Sukses

Kaleidoskop Health: Heboh Potensi Penyakit X Jadi Pandemi Selanjutnya, Pro Kontra Wolbachia hingga Pelecehan Ibu ke Anak

Di paruh pertama 2024, ada banyak kejadian heboh dan jadi sorotan. Mulai dari potensi penyakit X menjadi pandemi selanjutnya hingga aksi ibu yang melecehkan anak laki-lakinya. Berikut kaleidoskop kesehatan part 1.

Liputan6.com, Jakarta Di semester pertama 2024, ada banyak kejadian dan keriuhan yang terjadi di dunia kesehatan. Mulai dari potensi penyakit X menjadi pandemi selanjutnya, penolakan Wolbachia hingga depresi pada calon dokter spesialis. 

Lalu, adanya rencana satu kelas dalam pelayanan rawat inap BPJS Kesehatan. Tak ketinggalan di Juni 2024, ramai dengan pelecehan ibu terhadap anak berbaju biru.

Untuk menyegarkan ingatan akan paruh pertama di 2024, berikut kaleidoskop kesehatan yang ramai jadi perbincangan dan sorotan.

Januari

Belum lama keluar dari pandemi COVID-19, World Health Organization (WHO) mengingatkan soal adanya potensi penyakit X jadi pandemi selanjutnya.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berbicara dalam World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss pada 17 Januari 2024, berharap agar kepala-kepala negara bisa mencapai kesepakatan pandemi pada Mei mendatang untuk mengatasi "musuh bersama" tersebut.

Dia mengatakan bahwa pandemi berikutnya setelah COVID-19 mungkin disebabkan oleh virus “placeholder” hipotesis bernama “Penyakit X."

Penyakit X merupakan istilah untuk menggambarkan penyakit yang belum diketahui tapi berpotensi menyebabkan krisis kesehatan global. WHO memperkirakan, penyakit tersebut mungkin sudah sedang dalam perjalanan.

Menurut para ilmuwan, Penyakit X bisa 20 kali lebih mematikan ketimbang COVID-19. Pada 2017, WHO menambahkan Penyakit ke dalam daftar pendek patogen untuk diteliti karena dinilai dapat menyebabkan "epidemi internasional yang serius".

Indonesia disebut sebagai salah satu negara yang sejak lama dikategorikan rawan akan kemunculan penyakit infeksi baru, termasuk Penyakit X.

“Karena beberapa faktor, secara geografis Indonesia ini negara kepulauan dengan keragaman geografi dan dekat dengan negara-negara lain seperti Australia. Ditambah populasi yang besar dengan frekuensi perjalanan yang sangat tinggi. Ini dapat memfasilitasi terjadinya penyebaran penyakit infeksi,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara dikutip Kamis, (25/1/2024).

Dicky menambahkan, tingginya densitas populasi atau kepadatan penduduk di beberapa area bisa mempermudah penularan penyakit. Misalnya, di kota-kota besar yang padat dengan interaksi tinggi.

“Di sisi lain, kita ini adalah negara dengan dua sisi dari aspek performa infrastruktur kesehatannya. Bagus di beberapa kota besar, tapi di sebagian besar wilayah lainnya terutama yang terpencil, kepulauan, timur, ini tidak memadai atau masih buruk dan terbatas.”

2 dari 6 halaman

Februari: Pro Kontra Wolbachia

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah di Indonesia. Guna menurunkan angka kasus DBD, para peneliti berupaya mengembangkan teknologi Wolbachia.

"Teknologi wolbachia adalah inovasi yang dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia,” kata dokter spesialis penyakit dalam - konsultan penyakit tropik infeksi Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Dr. dr. Soroy Lardo.dalam diskusi daring Tata Kelola Integratif Demam Berdarah Dengue bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Selasa (27/2/2024).

Penerapan teknologi Wolbachia menghadapi berbagai pro kontra. Tak sedikit masyarakat yang khawatir bahwa nyamuk berwolbachia dapat membawa dampak negatif bagi masyarakat.

Soroy menjelaskan, dirinya adalah mantan mahasiswa S3 Universitas Gadjah Mada (UGM). Universitas ini mengembangkan teknologi Wolbachia dan Soroy turut serta dalam memantau perkembangannya.Teknologi yang dikembangkan sejak 2011 ini sempat diuji coba di sebuah desa di Yogyakarta dan hasilnya menunjukkan keberhasilan.

“Saya sebagai mantan mahasiswa S3 UGM yang ikut memantau (teknologi Wolbachia), ini proyeknya sudah lama dari 2011. Dan diuji coba di desa di daerah Yogyakarta hasilnya ada keberhasilan. Jadi, saya melihatnya dalam konteks positif ya.”

3 dari 6 halaman

Maret: Kete Middleton Umumkan Kena Kanker

Di bulan Maret, publik internasional dikagetkan dengan kabar dari salah satu anggota Kerajaan Inggris yang mengumumkan terkena kanker. Dia adalah Kate Middleton.

Melalui sebuah unggahan baru di akun media sosial Instagram resmi pasangan Kerajaan Inggris tersebut, Putri Kate menjelaskan alasannya.

Putri Catherine mengaku, beberapa bulan terakhir ini menjadi masa sulit bagi seluruh keluarganya. Dia mengungkap, pasca operasi perut yang dijalaninya pada awal tahun ini, tim medis menemukan satu kondisi lain yang berkaitan dengan kesehatannya.

"Pada Januari, aku menjalani operasi abdominal di London. Pada waktu itu, kondisiku dianggap non-kanker. Operasinya sukses, hanya saja tes setelahnya menunjukkan adanya sel kanker," ujar Kate dalam video yang diunggah Sabtu, 23 Maret 2024.

Temuan sel kanker pada tubuhnya tentu mengejutkan Putri Kate dan keluarganya. Meski istri Pangeran William itu tak menjelaskan jenis kankernya, penyakit ini bukanlah penyakit yang bisa dianggap remeh.

"Tentunya hal ini membuat kami sangat terkejut. William dan aku melakukan semua yang kami bisa untuk memproses dan mencerna ini secara pribadi demi anak-anak kami. Seperti yang bisa Anda bayangkan, ini memakan waktu. Juga perlu waktu bagiku untuk pulih dari operasi besar agar bisa memulai pengobatan kanker," tuturnya.

Bagi pasangan keluarga Kerajaan Inggris itu yang terpenting adalah menyampaikan kondisi kesehatan Putri Kate pada Pangeran George, Putri Charlotte, dan Pangeran Louis.

"Namun yang terpenting, kami memerlukan waktu untuk menjelaskan pada George, Charlotte, dan Louis dengan cara yang tepat bagi mereka dan memastikan mereka bahwa aku akan baik-baik saja," ungkap Kate Middleton.

4 dari 6 halaman

April: Banyak Calon Dokter Spesialis Depresi

Hasil skrining kesehatan jiwa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menunjukkan bahwa ada 2.716 calon dokter spesialis yang mengalami gejala depresi.

Angka 2.716 atau 22,4 persen ini datang dari calon dokter yang sedang menempuh berbagai pendidikan spesialisasi. Skrining depresi dilakukan Kementerian Kesehatan pada total 12.121 calon dokter spesialis per 21, 22, dan 24 Maret 2024.

Penapisan dilakukan di 28 rumah sakit vertikal menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.

Dari 22,4 persen calon dokter spesialis yang mengalami depresi, terbanyak ditemukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM): 614 (22,6 persen) dan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS): 350 (12,9 persen).

Ketua Junior Doctors Network (JDN) Indonesia, Tommy Dharmawan, menyampaikan salah satu faktor yang menyebabkan gejala depresi pada peserta PPDS adalah tidak adanya pemasukan. Terkait hal ini, Tommy merekomendasikan agar peserta PPDS untuk mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat ia bekerja.

“Kenapa gaji ini sangat penting? Karena para PPDS ini ada di rentang usia dewasa di mana mereka rata-rata sudah umur 30, sudah berkeluarga, sehingga ya memang mereka membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari,” kata Tommy.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk menangani isu ini menurut Tommy adalah memberikan gaji pada para PPDS.

“Solusi yang pertama adalah memberikan gaji pada para PPDS karena itu adalah sumber depresi mereka.”

 

5 dari 6 halaman

Mei: KRIS Buat Rawat Inap BPJS Kesehatan Jadi 1 Kelas

Mei Pada Mei 2024, ada banyak kejadian yang terjadi di dunia kesehatan. Hal viral yang ramai dibicarakan soal seorang ibu yang mengolah air susu ibu (ASI) menjadi bubuk.

Lalu, ada juga penarikan vaksin COVID-19 dari Astrazeneca di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri ramai tentang standardisasi kelas rawat inap BPJS Kesehatan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta rumah sakit yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) menerapkan layanan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) per 30 Juni 2025.

Hal tersebut, tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut Jokowi tetapkan pada 8 Mei 2024.

Mengacu pada Pasal 46A, rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan diminta untuk menyediakan ruang rawat inap yang memenuhi 12 kriteria KRIS.

Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa kehadiran KRIS ini bertujuan untuk meningkatkan layanan kesehatan ke masyarakat. Sehingga semua golongan masyarakat mendapatkan pelayanan yang sama dari rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, baik dalam hal medis maupun non medis tanpa membeda-bedakan kelas.

"Pemerintah kan sudah mengeluarkan Perpres 59 Tahun 2024 yang tujuannya untuk meningkatkan layanan kesehatan ke masyarakat serta menjaga kesinambungan program tersebut," kata Kepala Pusat Pembiayaan Kementerian Kesehatan RI, Ahmad Irsan A dalam konferensi pers di Kantor Kemenkes Jakarta pada 15 Mei 2024.

Hal senada juga disampaikan pucuk pimpinan Kementerian Kesehatan, Menteri Budi Gunadi Sadikin. Peningkatan kualitas yang setara menjadi acuan kehadiran KRIS.

"Standarnya disederhanakan dan kualitasnya diangkat," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin saat berada di Konawe, Sulawesi Tenggara pada 14 Mei 2024.

Budi juga mengatakan bila sudah KRIS, maka kelas rawat inap kelas tiga akan terasa seperti kelas-kelas di atasnya. "Kan itu ada kelas 3, nah semuanya naik menjadi kelas dua dan satu."

Di kesempatan berbeda Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI dokter Mohammad Syahril mengatakan bahwa ketika rumah sakit sudah menerapkan kriteria KRIS maka seperti kelas dua yang ada saat ini.

"Setara kelas dua. Tapi nanti enggak ada kelas (rawat inap) 1, 2 ya. Adanya KRIS (Kelas Rawat Inap Standar)," kata Syahril di Kantor Kemenkes Jakarta pada 15 Mei 2024.

6 dari 6 halaman

Juni: Pelecehan Ibu ke Anak Baju Biru

Kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang perempuan terhadap anak baju biru viral di media sosial.

Dalam video viral ibu dan anak baju biru yang membuat geger, terlihat seorang perempuan dewasa membuka celana anak laki-laki berbaju biru kemudian 'memainkan' kemaluannya. Tidak henti di situ, perempuan yang diduga bernama Raihany atau kerap disapa Hanny pun melakukan masturbasi di depan korban.

Sebagian warganet mengatakan bahwa pelaku adalah ibu kandung dari anak yang diduga masih di bawah usia lima tahun itu. Sementara warganet lain menduga bahwa pelaku adalah kakak anak baju biru. Video tersebut belakangan hilang dari TikTok lantaran sudah banyak yang melaporkan.

Dalam foto dan rekaman audio yang masih beredar, terdengar suara bocah laki-laki yang diduga diambil dari video asli pelecehan tersebut. Dalam rekaman suara itu, anak baju biru mengeluh sakit kemudian tertawa kegelian.

"Sakit, mama," kata anak itu.

Dugaan pelaku adalah ibu kandung korban semakin kuat dengan adanya video TikTok yang menerangkan bahwa Hanny adalah ibu muda dengan satu anak.

"Mama muda umur 19 tahun, anak 1 cowok umur 2 tahun," tulis akun @Hanny605.

Kasus viral ibu dan anak baju biru ini pun membuat masyarakat geram. Bahkan salah satu figur publik, King Abdi, meminta semua pihak untuk segera menangkap pelaku.