Setiap orangtua menginginkan anaknya lahir dalam keadaan normal tanpa penyakit. Meski begitu, bisa jadi kondisi tak mengenakkan mungkin saja muncul. Karena itu, sejak dini Anda sebenarnya bisa mengetahui kondisi si kecil saat masih di kandungan khususnya apakah si kecil terdeteksi down syndrome.
Sebuah studi atas tes darah untuk sindrom down selama kehamilan bisa mengurangi kemungkinan wanita menjalani tes invasif lebih lanjut dalam rangka mendeteksi kelainan janin seperti dikutip dari Livescience, Selasa (11/6/2013).
Studi dilakukan dengan mencari jejak DNA janin dalam darah ibu yang keakuratannya terbilang tinggi. Tes tersebut sebenarnya sudah tersedia sejak 2011, namun tidak banyak yang menggunakannya.
Dalam studi baru, sekitar 1.000 wanita di Inggris menjalani tes, yang disebut tes DNA bebas sek pada usia kehamilan 10 minggu. Para ibu hamil juga di-USG dan dianalisis hormonnya pada usia kehamilan 12 minggu, yang merupakan metode skrining standar untuk mendeteksi janin yang abnormal.
Para peneliti membandingkan tes baru dengan metode standar dengan melihat seberapa baik masing-masing kasus aneuploidi terdeteksi pada janin. Kondisi aneuploidi, termasuk down syndrome ketika batang otak memiliki jumlah kromosom yang abnormal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik tes baru dan metode skrining standar mendeteksi semua kasus sindroma down yaitu sindrom Edwards (trisomi 18) dan Sindrom Patau (trisomi 13).
Studi ini diterbitkan 7 Juni 2013 di USG jurnal Obstetrics & Gynecology.
"Meskipun tes DNA bebas sel sangat akurat, tes tidak dapat menggantikan metode skrining saat ini untuk aneuploidi, hal itu harus digunakan bersama dengan metode ini," kata Direktur Genetika dan Metabolisme di Rumah Sakit Anak Miami, Dr Mislen Bauer.
Bauer mengatakan lembaganya mulai menggunakan tes tersebut sekitar enam bulan yang lalu.
Kongres Amerika Obstetricians dan Gynecologists (ACOG) menyarankan agar tes ditawarkan hanya kepada perempuan berisiko tinggi memiliki anak dengan aneuploidies, termasuk perempuan usia 35 dan lebih serta wanita yang hasil USG-nya abormal.
Tapi ACOG tidak merekomendasikan tes sebagai bagian dari skrining prenatal rutin. Beberapa studi telah meneliti keakuratan tes pada wanita berisiko rendah, atau wanita yang mengandung bayi kembar, sehingga belum direkomendasikan untuk kelompok ini.
ACOG menjelaskan bahwa ini adalah tes skrining dan bukan tes diagnostik. Hasilnya perlu dikonfirmasi dengan amniocentesis atau chorionic villus sampling.
Jika hasil tes negatif secara tidak pasti harus mengesampingkan aneuploidi. Pada sekitar 4 sampai 5 persen dari kasus yang terjadi, DNA janin terlalu sedikit dalam sampel darah. Untuk mendapatkan hasil yang baik, tes ini mungkin perlu dilakukan berulang.
(Mia/Me/*l)
Sebuah studi atas tes darah untuk sindrom down selama kehamilan bisa mengurangi kemungkinan wanita menjalani tes invasif lebih lanjut dalam rangka mendeteksi kelainan janin seperti dikutip dari Livescience, Selasa (11/6/2013).
Studi dilakukan dengan mencari jejak DNA janin dalam darah ibu yang keakuratannya terbilang tinggi. Tes tersebut sebenarnya sudah tersedia sejak 2011, namun tidak banyak yang menggunakannya.
Dalam studi baru, sekitar 1.000 wanita di Inggris menjalani tes, yang disebut tes DNA bebas sek pada usia kehamilan 10 minggu. Para ibu hamil juga di-USG dan dianalisis hormonnya pada usia kehamilan 12 minggu, yang merupakan metode skrining standar untuk mendeteksi janin yang abnormal.
Para peneliti membandingkan tes baru dengan metode standar dengan melihat seberapa baik masing-masing kasus aneuploidi terdeteksi pada janin. Kondisi aneuploidi, termasuk down syndrome ketika batang otak memiliki jumlah kromosom yang abnormal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik tes baru dan metode skrining standar mendeteksi semua kasus sindroma down yaitu sindrom Edwards (trisomi 18) dan Sindrom Patau (trisomi 13).
Studi ini diterbitkan 7 Juni 2013 di USG jurnal Obstetrics & Gynecology.
"Meskipun tes DNA bebas sel sangat akurat, tes tidak dapat menggantikan metode skrining saat ini untuk aneuploidi, hal itu harus digunakan bersama dengan metode ini," kata Direktur Genetika dan Metabolisme di Rumah Sakit Anak Miami, Dr Mislen Bauer.
Bauer mengatakan lembaganya mulai menggunakan tes tersebut sekitar enam bulan yang lalu.
Kongres Amerika Obstetricians dan Gynecologists (ACOG) menyarankan agar tes ditawarkan hanya kepada perempuan berisiko tinggi memiliki anak dengan aneuploidies, termasuk perempuan usia 35 dan lebih serta wanita yang hasil USG-nya abormal.
Tapi ACOG tidak merekomendasikan tes sebagai bagian dari skrining prenatal rutin. Beberapa studi telah meneliti keakuratan tes pada wanita berisiko rendah, atau wanita yang mengandung bayi kembar, sehingga belum direkomendasikan untuk kelompok ini.
ACOG menjelaskan bahwa ini adalah tes skrining dan bukan tes diagnostik. Hasilnya perlu dikonfirmasi dengan amniocentesis atau chorionic villus sampling.
Jika hasil tes negatif secara tidak pasti harus mengesampingkan aneuploidi. Pada sekitar 4 sampai 5 persen dari kasus yang terjadi, DNA janin terlalu sedikit dalam sampel darah. Untuk mendapatkan hasil yang baik, tes ini mungkin perlu dilakukan berulang.
(Mia/Me/*l)