Sukses

Studi Pemberdayaan Perempuan di Pertanian: dari Penggarap hingga Pengambil Keputusan

Tim peneliti dari Badan Kerjasama dan Manajemen Pengembangan (BKMP) Universitas Airlangga, bekerja sama dengan INKLUSI dan 'Aisyiyah, telah melakukan riset berjudul "Pemberdayaan Perempuan di Sektor Pertanian" untuk meneliti kondisi dan peran perempuan di sektor ini.

Liputan6.com, Kolaka - Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, berkontribusi sebesar 11,8% terhadap PDB pada Triwulan I 2023 dan menyerap 26,07% tenaga kerja. Meskipun menjadi penopang ekonomi di pedesaan, sektor ini masih menghadapi masalah produktivitas yang rendah, membuat banyak masyarakat pedesaan rentan terhadap kemiskinan.

Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan di sektor ini adalah melalui pemberdayaan perempuan yang selama ini berperan besar dalam berbagai kegiatan pertanian, mulai dari pengolahan lahan hingga pemasaran hasil panen.

Meski perempuan memainkan peran penting, kontribusi mereka seringkali kurang diakui. Banyak perempuan dianggap hanya sebagai "pendamping" suami, sehingga mereka menghadapi kendala dalam mengakses sumber daya, teknologi, serta terlibat dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, kebijakan yang lebih inklusif sangat diperlukan agar perempuan dapat berkontribusi secara optimal di sektor ini.

Studi Tentang Peran Perempuan di Sektor Pertanian

Tim peneliti dari Badan Kerjasama dan Manajemen Pengembangan (BKMP) Universitas Airlangga, bekerja sama dengan INKLUSI dan 'Aisyiyah, telah melakukan riset berjudul "Pemberdayaan Perempuan di Sektor Pertanian" untuk meneliti kondisi dan peran perempuan di sektor ini.

Studi dilakukan di empat daerah, yaitu Probolinggo, Garut, Lahat, dan Kolaka, dengan tujuan menggali bagaimana perempuan di sektor pertanian berdaya dan apa saja tantangannya.

Salah satu peneliti, Shochrul Rohmatul Ajija, S.E., M.Ec., mengungkapkan bahwa mayoritas perempuan petani di Kabupaten Kolaka merupakan penggarap lahan sendiri, dengan modal usaha pertanian sekitar Rp11.000/m².

“Mayoritas responden petani perempuan Kolaka, yakni sebanyak 46 persen, menghabiskan 2-5 jam untuk bertani. Tiga puluh lima persen di antaranya memiliki jumlah jam kerja ke sawah hingga 5-8 jam. Sayangnya, hampir keseluruhan responden petani perempuan masih mencantumkan ‘mengurus rumah tangga’ sebagai jenis pekerjaan yang tercantum di KTP. Hanya 6,25 persen responden yang telah mencantumkan ‘petani/pekebun’ dalam KTP-nya,” ujar Shochrul melalui keterangan resmi. 

Sebagian besar petani perempuan di Kolaka juga memiliki tingkat pendidikan yang sama atau lebih tinggi dari suami mereka. Namun, mereka masih menghadapi kendala seperti sulitnya akses pupuk, bibit tanaman, dan kurangnya pemanfaatan teknologi seperti smartphone untuk mendukung usaha tani mereka. 

 

2 dari 3 halaman

Pengukuran Pemberdayaan dengan WEAI

Ketua tim peneliti, Martha Ranggi Primanthi, S.E., MIDEC., Ph.D., menjelaskan bahwa pemberdayaan perempuan diukur menggunakan Women’s Empowerment in Agriculture Index (WEAI).

“Sebanyak 79% petani perempuan di Kolaka masih belum berdaya, dengan rata-rata skor ketidakberdayaan mencapai 36%. Petani perempuan Kolaka kurang berdaya dalam pengambilan keputusan produktif, otonomi pada kegiatan produksi, akses dan keputusan kredit, dan bicara di depan umum,” ujar Martha.

Namun, ada temuan menarik bahwa perempuan di Kolaka lebih berdaya dalam mengatur waktu kerja dan menentukan waktu luang mereka dibandingkan rata-rata nasional.

 

3 dari 3 halaman

Tantangan dan Peluang Pemberdayaan Perempuan Petani

Pemberdayaan perempuan juga berkaitan dengan akses layanan kesehatan. Penelitian menemukan bahwa perempuan yang lebih berdaya cenderung memiliki BPJS, tetapi mereka justru lebih jarang mendapatkan bantuan pemerintah seperti PKH dan BPNT. Ini menunjukkan bahwa perempuan yang semakin mandiri cenderung kurang bergantung pada bantuan pemerintah.

Penelitian ini juga menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan, seperti kepemilikan rumah, pekerjaan suami, dan pendidikan. Namun, perempuan yang bekerja sebagai buruh tani atau memiliki banyak tanggungan rumah tangga lebih sulit untuk berdaya.

Diseminasi hasil penelitian di Kabupaten Kolaka melibatkan dinas terkait, petani perempuan, dan ‘Aisyiyah. Perwakilan dinas menyarankan peningkatan pelatihan literasi keuangan bagi petani perempuan, sementara perwakilan Muhammadiyah menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan baik saat produksi maupun pascapanen.

Para petani perempuan juga diberi kesempatan untuk menyampaikan kebutuhan mereka, seperti akses yang lebih baik terhadap sarana pertanian. Tim peneliti berharap hasil penelitian ini, bersama dengan masukan dari stakeholder, dapat membantu pembangunan sektor pertanian yang lebih inklusif di Kolaka dan di Indonesia.