Liputan6.com, Jakarta Konsumsi gula, garam, dan lemak atau GGL membawa masalah kesehatan di Indonesia. Mulai dari obesitas, diabetes, stroke, dan masalah penyakit tidak menular (PTM) lainnya.
Kandungan GGL kerap ditemui di makanan dan minuman kemasan yang mudah ditemui di warung atau pasar swalayan. Guna mengendalikan konsumsi GGL, pemerintah mulai membahas wacana labelisasi nutri-level pada kemasan pangan.
Baca Juga
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, aturan pencantuman informasi kandungan GGL memiliki tujuan utama. Yakni memberikan literasi dan edukasi agar masyarakat bisa memilih produk yang akan dikonsumsi.
Advertisement
“Dengan adanya informasi ini, masyarakat bisa menghitung kadar GGL yang dikonsumsinya,” kata Nadia dalam keterangan pers Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dikutip Selasa (24/9/2024).
Mengingat dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, Pemerintah Indonesia berupaya melakukan penanggulangan PTM melalui kebijakan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan PTM dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, termasuk di dalamnya menyebutkan pengendalian PTM melalui pengendalian konsumsi GGL.
Labelisasi Nutri-Level Sesuai Rekomendasi WHO
Dalam keterangan yang sama, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar menyebutkan salah satu faktor penyebab PTM adalah pola makan tidak sehat, termasuk konsumsi GGL.
Dalam mengendalikan PTM tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan beberapa kebijakan yang dapat diterapkan, di antaranya melalui pelabelan gizi pangan yang merupakan kewenangan dan tugas BPOM.
“Salah satu strategi pengendalian konsumsi GGL adalah melalui penetapan pencantuman informasi nilai gizi (ING), termasuk informasi kandungan GGL, pada pangan olahan dan/atau pangan olahan siap saji,” ujar Taruna Ikrar.
Advertisement
Soal Pencantuman Nutri-Level
BPOM sendiri, lanjut Taruna, bahkan sebelum PP Nomor 28 Tahun 2024 ditetapkan, telah melakukan upaya penanggulangan PTM. Salah satunya dengan mengatur ketentuan terkait label gizi melalui penerbitan Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan.
Beberapa kebijakan label gizi pada pangan olahan yang diatur adalah pencantuman tabel informasi nilai gizi yang bersifat wajib dan kebijakan pelabelan gizi pada bagian depan label (front of pack nutrition labelling/FOPNL). Ini masih bersifat sukarela untuk memudahkan masyarakat dalam memahami kandungan gizi pada produk.
Melanjutkan penjelasan Kepala BPOM, Deputi 3 BPOM Elin Herlina menyampaikan bahwa sejalan dengan PP Nomor 28 Tahun 2024 dan hasil monitoring implementasi pelabelan gizi, saat ini BPOM sedang melakukan peninjauan terhadap ketentuan pencantuman FOPNL. Peninjauan dilakukan melalui penyusunan kebijakan format pencantuman nutri-level.
Penerapan Kewajiban Pencantuman Nutri-Level Dilakukan Bertahap
Nutri-level terdiri atas 4 tingkatan (level A, B, C, dan D) yang menunjukkan level pangan olahan berdasarkan kandungan GGL. Level A dengan kandungan GGL paling rendah, sementara Level D dengan kandungan GGL paling tinggi.
Penerapan kewajiban pencantuman nutri-level pada pangan olahan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL pada level C dan level D.
Kewajiban penerapan nutri-level juga akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang ditetapkan oleh BPOM dengan pangan olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kemenkes.
Wacana labelisasi produk pangan dilakukan bersama anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Agung Laksono pada Senin, 23 September 2024.
Satu hal penting yang ditekankan Agung Laksono, “berkenaan dengan edukasi kepada publik, sedapat mungkin label ini mudah dibaca dan dimengerti masyarakat Indonesia.”
“Hal ini mengingat tingkat pendidikan [literasi] masyarakat Indonesia yang terbilang masih rendah. Dengan begitu, penggunaan gambar sebagai bentuk labelisasi akan lebih menarik serta lebih mudah diterima dan dipahami, pungkas Agung.
Advertisement