Liputan6.com, Jakarta - Tato dan tindik mungkin telah menjadi bagian dari gaya hidup modern dan ekspresi diri yang populer. Namun, di balik keindahan seni tubuh ini, ada risiko kesehatan serius yang sering kali diabaikan. Salah satu risiko yang paling berbahaya adalah kanker hati, yang dapat dipicu oleh penggunaan alat tato dan tindik yang tidak steril.
Mengapa Tato dan Tindik Bisa Berbahaya?
Proses pembuatan tato dan tindik melibatkan penggunaan jarum yang menembus kulit. Jika alat-alat yang digunakan tidak steril, ada risiko besar penyebaran infeksi, termasuk virus hepatitis B dan C. Kedua virus ini merupakan penyebab utama peradangan hati kronis, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi kanker hati.
Baca Juga
Rino Alvani Gani, seorang dokter spesialis penyakit dalam subspesialis gastroenterologi hepatologi dari RS Pondok Indah – Pondok Indah, menegaskan pentingnya kewaspadaan terhadap penggunaan alat tato dan tindik yang tidak steril. Menurutnya, risiko kanker hati meningkat pada mereka yang pernah menggunakan alat-alat yang tidak steril ini, terutama jika mereka juga memiliki riwayat keluarga dengan penyakit hati atau kanker hati.
Advertisement
Apa Saja yang Menyebabkan Kanker Hati?
Selain tato dan tindik yang tidak steril, ada beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan risiko kanker hati, di antaranya:
- Riwayat Keluarga: Jika ada anggota keluarga yang menderita penyakit hati atau kanker hati, risiko terkena kanker hati menjadi lebih tinggi.
- Transfusi Darah: Riwayat transfusi darah, terutama jika dilakukan sebelum prosedur penyaringan darah ketat diberlakukan, juga dapat meningkatkan risiko kanker hati.
- Gaya Hidup Tidak Sehat: Konsumsi alkohol berlebihan dan pola makan tidak sehat juga dapat memperburuk kondisi hati, meningkatkan risiko kanker.
Â
Pentingnya Deteksi Dini
Mengingat kanker hati sering kali tidak menunjukkan gejala pada tahap awal, deteksi dini menjadi kunci untuk penanganan yang efektif. Jika kamu memiliki faktor risiko seperti yang disebutkan di atas, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan rutin.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan tes darah untuk memantau fungsi hati dapat membantu mendeteksi kanker pada tahap awal, di mana pengobatan masih mungkin berhasil.
Advertisement
Apa Saja Cara yang Digunakan untuk Mengobati Kanker Hati?
Jika kanker hati terdeteksi pada tahap awal, ada beberapa opsi pengobatan yang dapat dipertimbangkan. Operasi untuk mengangkat tumor atau transplantasi hati bisa menjadi pilihan, tergantung pada ukuran tumor dan kondisi hati pasien.Â
Selain metode bedah, ada juga pendekatan non-bedah untuk mengobati kanker hati, termasuk Radiofrequency Ablation (RFA) dan Transarterial Chemoembolization (TACE).
1. Radiofrequency Ablation
Radiofrequency Ablation (RFA) adalah teknik minimal invasif yang menggunakan energi panas dari gelombang radio untuk menghancurkan sel-sel kanker di hati.
Dengan bantuan pencitraan seperti ultrasound, CT Scan, atau MRI, dokter akan memasukkan jarum elektroda ke jaringan tumor. Energi radio frekuensi yang dialirkan melalui jarum akan memanaskan area sekitar tumor hingga suhu 60–100 derajat Celsius, menyebabkan kematian sel kanker.
Setelah prosedur RFA, pasien akan dipantau beberapa jam untuk mengidentifikasi kemungkinan komplikasi sebelum kembali ke aktivitas normal.
Â
2. Transarterial Chemoembolization
Transarterial Chemoembolization (TACE) adalah metode non-bedah lain yang mengombinasikan kemoterapi dan embolisasi. Prosedur ini dilakukan di ruang angiografi dengan anestesi lokal pada area pangkal paha atau lengan tempat kateter dimasukkan ke arteri hepatika.
Campuran obat kemoterapi dan agen embolisasi disuntikkan langsung ke arteri yang menyuplai darah ke tumor. Obat kemoterapi membunuh sel-sel kanker, sementara agen embolisasi menyumbat arteri dan menghentikan aliran darah ke tumor.
Kombinasi ini menyebabkan tumor kekurangan oksigen dan nutrisi, yang dapat mematikan sel-sel kanker.
Setelah prosedur TACE, pasien akan diperiksa selama beberapa jam untuk memastikan tidak ada komplikasi. Efek samping seperti demam, mual, dan nyeri di area hati mungkin terjadi, namun biasanya dapat dikelola dengan obat-obatan.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement