Sukses

KPAI Ungkap Sederet Pelanggaran Hak Anak Usai Unjuk Rasa Tolak RUU Pilkada, Ada yang Dicekik dan Diperiksa hingga Subuh

KPAI mencatat, pada tanggal 22 dan 23 Agustus terdapat 7 anak yang diamankan di Polda Metro Jaya, serta 78 anak yang diamankan di Polres Jakarta Barat.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan keterlibatan anak-anak dalam aksi unjuk rasa penolakan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah atau RUU Pilkada pada 22 Agustus 2024.

Berdasarkan hasil pemantauan langsung, dari laporan publik maupun berita media, KPAI menemukan sejumlah kasus pelanggaran hak-hak anak, baik saat aksi massa di Jakarta maupun di Yogyakarta, Makassar, Semarang dan Surabaya.

“KPAI mencatat, pada tanggal 22 dan 23 Agustus terdapat 7 anak yang diamankan di Polda Metro Jaya, serta 78 anak yang diamankan di Polres Jakarta Barat,” kata Kepala KPAI Ai Maryati Solihah dalam temu media di Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2024).

Selain itu, lanjutnya, sebanyak 22 anak di Semarang dan satu anak di Kota Makassar ikut unjuk rasa dan ikut diperiksa oleh pihak kepolisian. Namun, mereka semua sudah dipulangkan ke keluarga masing-masing.

Sayangnya, berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak yang ditemukan, seperti:

  • Kekerasan fisik (dipukul dan dicekik) saat ditangkap aparat penegak hukum;
  • terkena gas air mata yang digunakan penegak hukum untuk membubarkan massa;
  • kekerasan psikis berupa ketakutan dan trauma karena anak-anak ditangkap dengan kekerasan, terputus akses komunikasi dengan orangtua/keluarga saat pemeriksaan, dan diperiksa cukup lama di malam hari hingga jelang subuh saat proses penyidikan.
2 dari 4 halaman

Selanjutnya

KPAI juga menyoroti bahwa ada pengabaian terhadap anak-anak saat menjalani pemeriksaan sebagai berikut:

  • pengabaian hak atas kesehatan karena anak-anak dibiarkan tidak makan sampai larut malam dan dibiarkan kedinginan saat diperiksa di ruang ber-AC pada malam hari tanpa alas kaki dan dengan pakaian/kaos tipis;
  • pengabaian hak anak untuk didampingi dan mendapatkan bantuan hukum di tiap tingkat pemeriksaan;
  • eksploitasi kebebasan anak, karena anak dimobilisasi, baik secara langsung maupun melalui whatsapp group, tanpa informasi yang sesuai dengan usia dan perkembangan mental- emosional mereka;
  • pengabaian hak kebebasan anak, karena anak-anak ditangkap dan diperiksa di kantor kepolisian walau tidak terlibat dalam aksi (hanya penonton);
  • belum dioptimalkannya pengamanan aksi-aksi demonstrasi, yang melibatkan tim pengaman yang berasal dari Polwan/Unit PPA.
3 dari 4 halaman

Penanganan Aparat Tidak Boleh Bertentangan dengan UU yang Melindungi Hak Anak

Dalam kesempatan yang sama, komisioner KPAI Sylvana Maria menyatakan pihaknya menyesalkan pelanggaran hak-hak anak yang masih terus terjadi.

“KPAI juga menyatakan keprihatinan mendalam kepada anak-anak yang telah menjadi korban eksploitasi dan kekerasan pada saat aksi- aksi massa yang masih berlangsung hingga kemarin (Selasa, 27 Agustus 2024/H+6),” ujar Sylvana.

Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan massa sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan yang beresiko terhadap kesehatan fisik, psikis dan keselamatan (nyawa) anak.

“KPAI menyerukan bahwa penanganan yang dilakukan aparat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi maupun UU yang melindungi hak-hak anak Indonesia,” tambahnya.

4 dari 4 halaman

Mencegah dan Menangani Pelanggaran Hak Anak dalam Konteks Aksi Massa

Dalam rangka mencegah dan menangani pelanggaran hak-hak anak dalam konteks aksi massa penolakan RUU Pilkada, KPAI telah melakukan serangkaian upaya, antara lain:

  1. Melakukan koordinasi dengan Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Barat, Polres Jakarta Utara, Polres Jakarta Selatan dan Polres Jakarta Timur terkait dengan pencegahan dan antisipasi kepada aparat penegak hukum. Tujuannya, agar tidak represif kepada anak-anak dan lebih mengedepankan upaya persuasif. Serta memastikan prinsip perlindungan anak ketika penanganan ketertiban di lapangan.
  2. Melakukan koordinasi intensif dengan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan perlindungan anak di dalam situasi darurat dan pendampingan hukum bagi anak.
  3. Melakukan pendataan dan pendampingan kepada anak yang diamankan di Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Barat. Melakukan koordinasi dengan KPPPA dan UPTD PPA DKI Jakarta agar segera menurunkan tim pendampingan bagi anak-anak korban.
  4. Melakukan koordinasi dengan organisasi pemerintah daerah (OPD) terkait agar segera menurunkan pekerja sosial dan badan pemasyarakatan (Bapas) agar melakukan pendampingan kepada anak yang masih berproses.
  5. Melakukan koordinasi dengan Kemendikbud dan Dinas Pendidikan agar melakukan upaya promotif dan preventif keterlibatan anak pelajar dalam aksi umum yang sangat mungkin terjadi chaos dan mengancam keselamatan anak.

“KPAI menilai bahwa masih adanya kekerasan, eksploitasi dan berbagai bentuk pelanggaran hak-hak anak dalam konteks agenda politik rutin seperti Pilpres dan Pilkada, adalah tanda absennya perspektif kepentingan terbaik bagi anak dan kurangnya kesadaran tentang pentingnya pelindungan anak, termasuk dalam konteks aksi demonstrasi masa,” kata komisioner KPAI Aris Adi Leksono.

“Karena itu KPAI mendesak semua pihak untuk menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam aktivitas politiknya,” tambahnya.

Pelibatan anak dalam berbagai bentuk kegiatan politik, terutama aksi massa, termasuk kampanye, dan lainnya, adalah tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 2, 8 dan 11. Ini melindungi hak anak untuk sehat, beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.