Sukses

Dokter Diminta Tidak Terburu-Buru Berikan Obat Antibiotika, Ini Alasannya

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menjelaskan mengenai pentingnya pemberian antibiotika yang benar oleh dokter.

Liputan6.com, Jakarta - Pemberian obat antibiotik tidak boleh secara sembarangan, melainkan harus sesuai resep dokter. Hal ini guna mencegah resistensi akibat penggunaan antibiotika yang tidak tepat dalam melawan infeksi bakteri.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menjelaskan mengenai pentingnya pemberian antibiotika yang benar oleh dokter. Dia juga mengimbau agar masyarakat tidak membeli antibiotika secara bebas karena obat tersebut termasuk dalam golongan obat keras.

"Obat antibiotika adalah obat untuk membunuh bakteri, sementara obat antimikroba lainnya, ada antivirus, antijamur. Jadi, ada obat untuk bakteri, virus, jamur. Pemberian antibiotika harus sesuai dengan indikasi,” ujar Syahril di Jakarta, dilansir Sehat Negeriku.

“Indikasi yang diberikan pada obat antibiotika dilakukan oleh dokter. Karena itu harus resep dokter, dan tidak boleh obat antibiotika dibeli bebas. Sebab, termasuk obat keras dan pemberiannya harus sesuai indikasi.”

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan antibiotika ke dalam tiga kelompok, yang disingkat menjadi AWaRe (Access, Watch, Reserve). Kelompok Access mencakup antibiotika yang direkomendasikan untuk infeksi umum dan mudah diakses.

Kelompok Watch terdiri dari antibiotika yang digunakan pada pasien dengan penyakit berat di fasilitas kesehatan. Penggunaan antibiotika ini harus dipantau dengan cermat untuk menghindari kelebihan dosis.

Sementara itu, kelompok Reserve mencakup antibiotika yang hanya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk mengobati infeksi berat yang disebabkan oleh patogen resisten atau kebal terhadap berbagai obat. 

 

2 dari 3 halaman

Pemberian Obat Berbasis Bukti

Terkait dengan jenis-jenis antibiotika, Syahril menegaskan, indikasi pemberian obat kepada pasien, salah satunya berbasis bukti (evidence based).

“Berdasarkan evidence based itu contohnya, kalau batuk pilek, obat yang diberikan A. Kemudian, kalau pasien mengalami infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran cerna, infeksi saluran kencing, obatnya B. Ini yang dinamakan sesuai evidence based, literaturnya,” tegasnya.

“Selanjutnya, dokter boleh memberikan obat dengan catatan melihat gejala-gejala pada saat pasien melakukan pemeriksaan. Misal, pasien bergejala demam, nyeri.”

 

3 dari 3 halaman

Dokter Diimbau Tidak Terburu-Buru Beri Antibiotik

Apabila pasien tidak bergejala dan nyeri, bahkan tidak ada infeksi yang lain, dokter diharapkan tidak langsung memberikan obat antibiotika.

“Dokter pun jangan buru-buru memberikan obat antibiotika. Harus ada indikasi dari pasiennya dan melihat gejala, seperti demam, nyeri,” sambung Syahril.

“Akan tetapi, kalau gejala pasien lebih berat atau dengan obat antibiotika yang berdasarkan evidence based kurang berhasil, maka idealnya dilakukan pemeriksaan laboratorium kultur untuk melihat jenis bakteri dan obat yang tepat.”

Hasil pemeriksaan kultur akan menunjukkan jenis antibiotika yang tepat untuk mengobati infeksi bakteri yang dialami pasien. Jika antibiotika yang diberikan tidak sesuai, infeksi tidak akan sembuh.