrasepsi.

Sementara di ayat 1 pasal tersebut isinya menyebutkan: Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetyarii Aher menjadi salah satu yang mengkritik PP tersebut. Netty menilai PP Nomor 28 Tahun 2024, khususnya pasal 103 ayat 4 perlu diperjelas sehingga tidak menjadi anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.

"Pada pasal 103 ayat 4 disebutkan bahwa dalam hal pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja ada penyebutan penyediaan alat kontrasepsi. Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?" kata Netty dalam keterangan kepada media, di Jakarta, Minggu (4/8/2024), seperti dikutip dari laman dpr.go.id.

Netty mempertanyakan adanya penyebutan soal "Perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab pada anak sekolah dan usia remaja" yang tercantum dalam PP tersebut.

"Perlu dijelaskan apa maksud dan tujuan dilakukannya edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggungjawab. Apakah ini mengarah pada pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggungjawab?"

Kritik senada juga datang dari anggota Komisi IX DPR RI lainnya, yakni Arzetti Bilbina.

"Hati-hati, jika gagal pengawasan justru jadi racun perusak anak-anak! Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini diimbangi dengan pendidikan seksual yang holistik dan pendekatan yang sensitif terhadap nilai-nilai masyarakat karena bisa jadi bumerang bagi anak muda Indonesia,” ujar Arzeti pada Selasa (6/8).

Menurut Arzetti, pasal 103 terkait alat kontrasepsi tidak tertulis secara detail mengenai pelajar yang diberikan edukasi sehingga rawan disalahartikan.

"Saya kira perlu ada penjelasan dan edukasi yang clear, karena bunyi pasal yang sekarang bisa membuat salah tafsir,” tuturnya.

Adapun bunyi aturan tersebut sebagai berikut: Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining, b. pengobatan, c. rehabilitasi, d. konseling, e. penyediaan alat kontrasepsi’.

Menurut Arzeti, aturan itu tidak sejalan dengan norma-normal di Indonesia. Terlebih bagi anak-anak usia remaja yang seharusnya tidak boleh melakukan hubungan seksual karena akan berpengaruh terhadap kesehatannya.

"Jangan sampai aturan ini malah menjadi dasar anak-anak muda melakukan tindakan seksual di luar pernikahan. Selain secara norma dilarang, dampak kesehatannya juga sangat berpengaruh," jelas Politisi Fraksi PKB.

Sementara itu dalam kesempatan berbeda, Netty meminta agar PP tersebut segera direvisi agar tidak menimbulkan keriuhan di akar rumput.

“Harus ada kejelasan soal edukasi seputar hubungan seksual yang mana tidak boleh terlepas dari nilai-nilai agama dan budaya yang dianut bangsa," tambah politisi dari PKS itu. 

2 dari 5 halaman

Dinilai Tidak Sejalan dengan Amanat Pendidikan Nasional

Komentar keras pun datang dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Dia menyayangkan beleid yang salah satunya terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja usia sekolah. Menurutnya hal itu tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional.

"Beleid tersebut tidak sejalan dengan amanat Pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama,” tegas Abdul Fikri, dikutip Parlementaria dari keterangan tertulisnya, Sabtu (3/8).

Menurutnya, penyediaan fasilitas alat kontrasepsi bagi siswa sekolah ini sama saja membolehkan budaya seks bebas kepada pelajar. “Alih-alih menyosialisasikan resiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya ke mana?” ujarnya.

Menurutnya, semangat dan amanat Pendidikan Nasional adalah menjunjung budi pekerti yang luhur dan dilandasi norma-norma agama yang telah diprakarsai para Founding Father.

“Salah langkah kalau kita malah mengkhianati tujuan besar Pendidikan nasional yang sudah kita cita-citakan bersama,” ujarnya.

Abdul Fikri ustru menekankan pentingnya pendampingan (konseling) bagi siswa dan remaja, khususnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi melalui pendekatan norma agama dan nilai pekerti luhur yang dianut budaya ketimuran di nusantara.

“Tradisi yang telah diajarkan secara turun temurun oleh para orangtua kita adalah bagaimana mematuhi perintah agama dalam hal menjaga hubungan dengan lawan jenis, dan resiko penyakit menular yang menyertainya,” tuturnya.

Adapun Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengimbau agar pemerintah memerhatikan beberapa aspek penting dalam kebijakan tersebut.

Hetifah khawatir jika tidak dilaksanakan dengan benar, dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai tujuan kebijakan itu.

"Pemerintah harus memberikan penjelasan yang jelas dan mendetail mengenai kebijakan ini dengan menekankan bahwa penyediaan alat kontrasepsi merupakan langkah preventif untuk kesehatan reproduksi dan bukan untuk mendorong perilaku seks bebas," ujarnya, Senin (5/8/2024)

Hetifah pun menyoroti perlunya kurikulum pendidikan seks yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan budaya Indonesia dan memastikan pemahaman yang tepat pada remaja. 

Selain itu, orangtua juga perlu terlibat dalam program tersebut. "Orangtua harus dilibatkan secara aktif dalam program edukasi kesehatan reproduksi untuk memastikan mereka memahami pentingnya pendidikan seks dan peran mereka dalam membimbing anak-anak," katanya.

Monitoring dan evaluasi berkala juga penting dilakukan untuk memastikan pelaksanaan kebijakan berjalan sesuai tujuan dan tidak disalahartikan.

"Penting untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk menilai efektivitas kebijakan ini dan memastikan program dilaksanakan dengan benar," ungkapnya.

3 dari 5 halaman

Tanggapan Kemenkes

Terkait respons mengenai PP No. 28 tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun angkat bicara. Menurut Kemenkes, aturan itu memuat upaya pemerintah meningkatkan layanan promotif dan preventif atau mencegah masyarakat menjadi sakit.

Juru Bicara Kemenkes dr Mohammad Syahril menjelaskan bahwa edukasi terkait kesehatan reproduksi termask juga mengenai penggunaan kontrasepsi. Namun penyediaan alat tersebut bukan ditujukan bagi semua remaja, melainkan yang telah menikah.

“Namun penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan,” kata dr. Syahril di Jakarta (5/8).

“Jadi, penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil,” katanya.

Pernikahan dini akan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Risiko anak yang dilahirkan akan menjadi stunting juga sangat tinggi.

Sesuai dengan ketentuan dalam PP tersebut, sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko. Dengan demikian, penyediaan alat kontrasepsi tidak akan ditujukan kepada semua remaja.

 

4 dari 5 halaman

YKP: Harus Terintegrasi dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Lainnya

Berbeda dari sejumlah anggota dewan yang melontarkan kritik keras terhadap PP No. 28 Tahun 2024 pasal 1 ayat 4, Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Nanda Dwinta menilai pelayanan kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja adalah upaya mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual.

"Pelayanan kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 (4.e), adalah upaya preventif penting untuk mengurangi risiko kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, serta perkawinan anak dan kematian ibu serta bayi akibat risiko reproduksi usia dini," kata Nanda.

Meski begitu, YKP mengingatkan bahwa pelayanan tersebut harus terintegrasi dengan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.

"Kontrasepsi harus terintegrasi dengan layanan kesehatan reproduksi lainnya untuk memastikan pendekatan yang menyeluruh dan efektif,” kata Nanda.

Lalu, Nanda juga mengingatkan bahwa pelayanan kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja harus melalui proses edukasi yang matang dan konprehensif dengan menggunakan pendekatan dan perspektif anak usia sekolah dan remaja.

YKP juga mengingatkan bahwa ketika remaja mendapatkan pelayanan kontrasepsi itu harus juga bersama wali atau orangtua.

"Pelayanan kontrasepsi juga harus dibersamai dengan persetujuan (atau pendampingan) walinya, baik dari orang tua atau orang dewasa lain yang bertanggung jawab atas hidup dan diri anak/remaja tersebut," kata Nanda dalam pernyataan tertulis.

Nanda juga mengatakan bahwa kontrasepsi yang diberikan harus diberikan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan terbaik bagi individu tersebut.

 

5 dari 5 halaman

IBI: Kita Perlu Membaca PP No. 28 Secara Komprehensif

Terkait pro dan konra PP No. 28, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia Dr Ade Jubaedah, SSiT, MM, MKM mengatakan agar membaca peraturan tersebut secara komprehensif, tidak setengah-setengah. 

"Kita harus membaca PP No. 28 ini secara komprehensif. Penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang diatur dalam pasal 103 harus dilihat sebagai upaya untuk melindungi kesehatan remaja yang sudah menikah di usia dini," jelasnya.

Meskipun Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan usia minimum pernikahan di atas 19 tahun, praktik pernikahan di usia yang jauh lebih muda, bahkan di usia 11-12 tahun, masih sering terjadi. Penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang sudah menikah menjadi fokus utama dalam peraturan ini, mengingat tingginya angka pernikahan usia dini di Indonesia. 

Bidan memiliki peran dalam pelayanan kesehatan reproduksi sangatlah penting, terutama dalam mendukung kesehatan remaja yang berpotensi menjadi calon ibu.

Ade menegaskan bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja yang sudah menikah bukan hanya tentang menunda kehamilan, tetapi juga untuk mempersiapkan remaja secara fisik, psikologis, dan reproduktif sebelum memasuki masa kehamilan.

"Ini adalah salah satu upaya dari pemerintah untuk memastikan remaja yang menikah di usia dini tidak langsung hamil, sehingga mereka bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik sebelum menjalani kehamilan," tambahnya.

Dalam konteks ini, bidan memiliki peran strategis dalam melakukan edukasi dan memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Hal ini mencakup komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang kesehatan reproduksi, serta screening dan deteksi dini terhadap masalah-masalah kesehatan yang mungkin dihadapi oleh remaja, seperti anemia, kekurangan energi kronis, atau komplikasi obstetri.

Selain itu, Ade mengajak masyarakat untuk menunggu penjelasan yang lebih mendetail mengenai implementasi PP 28/2024 melalui aturan turunan dari Kementerian Kesehatan yang diharapkan bisa memberikan kejelasan lebih lanjut.