Liputan6.com, Jakarta Dokter spesialis mata Andreas Surya Anugerah mengatakan bahwa saat ini makin banyak anak yang mengalami miopi atau gangguan penglihatan yang menyebabkan tidak dapat melihat suatu objek dari jarak jauh.
Miopi atau rabun jauh atau disebut juga dengan mata minus pada usia anak banyak terjadi di usia enam tahun. Namun di bawah usia tersebut juga ada kasusnya.
Baca Juga
"Sekarang, kadang-kadang usia masih kecil sudah bisa terjadi rabun jauh di usia 5 tahun. Lalu, 6 tahun itu paling banyak, di bawah lima tahun juga ada tapi kasusnya tidak banyak," kata Andreas dalam wawancara bersama Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu.
Advertisement
Kesulitan melihat jarak jauh tentu saja membuat anak-anak jadi kesulitan untuk belajar di kelas dan bermain. Bila tidak terdeteksi pada banyak kasus anak disebut malas belajar padahal karena dia tidak bisa melihat tulisan di papan tulis yang ditulis guru.
"Kadang-kadang anak terliat malas, terlihat kurang bisa mengikuti. Dikira malas, padahal sebenarnya karena dia tidak bisa mengikuti," kata Andreas.
Maka dari itu, ia menyarankan kepada guru di sekolah untuk sensitif terhadap hal ini. Begitu pula orangtua, bila ada keluhan tersebut untuk memeriksakan kesehatan mata anak ke dokter mata.
Â
Faktor yang Bikin Anak Masih Kecil Sudah Rabun Jauh
Andreas memaparkan ada banyak faktor yang menyebabkan anak jadi rabun jauh di usia masih kecil. Terbagi menjadi dua faktor besar yang memengaruhi rabun jauh yakni kebiasaan sehari-hari dan genetik.
Faktor Kebiasaan Sehari-hari
- Penggunaan Gawai Terlalu Lama
"Kalau kita lihat aktivitas anak-anak sekarang berbeda ya dengan jaman milenial ke atas. Di zaman saya misalnya, tidak ada itu screen time atau terbatas lah ya. Tapi sekarang dari bayi sudah ada screen baik dari HP, laptop, dan itu jadi teman sehari-hari," lanjutnya.
Screen itu cenderung melihat secara dekat yang merupakan faktor risiko terjadinya rabun jauh.
"Screen itu melihat dekat, jaraknya dekat, melihat dekat itu meningkatkan risiko terjadinya rabun jauh," katanya.
Meski begitu, ia mengatakan tidak berarti antipati terhadap screen atau layar melainkan harus diatur berapa lama menonton atau screen time.
- Jarang Keluar Rumah
Lagi-lagi terkait dengan kebiasan melihat jarak dekat. Di mana sekarang aktivitas lebih banyak di dalam rumah atau indoor yang kebanyakan melihat dekat.
"Beda halnya dengan zaman dulu yang aktivitasnya melihat yang jauh, melihat alam, ke ladang," katanya.
Â
Advertisement
Faktor Genetik
Andreas mengatakan bahwa genetik punya peran juga dalam meningkatkan risiko anak alami rabun jauh. Bila salah satu orangtua misal ayah atau ibu sudah pakai kacamata rabun jauh, maka 3 kali lebih besar kemungkinan anak mengalami itu.
"Tapi kalau ayah dan ibu pakai kacamata rabun jauh, maka kemungkinan anak jadi 6 kali lipat," katanya lagi.
Bila orangtua sudah memahami kondisi, maka ia menyarankan agar mengatur agar bisa meminimalkan risiko anak terkena rabun jauh.
"Dengan modifikasi perilaku dan deteksi dini. Kalau anaknya terdeteksi dini, makin cepat ketahuan ya lebih baik," katanya lagi.