Sukses

Sejuta Lebih Orang Indonesia Alami Gangguan Jiwa Berat

Sekitar 1.093.150 penduduk Indonesia atau 0,46 persen dari total populasi Indonesia berisiko mengalami gangguan jiwa berat

Sekitar 1.093.150 penduduk Indonesia  atau 0,46 persen dari total populasi Indonesia berisiko mengalami gangguan jiwa berat, kata Wakil Menteri Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti.
    
"Itu hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ada lebih dari satu juta penduduk Indonesia berisiko alami gangguan jiwa berat termasuk skizofrenia," kata Ali pada peluncuran kampanye ’Lighting the Hope for Schizophrenia’ di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Rabu (31/7/2013).
    
Dari sekitar satu juta penduduk tersebut, hanya 38.260 orang yang terlayani dengan perawatan memadai di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum, maupun Pusat Kesehatan Masyarakat.

Menurut Ali, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya paham mengenai penyakit ini, sehingga penderita tidak ditangani dengan benar seperti dirawat di pusat pelayanan kesehatan.

Selain itu berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2013, masih ada sekitar tujuh provinsi di Indonesia yang tidak memiliki Rumah Sakit Jiwa dan empat provinsi masih belum memiliki tenaga profesional kesehatan jiwa.
    
"Mengingat kompleksnya permasalahan kesehatan jiwa termasuk skizofrenia di Indonesia, kami terus berkoordinasi dengan berbagai kementerian terkait untuk mengatasi permasalahan ini," jelas Ali.
    
Selanjutnya Ali juga menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan juga melakukan koordinasi terhadap dinas-dinas kesehatan terkait di daerah, untuk meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat.
    
"Tidak lupa bahwa upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat  dan lintas sektor menjadi hal yang amat penting terutama untuk kesehatan jiwa, prevensi, dan penanggulangannya," tutur Ali.
    
Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI),  Tun Bastaman, skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang mengakibatkan penderitanya memiliki ketidakmampuan untuk menilai realitas.
    
"Hal ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan neurokimia di otak yang mengganggu fungsinya secara keseluruhan," imbuh Tun Bastaman.

(Abd)
Video Terkini