Pneumonia (radang paru-paru) dan diare disebut menjadi kendala utama penanganan masalah kematian balita di daerah tertinggal. Hal ini dikarenakan sulitnya akses maupun tenaga kesehatan.
Seperti diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi dr. Bambang Sardjno, MPH., walaupun hal ini masih menjadi masalah dari tahun sebelumnya, hingga saat ini ada lebih 50.000 balita meninggal karena kedua penyakit tersebut.
"Hambatan utama dalam mengendalikan angka kematian balita ini biasanya ada tiga hal. Pertama, ketidakpahaman, kedua tidak mau memahami, dan ketiga takut dikatakan tidak mampu. Ini berlaku bagi tenaga medis maupun orangtua atau masyarakat," jelas Bambang saat temu media di acara 'Upaya Penurunan Angka kematian Balita di Daerah Bermasalah Kesehatan'di kantor Kemenkes, Jakarta, Jumat (19/7/2013).
Pada studi mortalitas belum lama ini yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, misalnya di Jayawajiaya, Papua jumlah kematian balita karena pneumonia sekitar 56 persen dan diare 20 persen.
Hal ini dikatakan Direktur Bina Kesehatan Anak Dr. Jane Soepardi, berarti rata-rata anak meninggal sebelum anak berusia lima tahun.
Pneumonia merupakan radang paru yang biasanya disebabkan oleh pemberian ASI yang tidak eksklusif, kekurangan gizi, faktor lingkungan, polusi udara, serta kesulitan akses terhadap pelayanan kesehatan.
"Pneumonia ini disebabkan oleh infeksi dari bakteri. Penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan vaksin pneumokokus. Tapi untuk penanganan pertama bisa diberikan kotrimoksazol,"jelas Jane.
Sementara diare terdiri dari dua macam. Ada yang disebabkan bakteri E. Coli dan virus. Kalau virus, vaksinnya juga ada. Diare yang disebabkan virus ini, biasanya disertai gejala muntah hebat sehingga sulit untuk diberikan obat. Tapi untuk penangan pertama bisa diberikan oralit dan tablet zinc serta ASI ekslusif dan tentunya menjaga kebersihan tangan.
"Namun kedua vaksin pneumonia (Vaksin pneumokokus) dan diare (vaksin Rotavirus) ini masih dalam tahap proses dan baru akan masuk imunisasi. Karena Indonesia belum bisa membuatnya sehingga harus impor dan harganya mahal," Ungkap Jane.
Selebihnya, Jane mengatakan ada upaya lain seperti misalnya pengembangan program MTBS (Manajemen terpadu Balita Sakit) yang dilakukan di daerah tertinggal oleh tenaga kesehatan dan kader masyarakat. (Fit/Mel)
Seperti diungkapkan oleh Staf Ahli Menteri Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi dr. Bambang Sardjno, MPH., walaupun hal ini masih menjadi masalah dari tahun sebelumnya, hingga saat ini ada lebih 50.000 balita meninggal karena kedua penyakit tersebut.
"Hambatan utama dalam mengendalikan angka kematian balita ini biasanya ada tiga hal. Pertama, ketidakpahaman, kedua tidak mau memahami, dan ketiga takut dikatakan tidak mampu. Ini berlaku bagi tenaga medis maupun orangtua atau masyarakat," jelas Bambang saat temu media di acara 'Upaya Penurunan Angka kematian Balita di Daerah Bermasalah Kesehatan'di kantor Kemenkes, Jakarta, Jumat (19/7/2013).
Pada studi mortalitas belum lama ini yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, misalnya di Jayawajiaya, Papua jumlah kematian balita karena pneumonia sekitar 56 persen dan diare 20 persen.
Hal ini dikatakan Direktur Bina Kesehatan Anak Dr. Jane Soepardi, berarti rata-rata anak meninggal sebelum anak berusia lima tahun.
Pneumonia merupakan radang paru yang biasanya disebabkan oleh pemberian ASI yang tidak eksklusif, kekurangan gizi, faktor lingkungan, polusi udara, serta kesulitan akses terhadap pelayanan kesehatan.
"Pneumonia ini disebabkan oleh infeksi dari bakteri. Penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan vaksin pneumokokus. Tapi untuk penanganan pertama bisa diberikan kotrimoksazol,"jelas Jane.
Sementara diare terdiri dari dua macam. Ada yang disebabkan bakteri E. Coli dan virus. Kalau virus, vaksinnya juga ada. Diare yang disebabkan virus ini, biasanya disertai gejala muntah hebat sehingga sulit untuk diberikan obat. Tapi untuk penangan pertama bisa diberikan oralit dan tablet zinc serta ASI ekslusif dan tentunya menjaga kebersihan tangan.
"Namun kedua vaksin pneumonia (Vaksin pneumokokus) dan diare (vaksin Rotavirus) ini masih dalam tahap proses dan baru akan masuk imunisasi. Karena Indonesia belum bisa membuatnya sehingga harus impor dan harganya mahal," Ungkap Jane.
Selebihnya, Jane mengatakan ada upaya lain seperti misalnya pengembangan program MTBS (Manajemen terpadu Balita Sakit) yang dilakukan di daerah tertinggal oleh tenaga kesehatan dan kader masyarakat. (Fit/Mel)