Sukses

Hutan adalah Ibu, Cerita Masyarakat Adat Papua Manfaatkan dan Lindungi Pohon Sagu

Masyarakat Sorong, Papua menganggap hutan adalah ibu, ini alasannya.

Liputan6.com, Jakarta Bagi masyarakat adat Papua, istilah hutan adalah ibu bukan sekadar ungkapan tanpa makna. Mereka benar-benar menganggap bahwa hutan adalah mama, sumber penghidupan, yang akan memberikan apapun demi kelangsungan hidup mereka.

Sebagai contoh, masyarakat Papua tidak memiliki kebun khusus untuk menanam sagu. Apa yang diberikan Tuhan di hutan, itulah yang mereka manfaatkan.

Kepala Kampung Bariat, Sorong Selatan, bercerita, jika memanen padi, mereka harus tunggu empat bulan. Sedangkan untuk mendapatkan sagu, mereka bisa mencari begitu saja di hutan. Begitu berlimpah persediaan sagu di kampung tersebut.

Tak mengherankan, jika Sorong Selatan menjadi salah satu kabupaten dengan cadangan sagu terbesar di Papua Barat Daya.

“Kami mengamati cara mereka mengolah sagu dari hulu sampai ke hilir. Satu pohon sagu ditebang dan diolah bersama-sama. Ada pembagian tugas yang jelas antara laki-laki dan perempuan. Hasil olahan berupa tepung sagu bisa dikonsumsi oleh banyak orang dalam satu kampung selama berhari-hari,” kata Rifqy Faiza Rahman dari TelusuRI yang menjalani ekspedisi Arah Singgah pada 2023–2024.

Rifqy menambahkan bahwa mereka bijak dalam mengambil. Tidak menebang habis pohon sagu, mereka hanya mengambil secukupnya dan menyisakan tunas untuk bisa bertumbuh lagi.

“Kepercayaan bahwa hutan adalah ibu benar-benar mengakar kuat di Sorong. Pengetahuan dan praktik tentang hutan diwariskan turun-temurun. Beberapa tempat keramat ditandai secara khusus untuk melindungi pohon sagu,” ujar Rifqy mengutip keterangan pers, Jumat (13/12/2024).

2 dari 4 halaman

Hubungan antara Hutan dan Manusia di Papua Sangat Personal

Tak hanya sagu sebagai makanan pokok, bumbu pun bisa didapatkan dari hutan, termasuk garam. Di Kampung Malawele, Kabupaten Sorong, ada Sinagi Papua yang memproduksi bumbu asin atau garam hutan dari pohon nipah.

Bumbu ini merupakan warisan leluhur Suku Moi. Mereka membakar pelepah nipah sampai menjadi abu kehitaman, yang disebut garam nipah.

“Tapi, untuk keperluan komersial, tampilannya dipercantik. Abu hitam itu disaring, dimasak, hingga berubah warna menjadi putih. Teh pun bisa mereka buat dari kayu hutan kamlowele,” kata Rifqy, yang melihat hubungan antara hutan dan manusia di Papua sangat personal.

3 dari 4 halaman

Hubungan Manusia dan Hutan di Kalimantan

Sementara, di Kalimantan, masyarakat Kampung Merabu menganggap bahwa kampung mereka merupakan kampung terakhir di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang masih menjaga hutan dan ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Sementara kampung tetangga sudah disesaki oleh perkebunan kelapa sawit.  

“Koneksi antara mereka dan hutan, termasuk orang mudanya, sangat baik. Mereka menganggap keberadaan hutan memainkan peranan sangat penting. Mereka masih bisa bermain di hutan, mencari hasil hutan, seperti madu hutan, juga berburu kijang dan babi hutan.”

“Suku Dayak Lebo yang tinggal di Kampung Merabu dikenal sebagai suku peramu obat tradisional, yang bahannya didapat dari hutan,” papar Rifqy.

4 dari 4 halaman

Cara Warga Desa Batu Songgan Riau Jaga Ekosistem

Rifqy pun bercerita, hidup masyarakat Desa Batu Songgan di Riau sangat bergantung pada hutan dan sungai dengan pemanfaatan yang terbatas.

Untuk menjaga ekosistem dua kawasan tersebut, mereka mempunyai aturan adat, yaitu hutan larangan dan lubuk larangan.

“Saat hutan larangan diberlakukan, selama beberapa waktu, masyarakat tidak boleh mengakses suatu kawasan hutan tertentu. Ketika area itu dibuka kembali, barulah mereka bisa memanen hasil hutan bersama-sama.”

Hal serupa diberlakukan di area Sungai Subayang. Sungai tersebut diberi pembatas jaring yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Aturan ini diterapkan untuk menjaga ikan kecil, sehingga mereka bisa terus bertumbuh. Saat panen raya, kepala kampung akan membuka larangan tersebut dengan upacara adat, dan masyarakat boleh mengambil hasil sungai.

Menariknya, Suku Moi juga mempunyai aturan serupa. Namanya egek. “Tradisi egek membatasi akses masyarakat untuk masuk kawasan hutan. Di dalam hutan terdapat sejumlah situs bersejarah dan pohon keramat. Untuk ekowisata, jalurnya dibuat di luar jalur-jalur egek. Egek di hutan akan dibuka saat waktunya tiba. Ketika itu, masyarakat boleh memanen hasil hutan,” kata Rifqy.

Egek juga diterapkan di laut. Para kepala kampung menentukan satu kawasan khusus di laut yang tidak boleh diakses oleh masyarakat. Selama egek diberlakukan, ada tiga hasil laut yang tidak boleh diambil, yaitu lobster, lola (kerang laut), dan teripang. Hasil laut lain, seperti berbagai macam ikan, tetap boleh diambil untuk kebutuhan sehari-hari.