Liputan6.com, Jakarta Menghina dan merendahkan orang lain adalah perbuatan negatif. Pada prinsipnya, Islam melarang umatnya untuk saling menghina dan merendahkan. Baik antar sesama Muslim ataupun dengan penganut agama lain.
Dalam hubungan sesama Muslim, saling mencaci ataupun merendahkan adalah perbuatan terlarang. Terkait hal ini, Rasulullah saw pernah bersabda bahwa derajat seseorang bisa dilihat dari kebiasaannya. Kerendahan diri seseorang adalah ketika ia mudah merendahkan derajat orang lain.
Baca Juga
Sebaliknya, seseorang akan dinilai tinggi derajatnya jika menghormati sesama. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Sunan Ibni Majah karya Imam Ibnu Majah (207-275 H) yang bersumber dari sahabat Abi Hurairah.
Advertisement
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ حَسْبَ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه)
Artinya: "Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: ‘Cukuplah keburukan seseorang jika ia menghina saudaranya sesama muslim,’ (HR. Ibnu Majah),” seperti melansir NU Online, Sabtu (7/12/2024).
Para pencela telah diancam oleh Allah SWT lewat surat Al-Humazah. Dalam ayat satu, Allah swt berfirman:
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ
Wailul likulli humazatil-lumazah
Artinya, "Celakalah setiap pengumpat lagi pencela."
Mayoritas mufasir (ahli tafsir) memaknai kata “wailun”, dengan dua makna, yaitu (1) kehinaan, azab dan kebinasaan; dan (2) suatu lembah di neraka Jahanam.
Ancaman bagi Para Pencela
Menurut Syekh Mustafa Al-Maraghi (wafat 1371 H), kata “wailun” digunakan untuk mencela dan memburukkan. Maksudnya adalah peringatan atas buruknya perbuatan yang akan disebutkan setelahnya, (Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, juz XXX, halaman 237).
Sementara menurut Prof. Quraish Shihab kata “wail” digunakan untuk menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Kata ini juga digunakan untuk mendoakan seseorang agar mendapatkan kecelakaan dan kenistaan itu. Dengan demikian ia dapat menggambarkan keadaan buruk yang sedang atau akan dialami.
Banyak ulama memahaminya dalam arti kecelakaan atau kenistaan yang akan dialami, dan dengan demikian kata “wail” menjadi ancaman untuk pengumpat dan pencela, tulis M Quraish Shihab dalam bukunya, Tafsir Al-Misbah.
Advertisement
Tertawa Mengejek Orang Lain
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Alhafiz Kurniawan, juga sempat membahas soal ejekan dan senyum atau tertawa mengejek orang lain.
Menurutnya, senyum mengejek atau tertawa mengolok-olok orang lain sungguh dilarang dalam Islam karena menyakiti hati orang yang diejek dan diolok-olok melalui senyum dan tertawaan.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ejekan, olok-olok, dan mengangkat aib dan kekurangan orang lain ke permukaan meski dengan isyarat sebagai bahan tertawaan merupakan tindakan tercela.
الآفة الحادية عشر السخرية والاستهزاء وهذا محرم مهما كان مؤذيا كما قال تعالى يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ومعنى السخرية الاستهانة والتحقير والتنبيه على العيوب والنقائص على وجه يضحك منه وقد يكون ذلك بالمحاكاة في الفعل والقول وقد يكون بالإشارة والإيماء
Artinya: “Kerusakan kesebelas adalah ejekan dan olok-olok. Hal ini diharamkan ketika menyakiti pihak lain sebagaimana firman Allah SWT, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kelompok mengolok-olok kelompok lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Jangan pula sekelompok perempuan (mengolok-olok) kelompok perempuan lainnya (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari kelompok (yang mengolok-olok)’ (Surat Al-Hujurat ayat 11). Pengertian sukhriyyah atau olok-olok adalah tindakan menghina, merendahkan, dan mengangkat aib serta kekurangan orang lain dengan jalan menertawakannya. Hal itu dapat dilakukan dengan perbuatan atau ucapan, terkadang dengan isyarat dan petunjuk tertentu,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Kairo, Darus Syi‘ib: tanpa catatan tahun], juz IX, halaman 1577-1578).
Dosa yang Pasti Tercatat
Adapun sahabat Ibnu Abbas RA menyebutkan bahwa senyum merendahkan dan tertawa penghinaan terhadap orang lain merupakan dosa yang pasti tercatat. Kalau senyum adalah dosa kecil, maka tertawa adalah dosa besar.
وقال ابن عباس في قوله تعالى يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا إن الصغيرة التبسم بالاستهزاء بالمؤمن والكبيرة القهقهة بذلك وهذا إشارة إلى أن الضحك على الناس من جملة الذنوب والكبائر
Artinya: “Sahabat Ibnu Abbas RA perihal firman Allah SWT ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak juga yang besar, melainkan ia mencatat semuanya,’ (Surat Al-Kahfi ayat 49) mengatakan, ‘yang kecil’ adalah senyum ejekan terhadap orang yang beriman. Sedangkan ‘yang besar’ adalah tertawa terbahak sebagai ejekan atas orang beriman.’ Ini sudah cukup sebagai isyarat bahwa menertawakan orang lain sebagai ejekan termasuk dosa besar,” (Al-Ghazali, tanpa catatan tahun: IX/1578).
Pada prinsipnya, senyum mengejek dan tertawa penghinaan merupakan bentuk tindakan peremehan dan pengecilan yang dapat menyakiti orang lain. Sedangkan Islam melarang kita untuk menyakiti orang lain.
وكل هذا يرجع إلى استحقار الغير والضحك عليه استهانة به واستصغارا له وعليه نبه قوله تعالى عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ أي لا تستحقره استصغارا فلعله خير منك وهذا إنما يحرم في حق من يتأذى به
Artinya: “Semua itu merujuk pada tindakan meremehkan dan menertawakan orang lain sebagai bentuk penghinaan dan pengecilan atasnya. Firman Allah SWT mengingatkan, ‘Boleh jadi kelompok lain (yang diolok-olok) lebih baik dari kelompok (yang mengolok-olok),’ (Surat Al-Hujurat ayat 11). Maksudnya, janganlah kamu merendahkan orang lain karena menganggapnya kecil karena boleh jadi ia lebih baik darimu. Tindakan ini diharamkan karena menyangkut hak orang lain yang tersakiti,” (Al-Ghazali, tanpa catatan tahun: IX/1578).
Advertisement