Sukses

[Kolom Pakar] Prof Tjandra Yoga Aditama: Lima Usulan untuk Strategi Nasional Antimicrobial Resistance

Prof Tjandra Yoga Aditama menyampaikan lima masukan untuk penyempurnaan selanjutnya dari Rencana Strategis Pengendalian Resistensi Antimikrobial 2025 – 2029.

Liputan6.com, Jakarta - Pada 19 Agustus 2024 ini saya menjadi salah seorang panelis pada peluncuran Strategi Nasional (StraNas) Pengendalian Resistensi Antimikrobial 2025 – 2029. Saya menyampaikan lima masukan untuk penyempurnaan selanjutnya dari Rencana Strategis ini.

Pertama saya ucapkan selamat atas selesainya StraNas AMR ini. Strategi yang disusun dengan 3 landasan, 4 pilar, 14 intervensi, 41 tindakan prioritas dan 103 kegiatan ini sudah mencakup amat luas dari pengendalian AMR (Antimicrobial Resistance).

Memang sejak 2015 -ketika saya masih bertanggung jawab tentang AMR Asia Tenggara di WHO- maka Indonesia sudah aktif dalam penyusunan AMR National Action Plan (NAP), sebagai tindak lanjut dari Global Action Plan (GAP) yang disusun WHO.

Kedua, masih amat perlu promosi dan penjelasan luas ke masyarakat tentang apa itu AMR. Untuk ini akan baik kalau ditentukan istilah baku bahasa Indonesia dari AMR (Antimicrobial Resistance), misalnya saja RAM (resistensi antimikroba). Di bidang AMR juga ada istilah-istilah lain dalam bahasa Inggris, seperti AWARE (access, watch, reserve), atau PCA (people centered approach) dll, yang semuanya baik dicarikan padanan katanya. Dengan bahasa Indonesia maka pemahaman masyarakat akan lebih mudah dicapai.

Di sisi lain, pemahaman yang lebih baik tentu akan meningkatkan kepatuhan penggunaan antimikroba, selain dengan penetapan dan penegakan aturan yang tegas. Sesuai dengan tren yang ada kini maka akan baik kalau promosi tentang AMR ke masyarakat luas juga melibatkan para “influencer” yang punya jutaan “follower” atau “public figure” lainnya. 

 

2 dari 2 halaman

Indikator Keberhasilan

Ketiga, penentuan indikator keberhasilan program pengendalian AMR memang tidak terlalu mudah. Saat ini masih digunakan antara lain resistensi E coli dan ESBL (Extended Spectrum β-Lactamase). Akan baik kalau perilaku bagaimana masyarakat mendapatkan antibiotikanya dan bagaimana penggunaan tanpa pengawasan petugas kesehatan juga menjadi indikator yang dinilai pula.

Keempat, tentu akan amat baik kalau pengendalian AMR ini bisa menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 – 2029, dan bahkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang sampai era Indonesia Emas di tahun 2045 nantinya. Hal ini tentu perlu dalam koordinasi Bappenas. Kebetulan dalam beberapa waktu terakhir ini saya ikut dalam pembahasan draft beberapa topik dalam penyusunan RPJMN, seperti untuk TB, PTM, Karantina Kesehatan, Surveilan dll.

Kelima, tentu harus diperjelas koordinasi dalam pengendalian AMR. Yang diluncurkan pada 19 Agustus 2024 ini barulah Strategi Nasional pada manusia, padahal kita tahu bahwa pengendalian AMR harus melibatkan kesehatan hewan dan bahkan juga kesehatan lingkungan, dalam konsep Satu Kesehatan atau “One Health”.

Sebagai penutup saya sampaikan bahwa di WHO maka struktur organisasi yang menangani AMR memang cukup tinggi, satu tingkat di bawah pimpinan tertinggi WHO di Jenewa. Perlu ditata juga bagaimana pengaturan pengorganisasi AMR di negara kita, yang laiknya harus dapat perhatian penting pula.

Acara peluncuran Strategi Nasional pengendalian AMR ini ditutup secara resmi oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, yang menyampaikan agar strategi yang ada diimplementasikan dengan baik dan dilakukan evaluasi berkala -katakanlah setiap 3 buan- tentang bagaimana pelaksanaannya.

 

Prof Tjandra Yoga Aditama

Direktur Pascasarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI/Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara/Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kabalitbangkes