Liputan6.com, Jakarta Demi anak menjadi alasan Cut Intan Nabila bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hingga akhirnya Cut tak kuat lagi dan mengungkapkan ke publik bahwa selama lima tahun menikah kerap mendapatkan KDRT dari suami Armor Toreador.
"Selama ini saya bertahan karena anak," ujarnya.
Baca Juga
Pihak kepolisian pun sudah mengamankan Armor. Pria tersebut pun sudah mengakui bahwa dirinya kerap melakukan kekerasan ke sang istri.
Advertisement
Cut Intan Nabila adalah satu dari banyak korban KDRT. Data Komnas Perempuan selama 21 tahun mencatat ada 2,5 juta kekerasan di ranah privat, diantaranya kekerasan terhadap istri yang paling banyak dilaporkan yaitu 484.993 kasus.
"Itu yang terlaporkan. Itu cuma puncak gunung es, lebih banyak yang tidak melaporkan," kata psikolog klinis Nirmala Ika.Â
Bagi orang yang tidak mengalami hubungan KDRT, mungkin sulit memahami mengapa seseorang bisa bertahan dalam situasi penuh kekerasan selama itu, bahkan hingga memiliki lebih dari satu anak.
Menjawab itu, Ika mengungkapkan bahwa ada banyak hal yang membuat seseorang sulit melepaskan dari relasi dari pasangan yang KDRT.
"Enggak bisa melepaskan sesimple itu. Ada banyak faktor yang membuat seseorang bertahan," kata Ika.
Â
1. Bertahan Demi Anak
Seperti yang dialami Cut Intan Nabila, anak jadi alasan banyak perempuan untuk bertahan dalam hubungan dengan suami yang KDRT. Hal itu yang kerap ditemukan psikolog klinis Efnie Indrianie di ruang praktiknya.Â
Efnie mengungkap korban KDRT terutama istri rela mengorbankan diri agar anak-anak mereka merasa memiliki keluarga yang utuh dengan kehadiran ayah dan ibu. "Ini yang umumnya membuat mereka bertahan," kata Efnie dalam percakapan telepon.
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Efnie, banyak pasiennya yang sudah kehilangan rasa cinta kepada pasangan. Namun, alasan demi anak membuat mereka tetap bertahan dalam hubungan yang menyakitkan ini.
"Jadi, lebih kepada komitmen. Para korban ini mengikhlaskan diri agar saat anak mereka ditanya teman-temannya, bisa menjawab tentang keberadaan ayah dan ibu," tuturnya dalam sambungan telepon dengan Health Liputan6.com.
Â
Â
Â
2. Terkait Nilai-Nilai yang Dianut Masyrakat
Selain anak, faktor nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bikin perempuan maju mundur keluar dari hubungan itu. Mulai dari nilai budaya dan agama.
Dalam pandangan banyak perempuan, mereka diajarkan untuk berusaha membina dan memperbaiki hubungan keluarga, seperti yang diungkapkan oleh psikolog Nirmala Ika.
Selain itu, bagi sebagian perempuan, keputusan untuk berpisah dari suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa menimbulkan rasa ketakutan yang mendalam. Hal ini disebabkan oleh stigma negatif yang melekat pada status janda.
"Ketika bercerai, stigma masyarakat terhadap janda sangatlah buruk, dan seringkali disertai dengan hinaan," ungkap Ika.
Dengan demikian, banyak perempuan merasa terjebak dalam situasi sulit, antara mempertahankan keluarga dan menghadapi pandangan masyarakat yang tidak ramah.
Advertisement
3. Finansial
Salah satu faktor yang mendorong perempuan untuk berjuang sekuat tenaga demi mempertahankan hubungan meskipun mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah finansial.
Meskipun zaman telah berubah dan perempuan kini memiliki kesempatan untuk mencari nafkah, masih ada stigma yang menganggap bahwa suami adalah pencari nafkah utama.
"Ada anggapan bahwa suami yang bekerja, sementara istri di rumah mengurus anak dan rumah tangga. Seolah-olah istri tidak mampu mencari penghasilan," ungkap Ika.
Selain itu, banyak pertimbangan yang muncul di benak perempuan ketika mereka berpikir untuk keluar dari hubungan tersebut, terutama terkait dengan keuangan.
"Dalam pikiran para korban KDRT, pertanyaan yang sering muncul adalah, 'Jika saya berpisah, siapa yang akan membiayai anak-anak?'"
4. Faktor Dalam Diri
Ika juga menambahkan bahwa ada faktor internal dari korban KDRT yang memengaruhi keputusan mereka untuk bertahan. Seseorang yang sejak kecil menyaksikan orangtua mereka bertengkar hingga berujung pada kekerasan fisik cenderung menganggap bahwa pernikahan memang seperti itu.
"Ketika seseorang terbiasa melihat orang tuanya berkelahi dan saling memukul, mereka akan berpikir bahwa inilah cara pernikahan seharusnya," ungkap Ika dalam percakapan melalui telepon dengan Health Liputan6.com.
Advertisement
5. Takut Kehilangan Dicintai
Salah satu alasan mengapa seseorang tetap bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah ketakutan untuk kehilangan orang yang pernah mencintainya, seperti suaminya.
"Jika selama ini korban tidak pernah bertemu dengan orang lain yang mencintainya seperti pasangan, maka rasa enggan untuk melepaskan akan semakin kuat. Korban akan merasa sangat terikat dengan pasangannya," ungkap Ika.
Â
KemenPPPA Dorong Korban KDRT Berani Laporkan Kasus
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati mengajak para korban kekerasan untuk tidak ragu melaporkan pengalaman pahit yang mereka alami, meskipun ada rasa takut terhadap stigma masyarakat.
"Kekerasan terhadap perempuan dan anak, yang merupakan kelompok rentan, tidak boleh lagi kita toleransi. Terlebih jika kekerasan itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, dan dilakukan oleh orang terdekat korban," tegas Ratna dalam keterangan persnya pada Rabu (14/8/2024).
Ia menambahkan, "Korban harus memiliki keberanian untuk bersuara agar hak-haknya dapat ditegakkan, dan pelaku menerima hukuman yang setimpal sesuai dengan hukum yang berlaku. Di sisi lain, kita sebagai masyarakat dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan dukungan serta layanan yang mengutamakan kepentingan korban." ujar Ratna di Jakarta.
Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence
Advertisement