Sejak kecil, Wiwik Mutmainah sudah bercita-cita ingin menjadi bidan. Pesona pada ahli persalinan itu muncul saat seorang bidan membantu persalinan ibunya. Karena itu, bidan teladan yang lahir di Bandung, 2 April 1944 dan telah menggeluti dunia persalinan sejak 1965 ini sudah nekad ingin jadi bidan di usianya yang masih belia.
"Saking inginnya, ketika saya berusia 15 tahun, saya sudah mendaftarkan diri jadi bidan, sayangnya saya ditolak," kata Wiwik dalam workshop 4 bidan luar biasa di @amerika, Sabtu (4/5/2013).
Penolakan itu ternyata tidak membuat Wiwik menyerah. Tahun 1965, setelah diterima di sekolah bidan, Wiwik untuk pertama kalinya ditempatkan untuk jadi bidan di Lampung.
"Hanya dua tahun di Lampung, tahun 1967 saya dipindahtugaskan ke jakarta, tepatnya Puskesmas Kemayoran. Saat itu, saya sudah menjadi bidan teladan pertama di Indonesia," katanya.
Kasus per kasus diikutinya dengan cermat. "Sampai suatu saat, saya melihat seorang bidan yang melakukan operasi persalinan. Ketika itu, bidan yang membantu sepertinya tidak tahu mengenai prosedur persalinan yang benar," jelasnya.
"Saya lihat, bidan itu memasukkan tangannya ke organ intim calon ibu tanpa ia tahu kondisi pasien yang sedang kontraksi. Padahal, hal itu harus dilakukan hati-hati untuk mencegah pendarahan. Ketika itu, ibu mengalami pendarahan hebat dan akhirnya meninggal di meja operasi," tuturnya.
Sejak saat itu, Wiwik mulai berpikir apakah ada yang salah dalam pemberian materi di sekolah kebidanan dan bagaimana cara ia menyampaikan hal yang benar bagi bidan lainnya.
"Saya akui kalau alat (phantom) yang biasa digunakan untuk model wanita yang akan melahirkan kurang baik. Masa alatnya terlihat seperti sudah kontraksi, padahal kan ibu yang mau melahirkan tidak langsung terbuka 'vagina'nya,"ujarnya.
Ciptakan alat phantom
Akhirnya, Wiwik memutuskan untuk mencari sebuah alat yang mirip dengan panggul wanita, plasenta ang disebut phantom.
"Sulit mencarinya, setiap saya pelatihan di daerah tidak pernah ketemu. Sampai saya menemukannya di Jakarta. Tapi orang yang mau membuatkan alat peraga tersebut bilang, biayanya hingga ratusan juta,"ungkapnya.
Sejak itu saya berpikir untuk membuat sendiri. Awalnya juga tidak mudah, karena apa pun lem yang saya gunakan, lepas. Tapi setelah coba-coba saya berpikir untuk menjahitnya.
"Jadilah alat yang bagus sehingga mahasiswi bisa dengan mudah melihat perbedaan alat yang dahulu digunakan dengan yang saya buat," katanya.
Saking bagusnya, alat itu kini sudah diperjualbelikan di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, alat tersebut pasti ada di sekolah kebidanan.
Wiwik kini tidak lagi praktik sebagai bidan, tapi telah mendedikasikan dirinya sebagai master trainer pada Jaringan Nasional Pelatihan Kesehatan (JNPK).
Selain aktif mengajar dan membantu penelitian di Universitas Indonesia, Wiwik juga diangkat sebagai pelatih nasional untuk Kementerian Kesehatan.
(Fit/Abd)
"Saking inginnya, ketika saya berusia 15 tahun, saya sudah mendaftarkan diri jadi bidan, sayangnya saya ditolak," kata Wiwik dalam workshop 4 bidan luar biasa di @amerika, Sabtu (4/5/2013).
Penolakan itu ternyata tidak membuat Wiwik menyerah. Tahun 1965, setelah diterima di sekolah bidan, Wiwik untuk pertama kalinya ditempatkan untuk jadi bidan di Lampung.
"Hanya dua tahun di Lampung, tahun 1967 saya dipindahtugaskan ke jakarta, tepatnya Puskesmas Kemayoran. Saat itu, saya sudah menjadi bidan teladan pertama di Indonesia," katanya.
Kasus per kasus diikutinya dengan cermat. "Sampai suatu saat, saya melihat seorang bidan yang melakukan operasi persalinan. Ketika itu, bidan yang membantu sepertinya tidak tahu mengenai prosedur persalinan yang benar," jelasnya.
"Saya lihat, bidan itu memasukkan tangannya ke organ intim calon ibu tanpa ia tahu kondisi pasien yang sedang kontraksi. Padahal, hal itu harus dilakukan hati-hati untuk mencegah pendarahan. Ketika itu, ibu mengalami pendarahan hebat dan akhirnya meninggal di meja operasi," tuturnya.
Sejak saat itu, Wiwik mulai berpikir apakah ada yang salah dalam pemberian materi di sekolah kebidanan dan bagaimana cara ia menyampaikan hal yang benar bagi bidan lainnya.
"Saya akui kalau alat (phantom) yang biasa digunakan untuk model wanita yang akan melahirkan kurang baik. Masa alatnya terlihat seperti sudah kontraksi, padahal kan ibu yang mau melahirkan tidak langsung terbuka 'vagina'nya,"ujarnya.
Ciptakan alat phantom
Akhirnya, Wiwik memutuskan untuk mencari sebuah alat yang mirip dengan panggul wanita, plasenta ang disebut phantom.
"Sulit mencarinya, setiap saya pelatihan di daerah tidak pernah ketemu. Sampai saya menemukannya di Jakarta. Tapi orang yang mau membuatkan alat peraga tersebut bilang, biayanya hingga ratusan juta,"ungkapnya.
Sejak itu saya berpikir untuk membuat sendiri. Awalnya juga tidak mudah, karena apa pun lem yang saya gunakan, lepas. Tapi setelah coba-coba saya berpikir untuk menjahitnya.
"Jadilah alat yang bagus sehingga mahasiswi bisa dengan mudah melihat perbedaan alat yang dahulu digunakan dengan yang saya buat," katanya.
Saking bagusnya, alat itu kini sudah diperjualbelikan di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, alat tersebut pasti ada di sekolah kebidanan.
Wiwik kini tidak lagi praktik sebagai bidan, tapi telah mendedikasikan dirinya sebagai master trainer pada Jaringan Nasional Pelatihan Kesehatan (JNPK).
Selain aktif mengajar dan membantu penelitian di Universitas Indonesia, Wiwik juga diangkat sebagai pelatih nasional untuk Kementerian Kesehatan.
(Fit/Abd)