Banyaknya kasus dugaan malapraktik, bisa jadi alasan masyarakat untuk tidak percaya pada dokter. Walaupun laporan masyarakat terhadap dugaan malapraktik penting, tapi saat ini aturan hukum mengenai standar hukum profesi dokter belum jelas.
Seperti diketahui, hingga saat ini pemahaman masyarakat masih menganggap dokter serba bisa. Jadi ketika pasien tidak sembuh, dianggap malapraktik.
Sekjen IDI, Dr. Daeng M Faqih, beberapa waktu lalu sempat mengatakan kalau malapraktik berarti melanggar kode etik kedokteran, tidak profesional dalam pekerjaan, dan pekerjaannya tidak benar-benar dilakukan untuk tujuan kemanusiaan.
"Malapraktik merupakan kejadian yang sebenarnya tidak diinginkan oleh siapa pun jadi semestinya ada pembinaan dan pengawasan di beberapa rumah sakit," ujar Faqih yang ditemui di kantor Ikatan Dokter Indonesia, Kamis (24/4/2013).
Sementara menurut Dr. dr. Imran, SpS, M.Kes disebut malapraktik apabila dokter tidak menggunakan standar pengobatan, kelalaian dalam menangani penderita, mengakibatkan kecacatan pasien. Seperti misalnya, adanya kesalahan pemeriksaan, kekeliruan memberikan penilaian penyakit, salah menulis dosis resep, kesalahan operasi, melakukan pembedahan oleh bukan dokter bedah, atau mengobati pasien pasien di luar spesialisasinya.
Sanksi
Bila ada kasus malapraktik, secara hukum semua kasus tersebut dapat diajukan ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malapraktik berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent.
Kasus malpraktik dapat digugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata Jo. pasal 55 UU No.23 tahun 1992 dan dapat dituntut pidana berdasarkan pasal 359, 360 dan 361 KUHP, dan pasal 75, 76, 79 dari UU No.23 tahun 1992 tentang UU praktek kedokteran.
Selama ini pembuktian dugaan malapraktik secara hukum masih sulit karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional. Sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional, mereka tidak mau disamakan dengan para pelaku kriminal biasa, seperti pencuri..
(Fit/Abd)
Seperti diketahui, hingga saat ini pemahaman masyarakat masih menganggap dokter serba bisa. Jadi ketika pasien tidak sembuh, dianggap malapraktik.
Sekjen IDI, Dr. Daeng M Faqih, beberapa waktu lalu sempat mengatakan kalau malapraktik berarti melanggar kode etik kedokteran, tidak profesional dalam pekerjaan, dan pekerjaannya tidak benar-benar dilakukan untuk tujuan kemanusiaan.
"Malapraktik merupakan kejadian yang sebenarnya tidak diinginkan oleh siapa pun jadi semestinya ada pembinaan dan pengawasan di beberapa rumah sakit," ujar Faqih yang ditemui di kantor Ikatan Dokter Indonesia, Kamis (24/4/2013).
Sementara menurut Dr. dr. Imran, SpS, M.Kes disebut malapraktik apabila dokter tidak menggunakan standar pengobatan, kelalaian dalam menangani penderita, mengakibatkan kecacatan pasien. Seperti misalnya, adanya kesalahan pemeriksaan, kekeliruan memberikan penilaian penyakit, salah menulis dosis resep, kesalahan operasi, melakukan pembedahan oleh bukan dokter bedah, atau mengobati pasien pasien di luar spesialisasinya.
Sanksi
Bila ada kasus malapraktik, secara hukum semua kasus tersebut dapat diajukan ke pengadilan pidana maupun perdata sebagai malapraktik berdasarkan standar profesi kedokteran dan informed consent.
Kasus malpraktik dapat digugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata Jo. pasal 55 UU No.23 tahun 1992 dan dapat dituntut pidana berdasarkan pasal 359, 360 dan 361 KUHP, dan pasal 75, 76, 79 dari UU No.23 tahun 1992 tentang UU praktek kedokteran.
Selama ini pembuktian dugaan malapraktik secara hukum masih sulit karena belum ada Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional. Sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional, mereka tidak mau disamakan dengan para pelaku kriminal biasa, seperti pencuri..
(Fit/Abd)