Sukses

Stok Obat Malaria di RSUD Mimika Tinggal Sebulan

Ketersediaan obat jenis Dehidro Artemisinin Pepraquin (DHP) untuk mengatasi penyakit malaria di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika, Papua

Ketersediaan obat jenis Dehidro Artemisinin Pepraquin (DHP) untuk mengatasi penyakit malaria di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika, Papua, tinggal sebulan lagi.
    
Direktur RSUD Mimika Frans Thio kepada Antara di Timika, Jumat mengatakan minimnya stok obat jenis DHP tersebut karena keterlambatan datangnya obat baru yang dipesan oleh Pemkab Mimika melalui Dinas Kesehatan.
    
"Saya sudah cek, sisanya tinggal satu sampai satu setengah bulan lagi," tutur Thio seperti dikutip dari Antara, Jumat (2/8/2013).

Jika hingga September obat DHP yang dipesan Pemkab Mimika belum datang, maka pihak RSUD Mimika akan memberikan obat jenis kina kepada pasien malaria.
    
"Sampai sekarang kita masih bisa pakai obat kina. Cuma masa pengobatan lebih lama dan lebih sering kambuh. Efektivitas obat kina jauh lebih rendah dari obat DHP untuk mengatasi penyakit malaria," jelas Thio.

Ia mengakui sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan salah satu penyakit dengan jumlah kasus tertinggi di Mimika. Khusus di RSUD Mimika, pasien malaria menduduki peringkat tiga tertinggi dibanding kasus penyakit lainnya.
 
Thio memaklumi keterlambatan pengiriman obat DHP ke Timika karena obat tersebut masih diimpor. Pemasukan obat DHP ke Indonesia harus melalui izin khusus Kementerian Kesehatan. Saat ini satu-satunya perusahaan obat yang memasukan obat DHP ke Indonesia hanya PT Kimia Farma.
    
Menurut Thio, distribusi obat DHP melalui birokrasi yang cukup panjang sampai di daerah agar dijaga penggunanannya sehingga tidak sampai resisten sebagaimana obat chloroquen dan obat kina.
    
"Obat DHP ini termasuk jenis obat malaria yang sangat efektif. Kalau tidak dijaga penggunaannya maka akan mempercepat resistensi obat. Kalau sampai resisten, lantas obat apa lagi yang mau digunakan untuk mengobati penyakit malaria," tutur Thio.
    
Kepala Bidang PMK Dinkes Mimika Saiful Taqin mengakui saat ini terjadi kekosongan stok obat DHP/ACT di berbagai Puskesmas, rumah sakit, klinik dan unit layanan kesehatan lainnya di Kabupaten Mimika.
    
Kondisi itu, katanya, sudah terjadi hampir selama satu bulan belakangan. Lantaran itu, Dinkes Mimika menyarankan warga yang positif malaria setelah pemeriksaan laboratorium agar mengonsumsi obat kina.
    
Saiful Taqin mengakui tahun ini Pemkab Mimika mengalokasikan anggaran melalui APBD 2013 untuk pengadaan obat malaria jenis DHP. Obat tersebut direncanakan baru akan tiba di Timika pada November 2013.
    
Berdasarkan informasi dari Kementerian Kesehatan, obat tersebut sudah dapat didistribusikan ke Papua, termasuk Mimika pada akhir Juli atau Agustus.
    
Selain obat kina, obat yang direkomendasikan untuk bisa diberikan kepada pasien penyakit malaria di Mimika yaitu obat jenis Artemisinin Naphthoquine Combination (ARCO). Namun obat itu hanya disarankan untuk dikonsumsi kalangan tertentu seperti prajurit TNI yang komunitasnya dapat terus dipantau.
    
Berdasarkan data Dinkes Mimika, kebutuhan obat DHP/ACT di Mimika setahun mencapai lebih dari 50 ribu kure (satu kure berisi delapan tablet).
    
"Untuk kebutuhan RSUD dan 13 Puskesmas saja dalam setahun sekitar 30 ribu kure. Belum lagi ditambah Malaria Control (Malcon) PT Freeport Indonesia dan Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) bisa mencapai lebih dari 50 ribu kure per tahun," jelas Saiful Taqin beberapa waktu lalu.
    
Adapun kasus penyakit malaria di Mimika hingga saat ini masih sangat tinggi. Tahun 2010, jumlah kasus malaria di Mimika sesuai laporan dari semua rumah sakit dan Puskesmas setempat mencapai 80 ribu kasus atau hampir mencapai sepertiga dari jumlah penduduk setempat.
    
"Angka API (awal parasit insiden) kita masih sangat tinggi yaitu 328 artinya dari 1.000 orang yang diperiksa terdapat 328 orang yang positif malaria," katanya.
    
Jumlah kematian akibat kasus malaria di Mimika juga cukup tinggi. Tahun 2007 dari 3.125 pasien malaria yang berobat di rumah sakit, 26 di antaranya meninggal dunia. Adapun tahun 2010 dari 1.768 pasien malaria yang dirawat di rumah sakit, 16 orang diantaranya meninggal dunia.
    
Sementara ibu hamil yang positif terserang malaria di Mimika mencapai 18 persen.
    
Dr Eni Kelangalem dari Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua yang membidangi program penelitian malaria di Timika mengatakan kasus malaria tertinggi di Timika didominasi malaria plasmodium falcipharum (malaria tropika) dibanding malaria plasmodium vivax dan lainnya.
    
Menurut Eny yang menggeluti penelitian malaria di SP9 dan SP12 Distrik Kuala Kencana sejak tahun 2004 itu, kasus anemia berat juga sering terjadi pada penderita malaria di Timika, namun sejak menggunakan obat DHP/ACT maka terjadi kenaikan haemoglobin pada pasien malaria dari rata-rata HB 7 meningkat menjadi HB 9.

(Abd)