Sukses

Pilih Makanan Lokal yang Murah dan Alami, Cara Rayakan Hari Pangan Sedunia 16 Oktober

Salah satu upaya untuk mengonsumsi pangan berkelanjutan adalah dengan memilih sumber lokal yang murah dan mudah didapat.

Liputan6.com, Jakarta - Tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia. Untuk memperingati hari ini, masyarakat bisa mulai mengonsumsi makanan yang sehat bagi tubuh dan lingkungan.

Menurut Dosen Sport Nutrition di Fakultas Bioteknologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dionysius Subali, salah satu upaya untuk mengonsumsi pangan berkelanjutan adalah dengan memilih sumber lokal yang murah dan mudah didapat.

“Banyak orang tidak berpikir sampai ke arah sana, bahwa memilih pangan lokal bisa membuat pangan tersebut sustain dalam jangka panjang, bahwa memilih produk impor bisa memperparah dampak pemanasan global dan menciptakan jejak karbon. Jangan sampai kitanya sehat, tapi alamnya tidak sehat,” kata pria yang akrab disapa Dion dalam keterangan pers, Selasa (15/10/2024).

Dalam keterangan yang sama, CEO dan Co-founder Eathink, Jaqualine Wijaya menambahkan, bahan makanan di negara tropis, seperti Indonesia, jauh lebih bernutrisi dibandingkan di negara bukan tropis.

“Namun, karena kita sering membaca rekomendasi diet dari negara barat, maka referensi kita jadi mengarah pada bahan makanan impor, seperti kiwi dan salmon,” jelas Jaqualine.

“Kita bisa kok, temukan banyak makanan lokal yang nilai gizinya setara dengan produk impor. Misalnya, kandungan omega-3 dalam ikan kembung bahkan lebih tinggi daripada salmon. Hanya saja, karena lokal dan murah, maka sering kali justru tidak dipandang. Padahal, kita punya hidden gem. Sebutlah ubi ungu yang tinggi antioksidan. Juga sorgum yang padat gizi,” kata Jaqualine.

2 dari 4 halaman

Tak Perlu Bergantung pada Pangan Impor

Banyak opsi pangan lokal yang tersedia di sekitar kita, lanjut Jaqualine. Harganya murah, nutrisinya baik, dan sangat mudah diakses.

Di setiap daerah pasti ada bahan makanan lokal, yang bisa memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat, tanpa harus bergantung pada pangan impor.

“Papua punya sagu. Orang yang tinggal di pesisir punya kemewahan makan ikan setiap hari,” ucapnya.

Tempe yang sangat Indonesia pun punya kandungan gizi setara daging sapi. Protein nabati pada umumnya tidak memiliki kandungan vitamin B12, yang terdapat pada daging. Menariknya, ketika kedelai difermentasi dalam proses pembuatan tempe, vitamin B12 itu pun terbentuk pada tempe. Itulah kenapa tempe disebut-sebut bisa menggantikan daging, dan harganya jauh lebih murah.

3 dari 4 halaman

Pangan Alami Tak Racuni Diri dalam Jangka Panjang

Selain lokal, ciri lain dari bahan pangan berkelanjutan adalah alami. Artinya, tidak akan meracuni diri dalam jangka panjang.

Ada dua hal yang dipertimbangkan dalam aspek ‘Alami’. Pertama, apakah bahan makanannya diproduksi secara alami. Misalnya, petani tidak menggunakan pestisida dan pupuk dari bahan kimia.

“Terdapat beberapa sertifikasi yang menunjukkan bahwa suatu bahan pangan diproduksi secara alami, misalnya organik, free range, dan grass fed,” kata Jaqualine.

Kedua, apakah menggunakan bahan alami saat proses pengolahan makanan. Seandainya memasak sendiri, kita akan tahu apa saja yang kita masukkan ke dalam masakan.

“Masalahnya, kita tidak tahu bahan apa yang digunakan dalam makanan yang kita beli di sebuah tempat makan dan dalam makanan kemasan. Biasanya, makanan kemasan sudah mengandung banyak bahan tambahan pangan sintetis, termasuk pewarna, perasa, dan pengawet.”

4 dari 4 halaman

Contoh Makanan Tak Alami

Dion mencontohkan sosis, yang disebutnya tidak alami lagi, karena mengandung banyak bahan tambahan pangan dan terbilang tinggi garam. Sementara, komponen dagingnya justru sedikit.

“Mudahnya, prinsip ‘Alami’ ini lebih mengarah pada real food. Misalnya, mengonsumsi ayam yang kita olah sendiri, sehingga bentuk aslinya pun masih terlihat. Kalaupun ingin dijadikan berbagai olahan, kita bisa membuatnya sendiri tanpa menambahkan bahan pangan sintetis.”

Jaqualine menambahkan, jika bahan pangan tambahan tersebut dalam pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebenarnya masih aman. Namun, jika dikonsumsi dalam jangka panjang, dampaknya akan kurang baik bagi kesehatan.