Sukses

Kadar Kolesterol Mahasiswa Kedokteran Ini Malah Meningkat Setelah Terapkan Pola Makan Berbasis Nabati, Kok Bisa?

Menurut dokter, lipoprotein densitas rendah (LDL), kadang-kadang disebut “kolesterol jahat,” dikaitkan dengan efek kesehatan yang negatif bila jumlahnya tinggi.

Liputan6.com, Jakarta Seorang mahasiswa kedokteran Harvard belum lama ini menjajal pola hidup vegan sebagai bagian dari eksperimen kesehatan. Hasilnya cukup mengejutkan.

Sejak beberapa waktu terakhir, pola makan nabati (plant-based diet) digembar-gemborkan terkait manfaat kesehatannya. Namun, mahasiswa Harvard, Nick Norwitz (25), justru menemukan kadar kolesterol LDL-nya melonjak selama menerapkan diet tersebut selama sepekan.

Menurut dokter, lipoprotein densitas rendah (LDL), kadang-kadang disebut “kolesterol jahat,” dikaitkan dengan efek kesehatan yang negatif bila jumlahnya tinggi.

Setelah seminggu menjalani pola makan “hampir seluruhnya karnivora”, Norwitz beralih ke “diet keto vegan lengkap” selama seminggu berikutnya, dillansir New York Post.

Pada unggahan videonya, Nick Norvitz menjelaskan plant-based diet yang dijalaninya fokus pada menu tahu dengan tambahan bubuk protein vegan, sayuran hijau seperti bayam dan kubis Brussle, serta sedikit cokelat hitam dan selai kacang macadamia.

Sementara untuk sumber lemak utama, Norwitz mengandalkan minyak macadamia, minyak zaitun extra virgin, serta beberapa minyak wijen panggang.

Dalam videonya, Norwitz merinci jumlah makronutrien tertentu yang dia konsumsi dengan pola makan karnivora dan vegan.

“Sejujurnya, perut saya menjadi sangat mual karena pola makan vegan,” kata Norwitz. “Itu hanya saya, dan biologi serta mikrobioma saya.”

“Meskipun saya mengonsumsi lebih sedikit lemak total, lebih sedikit lemak jenuh, lebih banyak serat, dan nol kolesterol dalam pola makan vegan, total kolesterol LDL saya justru meningkat," tuturnya. 

 

2 dari 4 halaman

Alasan Kadar Kolesterol LDL Melonjak

 

Alasan lonjakan kolesterol LDL pada pola makan keto vegan dibandingkan dengan pola makan keto “karnivora” adalah kalori, kata Norwitz.

Pada diet keto yang mirip karnivora, dia mengonsumsi 3.479 kalori per hari. Menurutnya jumlah tersebut merupakan jumlah yang biasa dia konsumsi. "Dan berat badan saya tidak berubah," ujarnya.

Pada pola makan keto vegan, dia mengonsumsi lebih sedikit kalori – 2.054 per hari.

“Meskipun saya tidak menganut teori bahwa kalori menyebabkan obesitas, itu tidak berarti kalori tidak penting,” katanya.

Namun, Norwitz mencatat penurunan kalori secara drastis pun memicu penurunan berat badan. Dengan pola makan nabati seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Nick Norwitz mengaku kehilangan 4,2 pon (setara dengan 1.9 kg). Menurutnya penurunan berat badan itu menjadi alasan lonjakan LDL.

Penelitian yang dipublikasikan sebelumnya menunjukkan “hubungan terbalik” antara kolesterol LDL dan indeks massa tubuh pada diet rendah karbohidrat, katanya.

“Analisis menunjukkan bahwa populasi yang lebih kurus dengan BMI kurang dari 25 mengalami peningkatan LDL,” katanya. “Semakin ramping seseorang, semakin tinggi pula LDL-nya, semua hal dianggap sama.”

Norwitz menjelaskan secara rinci dalam videonya tentang alasan ilmiah atas hubungan antara BMI yang lebih rendah dan kolesterol LDL yang lebih tinggi.

Dia percaya bahwa hasil ini kemungkinan akan berlaku untuk orang-orang kurus dan aktif lainnya yang menjalani diet rendah karbohidrat dalam keadaan terkendali. 

 

3 dari 4 halaman

Berharap Orang Lebih Peduli Terhadap Kondisi Unik Tiap Individu

Norwitz – yang menggambarkan dirinya sebagai “akademisi” dengan gelar PhD di bidang kesehatan metabolik, yang saat ini sedang menyelesaikan gelar kedokterannya di Harvard – mengatakan bahwa dia selalu memiliki hasrat untuk berbagi “kegembiraan dan minat” dalam sains.

“Meskipun manusia dapat melakukan pola makan nabati dengan baik, namun mengonsumsi makanan nabati tidak esensial bagi kesehatan,” kata Norwitz kepada Fox News Digital.

“Studi vegan-keto saya, meskipun merupakan demonstrasi metabolisme yang dirancang dengan cermat, secara provokatif menyinggung ide-ide konvensional untuk, mudah-mudahan, memaksa orang untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana kondisi metabolisme unik setiap individu layak mendapat pertimbangan individual,” lanjutnya.

“Cara ini adalah demonstrasi radikal yang mencoba menyampaikan pendapat yang masuk akal.”

Yang terpenting, Norwitz berharap eksperimennya menginspirasi orang untuk menjadi lebih peduli dengan kesehatan metabolisme mereka sendiri.

“Psikologi lebih menular daripada flu,” katanya. “Saya ingin orang-orang memvaksinasi diri mereka sendiri dengan rasa ingin tahu.” 

 

4 dari 4 halaman

Penting Hindari Makanan dan Karbohidrat Olahan

Bradley Serwer, seorang ahli jantung dan kepala petugas medis di VitalSolution, sebuah perusahaan di Ohio yang menawarkan layanan kardiovaskular dan anestesiologi ke rumah sakit di seluruh negeri, tidak terlibat dalam percobaan ini tetapi memberikan masukannya mengenai temuan tersebut.

“Mustahil untuk mengekstrapolasi pengalaman satu orang ke seluruh populasi,” kata Serwer kepada Fox News Digital.

Ahli jantung itu pun memperingatkan, hanya karena sesuatu diberi label vegan tidak serta merta membuatnya sehat.

“Penting untuk menghindari makanan olahan dan karbohidrat olahan (gula), yang umum ditemukan pada banyak makanan vegan,” kata Serwer.

Genetika juga memainkan peran besar dalam metabolisme kolesterol seseorang, katanya.

“Mengubah pola makan secara tiba-tiba dapat mengganggu fisiologi tubuh dan menyebabkan fluktuasi kadar kolesterol,” kata Serwer.

Bagi mereka yang memilih untuk menjadi vegan, kata dokter tersebut, penting untuk “meningkatkan serat larut, fokus pada makanan utuh, yang diproses secara minimal, dan memasukkan lemak sehat seperti alpukat, kacang-kacangan, biji-bijian dan minyak zaitun ke dalam makanan Anda.”

Video Terkini