Sukses

Oknum Akademisi Klaim Rokok Elektrik 95 Persen Lebih Aman, RUKKI: Tak Miliki Dasar Ilmiah yang Kuat

Keterlibatan sejumlah oknum akademisi dan lembaga riset dalam memperkuat narasi menyesatkan soal rokok elektrik jadi ancaman di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Vietnam bersiap melarang peredaran rokok elektronik secara total pada 2025. Sementara, Indonesia justru menghadapi ancaman yang lebih rumit soal konsumsi vape.

Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menilai ada keterlibatan sejumlah oknum akademisi dan lembaga riset dalam memperkuat narasi yang menyesatkan dari industri.

RUKKI mengungkapkan hasil temuan bahwa klaim narasi “rokok elektronik 95 persen lebih aman” yang kerap digunakan sebagai alat promosi, ternyata tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.

“Klaim ini berasal dari artikel yang ditulis oleh David Nutt dkk. di Jurnal European Addiction Research dengan menggunakan metode Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA) terhadap 12 produk tembakau dengan 14 kriteria bahaya menurut penilaian peneliti, dan bukan hasil uji komposisi produk di laboratorium,” kata Ketua RUKKI, Mouhamad Bigwanto dalam keterangan pers dikutip Sabtu (21/12/2024).

“Faktanya, ternyata panel ahli yang terlibat pun memiliki konflik kepentingan dengan industri rokok,” tambahnya.

Ulasan mengenai klaim menyesatkan tentang rokok elektronik 95 persen lebih aman ini juga sudah dibahas oleh beberapa jurnal ilmiah terkemuka, salah satunya adalah The Lancet.

Indonesia sebenarnya telah mengambil langkah awal dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang melarang promosi rokok elektrik melalui diskon, hadiah, atau media sosial. Namun, peraturan ini belum mencakup aspek krusial lain, yaitu pengawasan terhadap upaya industri untuk memanfaatkan lembaga akademik dan riset dalam menyebarkan narasi menyesatkan.

2 dari 4 halaman

Industri Rokok Gunakan Berbagai Cara untuk Hindari Regulasi

Bigwanto menilai, industri rokok melakukan berbagai cara untuk menghindari regulasi yang ada.

“Industri rokok menggunakan berbagai cara untuk menghindari regulasi yang ada, termasuk membangun hubungan strategis dengan akademisi dan peneliti. Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat citra mereka, tetapi juga memberikan legitimasi palsu pada produk yang seharusnya diawasi lebih ketat,” jelas Bigwanto.

Dia tak memungkiri bahwa di Indonesia pun ada beberapa peneliti dari universitas terkemuka serta lembaga riset yang mendapat dana dari Philip Morris International lewat lembaga internasional bernama Foundation for a Smoke-Free World (FSFW). Yang sekarang berubah nama menjadi Global Action to End Smoking.

Selain itu, ada pula keterlibatan ASN yang mendukung narasi “95 persen lebih aman” yang menyesatkan.

“Ketika universitas atau lembaga riset memanfaatkan dana dari industri rokok untuk mendukung promosi produk, integritas ilmu pengetahuan tergadaikan. Hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga menempatkan masyarakat dalam risiko besar,” tambah Bigwanto.

3 dari 4 halaman

Narasi Menyesatkan Bawa Dampak Serius

Narasi “lebih aman” yang digencarkan industri membawa dampak serius. Studi menunjukkan bahwa pengguna rokok elektronik mengalami kerusakan alveoli paru-paru yang serupa dengan perokok konvensional.

Kadar nikotin dalam darah mereka pun setara dengan konsumsi lima batang rokok per hari, menandakan kecanduan yang tetap tinggi.

Bigwanto menggarisbawahi, tanpa pengendalian yang tegas, narasi palsu yang disebarkan industri rokok elektronik akan terus memperluas jangkauan penggunaannya yang saat ini sudah merambah usia anak dan remaja.

Dampaknya tidak hanya akan terlihat pada semakin tingginya prevalensi pengguna rokok elektronik, tetapi juga pada lonjakan penyakit terkait perilaku merokok yang membebani sistem kesehatan nasional. Biaya pengobatan yang meningkat drastis akibat penyakit ini akan menjadi bom waktu yang semakin sulit diatasi.

4 dari 4 halaman

Pemerintah Perlu Perkuat Regulasi

Untuk melindungi generasi mendatang, RUKKI mendorong langkah konkret yang harus melibatkan semua pihak.

Pemerintah perlu memperkuat regulasi dengan melarang semua bentuk kerja sama antara industri rokok dan lembaga akademik. Regulasi juga perlu diperluas untuk mencakup integrasi rokok elektronik dalam aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan memperketat pengawasan promosi yang menyasar orang muda melalui media sosial.

Selain itu, edukasi publik harus ditingkatkan, dengan menyampaikan hasil penelitian independen menggunakan media populer yang mudah dipahami masyarakat.

RUKKI juga menyerukan pembentukan koalisi peneliti dan akademisi berintegritas yang bersedia menolak pendanaan dari industri rokok dan mendorong universitas untuk menerapkan kebijakan internal yang lebih tegas.

Modul pendidikan mengenai bahaya rokok elektronik perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah untuk menciptakan kesadaran sejak dini. Di tingkat internasional, Indonesia dapat belajar dari langkah progresif negara seperti Vietnam untuk menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi kesehatan masyarakat.

“Vietnam telah mengambil langkah progresif dengan merencanakan pelarangan total rokok elektronik, menunjukkan komitmen mereka untuk melindungi generasi mendatang. Indonesia seharusnya berani mengambil sikap serupa dan menempatkan kesehatan masyarakat sebagai prioritas tertinggi. Ini bukan hanya tentang kebijakan, tetapi tentang masa depan bangsa,” pungkas Bigwanto.