Adanya bupati yang menolak program KB (keluarga berencana) di Papua, dianggap Kepala BKKN (Keluarga Berencana Nasional) Prof. Dr. H. Fasli Jalal Sp. GK, Ph.D adalah masalah yang sebenarnya belum dipahami olehnya.
Disampaikan pada diskusi bulanan BKKBN, Fasli menyampaikan bahwa alasan bupati kabupaten Lanny Jaya, Befa Yigibalom memang rasional. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memberikan pilihan padanya.
"Dalam konteks Papua, argumen mereka beralasan. Bupatinya bilang kalau tanahnya yang kosong itu butuh penduduk banyak asli Papua. Saya pikir, karena disana juga daerah pemekaran yang jumlah penduduknya kurang dari 100 ribu jiwa, jadi butuh penduduk yang banyak juga. Tapi terlepas dari semua, saya lihat kita bisa mendekati mereka," jelas Faisal.
Menurutnya, Warga Papua harus tahu beberapa hal seperti keluarga yang berkualitas seperti apa, berapa umur sebaiknya ketika memiliki anak dan melahirkan. Dan selain itu, keluarga Papua juga harus tahu risikonya jika jarak kehamilan terlalu dekat.
"Mereka juga perlu tahu risiko melahirkan di usia 19 tahun. Secara fisiologis bagaimana, sirkulasi darah bagaimana, dan juga persiapan psikologinya seperti apa. Ini semua bisa kita diskusikan," ujar Faisal di kantor BKKBN pada Kamis malam seperti ditulis Jumat (26/7/2013).
Faisal menambahkan, dampak negatif memiliki banyak anak juga perlu dijelaskan pada bupati tersebut. Karena seperti diketahui, angka kematian ibu mencapai 228 per 100 ribu kelahiran ditahun 2007. Padahal angka capaian target MDGs, maksimal 102 per 100 ribu kelahiran dan angka kematian bayi 23 per 100 ribu kelahiran. Â
Sebelumnya, Bupati Lanny Jaya, Papua, Befa Yigibalom, mewajibkan bagi setiap warganya untuk melahirkan anak. Menurutnya, hal ini dipicu oleh tingginya angka kematian di daerah tersebut. Tapi program wajib melahirkan anak tersebut khusus dicanangkannya di Tanah Papua saja. Karena ia berharap bahwa di tanah Papua harus lahir anak Papua asli.
(Fit/Igw)
Disampaikan pada diskusi bulanan BKKBN, Fasli menyampaikan bahwa alasan bupati kabupaten Lanny Jaya, Befa Yigibalom memang rasional. Tapi bukan berarti kita tidak bisa memberikan pilihan padanya.
"Dalam konteks Papua, argumen mereka beralasan. Bupatinya bilang kalau tanahnya yang kosong itu butuh penduduk banyak asli Papua. Saya pikir, karena disana juga daerah pemekaran yang jumlah penduduknya kurang dari 100 ribu jiwa, jadi butuh penduduk yang banyak juga. Tapi terlepas dari semua, saya lihat kita bisa mendekati mereka," jelas Faisal.
Menurutnya, Warga Papua harus tahu beberapa hal seperti keluarga yang berkualitas seperti apa, berapa umur sebaiknya ketika memiliki anak dan melahirkan. Dan selain itu, keluarga Papua juga harus tahu risikonya jika jarak kehamilan terlalu dekat.
"Mereka juga perlu tahu risiko melahirkan di usia 19 tahun. Secara fisiologis bagaimana, sirkulasi darah bagaimana, dan juga persiapan psikologinya seperti apa. Ini semua bisa kita diskusikan," ujar Faisal di kantor BKKBN pada Kamis malam seperti ditulis Jumat (26/7/2013).
Faisal menambahkan, dampak negatif memiliki banyak anak juga perlu dijelaskan pada bupati tersebut. Karena seperti diketahui, angka kematian ibu mencapai 228 per 100 ribu kelahiran ditahun 2007. Padahal angka capaian target MDGs, maksimal 102 per 100 ribu kelahiran dan angka kematian bayi 23 per 100 ribu kelahiran. Â
Sebelumnya, Bupati Lanny Jaya, Papua, Befa Yigibalom, mewajibkan bagi setiap warganya untuk melahirkan anak. Menurutnya, hal ini dipicu oleh tingginya angka kematian di daerah tersebut. Tapi program wajib melahirkan anak tersebut khusus dicanangkannya di Tanah Papua saja. Karena ia berharap bahwa di tanah Papua harus lahir anak Papua asli.
(Fit/Igw)