Liputan6.com, Jakarta - Pencegahan sunat perempuan atau Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP) masih menghadapi tantangan di Indonesia.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, di daerah yang banyak melaksanakan praktik sunat perempuan seperti Gorontalo, belum ada masyarakat yang melaporkan kasusnya kepada pihak kepolisian. Sehingga, upaya penghapusan praktik sunat perempuan masih sulit dilaksanakan.
Baca Juga
Padahal, keluhan tentang kondisi biologis perempuan yang telah disunat seperti seksualitasnya menurun sudah dirasakan oleh perempuan di lokasi tersebut.
Advertisement
Tantangan berikutnya adalah terkait ketidaktahuan masyarakat tentang adanya larangan praktik P2GP.
“Hasil survei tentang pengetahuan masyarakat Gorontalo terkait aturan yang melarang praktik P2GP menunjukkan 57,9 persen masyarakat tidak mengetahui,” kata Alimatul dalam pertemuan nasional pencegahan P2GP di Jakarta, Kamis, 26 September 2024.
“Temuan lainnya dalam survei yakni beberapa pihak yang ada dalam roadmap tidak tahu kalau institusinya atau lembaganya mempunyai mandat dalam roadmap tersebut. Baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga upaya sinergi dan kolaborasi antar pihak perlu dikuatkan,” tambah Alimatul seperti mengutip keterangan di laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Sabtu (28/9/2024).
Seperti diketahui, KemenPPPA telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan atau P2GP 2020-2030 yang ditetapkan pada tahun 2019. Ini disusun bersama dengan para stakeholder dari lintas kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat.
Gencarkan Kampanye untuk Setop Praktik Sunat Perempuan
Menjelang setengah perjalanan pelaksanaan Roadmap P2GP, KemenPPPA melaksanakan pertemuan nasional bersama para pemangku kepentingan dari lintas sektor untuk mendorong komitmen dan penguatan implementasi.
“Untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, hari ini kita berupaya memperkuat dan membangun strategi lebih lanjut agar pelaksanaan implementasi Roadmap Pencegahan P2GP yang sudah berjalan selama empat tahun ini bisa memberikan dampak lebih besar,” kata Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Titi Eko Rahayu dalam keterangan yang sama.
“Kita evaluasi bersama dan saling mendiskusikan strategi yang akan dilaksanakan sampai 2030. KemenPPPA bersama United Nations Population Fund (UNFPA) akan terus melakukan strategi pencegahan P2GP, mengkampanyekan dan mengedukasi ‘STOP Praktik Sunat Perempuan’ kepada stakeholder dan masyarakat,” jelas Titi.
Advertisement
3 Alasan Terjadinya Sunat Perempuan
Adapun tiga alasan terbanyak yang diungkapkan oleh perempuan dalam melaksanakan sunat perempuan pada SPHPN tahun 2021 di antaranya:
- Mengikuti perintah agama (68,1) persen.
- Melakukan sunat karena sebagian besar masyarakat di lingkungannya juga melakukannya (40,3) persen.
- Anggapan adanya manfaat kesehatan, seperti dianggap lebih menyuburkan (40,3) persen.
“Pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa. Berbeda dengan khitan laki-laki yang memiliki standar prosedur khitan, praktik sunat perempuan sama sekali tidak memiliki standar prosedur pelaksanaan,” tegas Titi Eko.
55 Persen Anak Perempuan Pernah Disunat
Sebelumnya, dijelaskan bahwa sebanyak 55 persen anak perempuan dari kelompok usia 15-49 tahun di Indonesia pernah menjalani sunat perempuan atau P2GP.
Angka ini diungkap dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan pada 2021. Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan.
Terkait hal ini, Titi Eko Rahayu menyatakan sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan.
“Berdasarkan data UNICEF, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan P2GP atau sunat perempuan. Indonesia masuk dalam kategori tiga besar negara yang mempraktikkannya,” kata Titi.
“Sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia,” tambahnya.
Praktik yang membahayakan ini masih dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat. Titi Eko memaparkan, banyaknya praktik sunat perempuan di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh faktor pemahaman atau tafsir agama dan budaya di mana perempuan itu tinggal.
Advertisement