Sukses

Rumah Sakit Medistra Viral Gegara Dugaan Pelarangan Jilbab, MUI Minta Pihak Berwenang Usut Kasus

Hal ini pertama kali diungkap oleh dokter spesialis bedah subspesialis onkologi Diani Kartini. Ia melayangkan surat pernyataan kepada RS Medistra yang kini viral di media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Rumah Sakit Medistra tengah menyedot perhatian publik lantaran isu dugaan pelarangan berhijab bagi pekerjanya.

Hal ini pertama kali diungkap oleh dokter spesialis bedah subspesialis onkologi Diani Kartini. Ia melayangkan surat pernyataan kepada RS Medistra yang kini viral di media sosial.

Dalam surat ini, Diani mempertanyakan soal persyaratan berpakaian di RS Medistra, salah satunya tentang pelarangan menggunakan hijab.

“Selamat Siang Para Direksi yang terhormat. Saya ingin menanyakan terkait persyaratan berpakaian di RS Medistra. Beberapa waktu lalu, asisten saya dan juga kemarin kerabat saya mendaftar sebagai dokter umum di RS Medistra,” kata Diani dalam surat yang ditulis pada Kamis, 29 Agustus 2024.

“Kebetulan keduanya menggunakan hijab. Ada pertanyaan terakhir di sesi wawancara, menanyakan terkait performance dan RS Medistra merupakan RS internasional, sehingga timbul pertanyaan apakah bersedia membuka hijab jika diterima," lanjutnya.

Diani pun mengungkapkan rasa kecewanya karena masih terdapat pertanyaan rasis di lingkungan rumah sakit ternama yang ada di bilangan Jakarta Selatan itu.

"Saya sangat menyayangkan jika di zaman sekarang masih ada pertanyaan rasis. Dikatakan RS Medistra berstandar internasional tetapi mengapa masih rasis seperti itu?"

"Salah satu RS di Jakarta Selatan, jauh lebih ramai dari RS Medistra, memperbolehkan semua pegawai baik perawat, dokter umum, spesialis, dan subspesialis menggunakan hijab," jelas Diani.

2 dari 4 halaman

Rumah Sakit untuk Golongan Tertentu?

Diani menyarankan, jika RS Medistra memang untuk golongan tertentu, maka sebaiknya dituliskan dengan jelas agar dapat diketahui sejak awal siapa yang boleh bekerja dan siapa yang boleh menjadi pasien di sana.

"Jika RS Medistra memang RS untuk golongan tertentu, sebaiknya jelas dituliskan saja kalau RS Medistra untuk golongan tertentu sehingga jelas siapa yang bekerja dan datang sebagai pasien."

"Sangat disayangkan sekali dalam wawancara timbul pertanyaan yang menurut pendapat saya ada rasis. Apakah ada standar ganda cara berpakaian untuk perawat, dokter umum, dokter spesialis, dan sub spesialis di RS Medistra? Terimakasih atas perhatiannya,” kata Diani.

3 dari 4 halaman

Picu Amarah Publik

Surat ini pun mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Tak sedikit yang menyayangkan dugaan rasisme yang ada di lingkungan RS tersebut.

Salah satu yang angkat bicara adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis. Lewatan cuitan di Twitter pribadinya, pria yang akrab disapa Kiai Cholil Nafis mengatakan bahwa RS tersebut phobia hijab. 

“Rumah Sakit yang masih phobia hijab begini baiknya tak usah buka di Indonesia karena kita sudah merdeka dan dijamin kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Tolong pihak berwenang agar kasus di RS itu diusut ya agar tak menjadi preseden buruk,” tulisnya.

Bahkan, Kiai Cholil mengatakan bahwa perilaku seperti ini cenderung melanggar kebebasan beragama.

“Tidak boleh terjadi di negeri kita yang sudah merdeka dan dijamin untuk kebebasan menjalankan ajaran agamanya. Yang begini harus diusut karena sudah melanggar kebebasan beragama,” tambahnya.

4 dari 4 halaman

Sangat Tidak Etis

Dalam keterangan lain, Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan, pertanyaan soal kesediaan melepas hijab setelah diterima kerja adalah hal yang sangat tidak etis.

“Jika benar hal demikian telah terjadi maka tentu saja hal tersebut sangat tidak etis dan sangat menyakiti hati umat Islam serta juga sangat tidak sesuai semangat dan jiwanya dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945,” kata Anwar dalam keterangan tertulis dikutip Senin (2/9/2024).

UU tersebut berbunyi: 

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

“Untuk itu agar jelas duduk masalahnya dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan maka MUI meminta kepada pihak RS agar melakukan klarifikasi tentang masalah tersebut.”

“Kedua, kepada pihak Kementrian Kesehatan agar turun dengan segera melakukan investigasi karena jika benar hal demikian telah terjadi maka berarti RS tersebut telah melakukan pelanggaran HAM dan konstitusi serta telah merusak kerukunan hidup antar umat beragama di negeri ini dan hal demikian tentu saja tidak kita inginkan,” pungkasnya.