Sukses

Dampak Ngeri Media Sosial, Bisa Picu Gangguan Kesehatan Mental

Masalah kesehatan mental terjadi salah satunya karena dampak negatif dari media sosial.

Liputan6.com, Jakarta Gangguan kesehatan mental merupakan masalah yang sifatnya makro. Masalah kesehatan mental terjadi salah satunya karena dampak negatif dari media sosial seperti disampaikan dosen fakultas psikologi Universitas Gajah Mada (UGM) Lu’luatul Chizanah.

Menurut dosen yang akrab disapa Lulu, masyarakat kini hidup di era yang terbuka dan mudah dalam memperoleh informasi. Kehidupan berjalan dengan cepat dan efisien.

“Di sisi lain, ada kecemasan-kecemasan yang muncul karena kita secara otomatis melakukan pembandingan kondisi diri dengan yang kita amati di media sosial. Ini dapat menggerus tingkat harga diri kita, yang padahal merupakan fondasi penting dalam kesehatan mental,” ujar Lulu mengutip NU Online Selasa (13/8/2024).

Ia menambahkan, saat ini umat manusia di dunia mengalami paradoks kehidupan akibat media sosial. Seseorang akan lebih terhubung dengan orang lain yang jaraknya jauh daripada orang atau lingkungan setempat. Padahal lingkungan terdekat merupakan sumber dukungan hidup untuk mendapatkan kehangatan dan keramahtamahan hubungan. Manusia menjadi individualistis, tidak peduli dengan orang lain.

“Nah, ketika kita sedang merasa terhimpit, tidak dapat mengandalkan diri sendiri, kita kemudian merasa sangat putus asa karena merasa tidak ada lagi yang dapat kita andalkan. Rasa putus asa ini berpotensi mengarah pada ide-ide bunuh diri,” jelas Lulu.

“Maka, perlu sekali kita meninjau iklim kehidupan sosial dewasa ini. Nilai-nilai tradisional yang kita miliki tentang kebersamaan, nuansa solidaritas, dan lain sebagainya perlu dihidupkan lagi,” tambahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

3 Upaya Tangani Gangguan Kesehatan Mental

Pembina Program Tahfidul Quran PPP Al Fathimiyyah Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang itu kemudian memberikan berbagai upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi gangguan kesehatan mental.

Upaya-upaya itu termasuk:

Tindakan Preventif dari Pemerintah

Menurut Lulu, untuk mengatasi gangguan kesehatan mental, hal pertama yang dilakukan adalah adanya tindakan nyata dari pemerintah berupa tindakan preventif.

Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang bersifat radikal untuk mendukung kesehatan mental masyarakat.

“Ini misalnya kurikulum. Selain pendidikan karakter, kurikulum yang mendorong kemampuan sosial juga penting diupayakan,” ujarnya.

3 dari 4 halaman

Intervensi Masalah Kesehatan Mental

Upaya kedua yang perlu dilakukan pemerintah adalah intervensi. Salah satunya dengan memastikan masyarakat mudah mengakses tenaga kesehatan mental profesional.

“Adanya psikolog di puskesmas merupakan upaya strategis pemerintah.”

Promosi Soal Kesehatan Mental

Upaya ketiga yang tak kalah penting adalah promosi kesehatan mental. Pemerintah dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan dan regulasi dituntut untuk mengembangkan sistem informasi dan edukasi kesehatan mental yang mudah diakses dan dikenali masyarakat.

4 dari 4 halaman

Negara Harus Hadir untuk ODGJ

Dalam keterangan yang sama, Dosen Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Very Julianto membahas soal orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Menurutnya, para ODGJ masih mendapat penanganan yang kurang layak di tengah masyarakat. Banyak di antara mereka yang dipasung, dikerangkeng, hingga dibuang dan dibiarkan berkeliaran di jalanan.

“Ini menunjukkan penanganan kesehatan mental di Indonesia sangat memprihatinkan,” kata Very.

Untuk mengantisipasi fenomena ini, lanjut Very, perlu adanya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan pada ODGJ seperti pemasung atau kerangkeng. Pasalnya, selama ini masyarakat menganggap perbuatan tersebut sebagai hal yang wajar.

“Tapi kan ada acara lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang lebih sehat dan adaptif (manusiawi),” ujarnya.

Very menegaskan, pemerintah sebagai penyelenggara negara harus bertanggung jawab kepada ODGJ yang berkeliaran di jalan. Dia mengatakan, perlu adanya keseriusan pemerintah dalam menangani mereka, seperti memaksimalkan program reintegrasi dan rehabilitasi.

“Rehabilitasi saja tidak cukup, karena setelah keluar dari panti rehabilitasi ODGJ, mereka perlu keterampilan untuk bertahan hidup. Bahkan, keluarga terkadang tidak mau mengakui mereka.”

“Mereka perlu diberikan pekerjaan juga bahkan pelayanan kesehatan mental berkelanjutan agar tidak kambuh,” terangnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.