Liputan6.com, Jakarta - Mendapat sayur segar dan bervariasi untuk memenuhi gizi anak bukanlah hal mudah bagi sebagian warga di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Menurut salah satu warga desa, Adriana, dulu ia dan warga lain sempat mengalami susahnya mengakses sayuran. Tak hanya sulit, jenis sayurannya juga tidak bervariasi.
Baca Juga
“Kami hanya petik sayur di kebun itu hanya daun ubi, daun labu, dan kacang panjang. Sayur itu saja yang ditanam di kebun. Itu saja yang dimasak. Kadang tidak pergi petik sayur karena terlalu jauh kebunnya,” tutur ibu dari empat orang anak ini, mengutip laman Wahana Visi Indonesia (WVI), Sabtu (21/12/2024).
Advertisement
Daun ubi, daun labu, dan kacang panjang pun biasanya hanya bisa diambil ketika musim hujan. Bila musim kemarau, hampir tidak ada sayuran yang bisa dikonsumsi.
Padahal, menu makan yang bergizi seimbang sangat dibutuhkan oleh anak-anak Adriana. Di antara keempat anaknya, masih ada yang berusia di bawah lima tahun.
Berdasarkan data penimbangan per Februari 2024, Kabupaten Sumba Barat Daya masih mencatat prevalensi stunting sebanyak 32,37 persen. Bila dibandingkan dengan data penimbangan tahun 2023, prevalensi stunting di Kabupaten Sumba Barat Daya mengalami tren peningkatan. Salah satu penyebab jumlah balita stunting makin bertambah adalah terbatasnya akses terhadap bahan pangan bergizi seimbang, baik terbatas secara kualitas maupun kuantitas.
Dekatkan Akses Sayur untuk Buah Hati
Hal ini melatarbelakangi Adriana dan beberapa ibu lain untuk merawat kebun gizi. Ini adalah gerakan pemanfaatan lahan pekarangan rumah untuk menanam sayur-mayur.
Kebun gizi mendekatkan akses anak dan keluarga terhadap makanan bergizi seimbang. Di kebun ini, masyarakat terutama orangtua balita di desa dapat menyalurkan keterampilan bertani mereka.
Tujuan bercocok tanam di kebun gizi bukan sebagai sumber penghasilan, tetapi sumber pangan sehari-hari di rumah mereka sendiri.
Advertisement
Tak Perlu Beli Sayur
Kebun gizi menjadi salah satu cara yang membantu Adriana dan keluarganya untuk mengakses bahan pangan yang memiliki variasi mineral dan vitamin yang baik untuk tumbuh-kembang anak.
“Ketika sayurnya sudah besar kami juga tidak perlu beli lagi. Kami masak sayur dari kebun gizi sendiri. Ini perubahan dalam rumah tangga kami, kami tidak mengeluarkan uang untuk beli sayur tapi anak kami sehat, berat badannya naik,” ujar perempuan usia 39 itu.
Saat ini, kantor operasional WVI di Sumba Barat Daya mendampingi pengembangan kebun gizi di lima desa dampingan. Kebun gizi di desa dapat terwujud karena kerja sama yang baik antara masyarakat, pemerintah setempat, dan WVI.
Bisa Jadi Sumber Penghasilan Alternatif
Guna mendukung gerakan kebun gizi, pihak WVI menyediakan berbagai bibit sayur untuk ditanam oleh para ibu.
“Dari WVI bermacam-macam bibit sayur disediakan dan kami tanam. Kami membuat pupuk bokasi yang didampingi oleh WVI dan Dinas Pertanian. Kami, masyarakat di desa, membuat bedeng untuk tanam sayur,” jelas Adriana.
Menurut Koordinator program kantor operasional WVI di Sumba Barat Daya, Herlin Day Mapar, kebun gizi juga dapat menjadi salah satu sumber penghasilan alternatif bilamana hasil panen melebihi kebutuhan konsumsi keluarga. Hasil penjualan sayur dapat digunakan untuk membeli kebutuhan lain di rumah seperti beras, ikan, alat mandi, dan sebagainya.
“Namun, utamanya, kebun gizi bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga dan membuka akses pangan bergizi bagi anak-anak di Sumba Barat Daya,” ucap Herlin.
Advertisement