Liputan6.com, Jakarta - Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 28 Tahun 2024 memicu berbagai reaksi masyarakat termasuk soal penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja.
Merespons hal ini, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dokter Hasto Wardoyo mengatakan, alat kontrasepsi hanya disediakan bagi pasangan yang sudah menikah. Pasalnya, PP ini sudah mempertimbangkan norma agama.
Baca Juga
“Ini tentang PP 28 tahun 2024. Sebetulnya pasal 98 jangan tidak dibaca, (karena memuat) upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama,” kata dokter Hasto saat menerima audiensi perwakilan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Selasa, 20 Agustus 2024, di kantor BKKBN pusat, Jakarta.
Advertisement
“Jadi, tidak boleh bertentangan dengan itu. Sehingga pasal-pasal yang ada di bawahnya tidak boleh lepas dari yang ada di (pasal) 98 itu,” tambahnya mengutip keterangan pers, Jumat (23/8/2024).
Dokter kandungan itu juga membahas pasal 103 soal pengadaan alat kontrasepsi yang sempat heboh. Dia menegaskan, BKKBN telah diamanatkan sejak disahkannya Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
“Di dalam UU 52 ini disebutkan bahwa pemenuhan alat kontrasepsi hanya untuk Pasangan Usia Subur (PUS) yang sah sebagai suami istri,” ujarnya.
Pendistribusian Alokon Sesuai Norma Agama
Hasto memaparkan, penggunaan alat dan obat kontrasepsi (alokon) bagi Pasangan Usia Subur (PUS) sudah diatur dengan jelas.
Termasuk di dalam Undang-undang 52 tahun 2009. Juga Undang-undang 23 tahun 2014. Termasuk peraturan BKKBN Nomor 1 tahun 2023, bahwa pemenuhan kebutuhan alokon untuk pasangan usia subur dalam KB adalah bagi pasangan suami istri.
"Kita tidak pernah membuat program itu bukan untuk suami istri. Di BKKBN tidak pernah,” tambahnya.
“Pendistribusian alat kontrasepsi ke puskesmas dan bidan praktik mandiri terkontrol dengan baik sampai hari ini. Sejak Undang-undang 52 tahun 2009 sudah disediakan metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan pasangan suami istri dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan dan norma agama," ujarnya.
"Dikunci dengan norma agama sejak tahun 2009. Makanya, itu menjadi bottom line, bagi suami istri di UU 52 tahun 2009 yang wajib kita pedomani,” sambungnya.
Advertisement
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Tak Bertentangan dengan Nilai Agama
Hasto turut menyinggung soal pelayanan kesehatan reproduksi yang disebutkan di Undang-undang nomor 17 tahun 2023.
"Ada UU 17 tahun 2023 di mana pelayanan kesehatan reproduksi ditulis di situ, bahwa pelaksanaan pelayanan sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Dokter Hasto mengingatkan bahwa pelaksanaan pelayanan kontrasepsi tidak boleh hanya memedomani ketentuan peraturan undang-undang tanpa harus juga memedomani nilai agama.
Soal PUS Usia Sekolah
Tak lupa Hasto mengungkap, ada PUS yang masih di usia sekolah. Mereka sudah terlanjur menikah di usia terlalu muda.
Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), dokter Hasto mengatakan saat ini dari 1000 perempuan usia 15-19 tahun, terdapat 26 anak perempuan yang hamil dan melahirkan.
"Kalau jumlah mereka 100.000, berarti ada 2.600 anak perempuan hamil dan melahirkan. Kalau 1 juta, sudah 26 ribu jumlahnya. Kalau mereka tidak kita layani (ber-KB), bagaimana?" ujar Hasto.
“BKKBN saya kira sudah sejak awal keep on the track ya kita lakukan seperti itu,” pungkasnya.
Advertisement