Liputan6.com, Jakarta Agama Islam mengajarkan para pria untuk menghindari perkataan yang mengarah pada talak atau perceraian meski dalam konteks bercanda. Misal:
“Seandainya dia ingin menikahi istrimu, boleh tidak?”
Baca Juga
“Boleh,” kata seorang suami dengan niat bercanda.
Advertisement
Menurut pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo, Ustaz Rif'an Haqiqi, sebaiknya seorang laki-laki yang beristri selalu menjaga lisannya dari kata-kata yang mengandung makna perceraian, meskipun dalam konteks bercanda. Karena Rasulullah saw bersabda:
ثَلاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكاحُ، والطَّلاقُ، والرَّجْعَةُ
Artinya: "Ada tiga hal yang seriusnya dihukumi serius, bercandanya pun dihukumi serius, yaitu: nikah, talak, dan rujuk,” (HR At-Tirmidzi) mengutip NU Online, Selasa (8/10/2024).
Berdasarkan hadits ini, kata 'seandainya' yang diucapkan menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut hanya sebatas candaan, tapi tetap dihukumi sama seperti ucapan yang serius. Sebab itu, sebaiknya jauhi candaan yang menyangkut talak.
Berbeda dengan bercanda dengan mengisahkan dan memeragakan adegan talak, secara fiqih tidak dianggap sebagai talak. (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu'in, [Beirut: Dar Ibn Hazm, tt], halaman 507).
Dalam hukum Islam, shighat (ucapan) talak dibagi menjadi dua yakni talak sharih (jelas) dan talak kinayah.
Perbedaan Talak Sharih dan Talak Kinayah
Talak sharih adalah kalimat yang tidak memiliki kemungkinan makna lain selain talak. Contohnya seperti kalimat:
"Aku ceraikan kamu" atau "Aku telah menjatuhkan talak pada istriku.”
Jika seorang suami mengucapkan sighat talak sharih, maka otomatis jatuh talak, meskipun tanpa disertai niat menceraikan istri.
Sementara, talak kinayah (sindiran) adalah kalimat yang memiliki kemungkinan makna lain selain talak. Contohnya seperti kalimat:
"Aku telah berpisah dengan istriku.”
Kata 'berpisah' selain bisa dimaknai sebagai perceraian, bisa juga dimaknai sebagai terpisah secara fisik karena jarak yang jauh. Talak yang diucapkan dengan shighat kinayah tidak berdampak pada putusnya ikatan pernikahan kecuali jika disertai dengan niat menceraikan istri.
Advertisement
Mempersilakan Istri untuk Dinikahkan Walinya
Dalam kitab Fathul Mu'in disebutkan suatu kasus yang juga bisa merujuk pada ucapan talak, yakni:
لو قال لوليها: زوّجها فمقر بالطلاق ِ
Artinya: "Jika seorang laki-laki berkata kepada wali istrinya: ‘Nikahkanlah dia (istriku),’ maka laki-laki tersebut berarti telah mengakui (beriqrar) bahwa istrinya sudah dicerai olehnya," (Al-Malibari, 509).
Pasalnya, dengan mempersilakan wali istrinya untuk menikahkannya, artinya suami telah memutus ikatan pernikahan dengan istrinya. Karena salah satu syarat seorang perempuan halal dinikahi adalah tidak memiliki ikatan pernikahan dengan siapapun.
Mempersilakan Istri Dinikahi Orang Lain dalam Konteks Bercanda
Lantas bagaimana jika mempersilakan istri dinikahi orang lain tapi dalam konteks bercanda?
Menurut Rif'an Haqiqi, maka perlu dilihat kaidah bahasa sebagaimana penjelasan Imam As-Suyuthi berikut:
إنَّمَا يَتَجَاذَبُ الْوَضْعُ وَالْعُرْفُ فِي الْعَرَبِيِّ، أَمَّا الْأَعْجَمِيُّ فَيُعْتَبَر عُرْفُهُ قَطْعًا
Artinya: "Kontradiksi antara penggunaan makna asal dan makna yang berlaku secara umum hanya terjadi dalam bahasa Arab. Adapun bahasa selain Arab, yang dipandang adalah makna yang berlaku secara umum," (Al-Asybah wan Nazhair [Beirut, Darul Kutubil 'Ilmiyyah: 1983], halaman 95).
Berdasarkan kaidah ini, maka ucapan bercanda soal memperbolehkan istri dinikahi orang lain tidak dianggap sebagai pengakuan bahwa ia telah mencerai istrinya. Karena dalam bahasa Indonesia, ucapan seperti itu tidak biasa digunakan untuk menyatakan sebuah pengakuan (iqrar).
Namun, ucapan bercanda itu tergolong shighat talak kinayah karena dengan mempersilahkan istrinya dinikahi orang lain, secara tidak langsung mengandung makna melepas ikatan pernikahannya.
“Ucapan bercanda sebagaimana dalam pertanyaan tidak menyebabkan jatuhnya talak, kecuali jika saat mengucapkan disertai niat menceraikan istrinya,” tutup Rif’an.
Advertisement