Liputan6.com, Jakarta Ketika hidup hadir dengan masalah yang tampak sulit diatasi, perempuan sering kali menemukan cara untuk tetap bertahan. Salah satu strategi yang kerap diambil adalah menjadikan produktivitas sebagai bentuk pelarian.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Bagus Takwin, M.Hum, menyatakan bahwa banyak perempuan mampu menghadapi tantangan hidup dengan tetap aktif, baik secara sosial maupun ekonomi.
Baca Juga
"Mengatasi masalah dalam bentuk produktivitas tertentu, seperti menerima kondisi dan memanfaatkan situasi, adalah cara perempuan untuk bertahan," jelasnya dalam diskusi kesehatan mental ibu di Jakarta beberapa waktu lalu.
Advertisement
Bagus, perempuan cenderung lebih mampu menjalani aktivitas di tengah beban berat dibandingkan pria. Mereka memanfaatkan situasi sulit untuk menciptakan peluang, misalnya dengan menjadikan hobi sebagai sumber penghasilan.
"Bisa bersosialisasi, bisa bantu teman mengatasi masalah, tapi tentu kondisi situasi perempuan di medan ranjau harus diperbaiki, yang dia harus ini harus itu, tapi justru situasi itu yang menguatkan perempuan," katanya mengutip Antara.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa dukungan layanan psikologis tetap penting agar perempuan tak harus selalu memikul beban sendirian.
Penting Memiliki Dukungan Sosial
Selain itu, juga harus ada dukungan sosial bersama agar perempuan memiliki tempat untuk mengatasi persoalan. Tujuannya supaya kesehatan mental terjaga.
"Malu, enggan mengungkapkan masalah yang dialami itu persoalan nggak hanya wanita, pria juga, tapi kalau perasaannya diisi terus dengan emosi lama-lama meledak, kita dorong untuk mencari teman mengungkapkan perasaan," katanya.
Advertisement
Masalah yang Rentan Dihadapi Perempuan
Mengutip laman Unair, psikolog Ike Herdiana menyebut bahwa perempuan seringkali menghadapi banyak faktor pemicu masalah kesehatan mental.
Dalam ranah domestik, perempuan lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak dibandingkan pria. Begitu pula dengan peran perempuan yang sering mengambil tanggung jawab jika ada keluarga yang mengalami kecacatan atau lanjut usia.
“Kultur masyarakat kita selalu membebankan pengasuhan anak pada perempuan saja. Padahal pengasuhan itu tugas sangat berat yang seharusnya dilakukan secara seimbang oleh ibu dan ayah. Hal ini penting karena tidak hanya terkait kesetaraan peran, tapi juga tumbuh kembang anak,” terang Ike.
Kedua, perempuan cenderung hidup dalam kemiskinan dibandingkan dengan pria. Fakta tersebut menimbulkan rasa tidak aman serta terisolasi.
Faktor Lain
Faktor lain menurut Ike adalah kenyataan bahwa kasus kekerasan maupun pelecehan seksual hampir selalu terjadi pada perempuan dan anak-anak. Perempuan yang mengalami pengalaman traumatis lebih rentan terkena PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) dan dampak mental jangka panjang.
Sementara itu, lingkungan yang diskriminatif dan tidak ramah juga mampu memengaruhi kesehatan mental.
“Kita masih menemui banyak stigma pada perempuan. Perempuan yang bekerja larut malam atau memakai pakaian berbeda sering menjadi sasaran stigma,” katanya.
Situasi lain tidak menguntungkan bagi perempuan adalah tuntutan lingkungan, khususnya beauty standard. Penelitian menunjukkan bahwa hampir 80 persen perempuan pernah mengalami gangguan makan akibat stres maupun keinginan untuk diet. Hal tersebut dapat memicu eating disorder hingga masalah mental lain.
Advertisement