Institut Perempuan menilai rencana kebijakan tentang tes keperawanan bagi siswi di kota Prabumulih, Sumatera Selatan mengandung sederet persoalan salah satunya ialah adanya diskriminasi terhadap anak perempuan yang dinyatakan tidak perawan.
"Yaitu mendapat stigma negatif dan potensi dilanggar haknya untuk melanjutkan pendidikan, yang melanggar Pasal 28B ayat (2) berbunyi ’Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi"," kata Pimpinan Institut Perempuan, R Valentina Sagala dalam siaran persnya, Rabu (21/8/2013).
   Â
Menurut dia, wacana tes keperawanan ini bukan yang pertama kali terjadi karena pada 2010 anggota DPRD Jambi sempat mengusulkan tes keperawanan bagi pelajar perempuan dan mahasiswi.
   Â
"Lalu pada 2007, Bupati Indramayu melontarkan rencana tes keperawanan bagi pelajar perempuan akibat marak peredaran VCD pornografis," kata dia.
   Â
Rencana kebijakan tes keperawanan ini, kata dia, juga melanggar otonomi tubuh perempuan yakni perempuan memiliki hak kemerdekaan atas tubuhnya sendiri.
   Â
"Intervensi melalui tes keperawanan menjadi sebuah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan," katanya.
   Â
Ia menuturkan, tes keperawanan merupakan kebijakan yang lahir dari cara pandang diskriminatif terhadap perempuan oleh penyelenggara negara.
   Â
"Pada kasus prostitusi dan perdagangan perempuan (trafficking in persons, especially women and child), penyelenggara negara menempatkan akar masalah pada ’moral perempuan yang tidak terpuji’," katanya.
   Â
Dikatakan dia, penyelenggara negara kemudian menghasilkan kebijakan yang diskriminatif seperti tes keperawanan.
   Â
"Kebijakan ini bertentangan dengan arah pendidikan untuk membangun kepribadian anak seutuhnya dan penghormatan atas nilai-nilai HAM," katanya. Â
   Â
Menurutnya, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 menegaskan bahwa pendidikan anak salah satunya harus diarahkan ke pengembangan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik pada potensi terpenuh mereka.
  Â
"Memberlakukan tes keperawanan sebagai cara menekan kasus prostitusi dapat dilihat sebagai bentuk penghukuman terhadap anak yang diduga telah berhubungan seksual dan/atau merupakan korban kekerasan seksual," katanya.
   Â
Oleh karena itu, terkait hal tersebut pihaknya meminta pemerintah agar menggunakan wewenangnya terkait pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah demi mendorong lahirnya kebijakan daerah terkait pemenuhan hak asasi perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan serta mencegah dan membatalkan kebijakan yang diskriminatif.
   Â
"Kami juga meminta agar pemerintah agar menggunakan wewenangnya terkait pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk membatalkan rencana kebijakan tes keperawanan maupun gagasan senada di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota)," katanya.
(Abd)
"Yaitu mendapat stigma negatif dan potensi dilanggar haknya untuk melanjutkan pendidikan, yang melanggar Pasal 28B ayat (2) berbunyi ’Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi"," kata Pimpinan Institut Perempuan, R Valentina Sagala dalam siaran persnya, Rabu (21/8/2013).
   Â
Menurut dia, wacana tes keperawanan ini bukan yang pertama kali terjadi karena pada 2010 anggota DPRD Jambi sempat mengusulkan tes keperawanan bagi pelajar perempuan dan mahasiswi.
   Â
"Lalu pada 2007, Bupati Indramayu melontarkan rencana tes keperawanan bagi pelajar perempuan akibat marak peredaran VCD pornografis," kata dia.
   Â
Rencana kebijakan tes keperawanan ini, kata dia, juga melanggar otonomi tubuh perempuan yakni perempuan memiliki hak kemerdekaan atas tubuhnya sendiri.
   Â
"Intervensi melalui tes keperawanan menjadi sebuah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan," katanya.
   Â
Ia menuturkan, tes keperawanan merupakan kebijakan yang lahir dari cara pandang diskriminatif terhadap perempuan oleh penyelenggara negara.
   Â
"Pada kasus prostitusi dan perdagangan perempuan (trafficking in persons, especially women and child), penyelenggara negara menempatkan akar masalah pada ’moral perempuan yang tidak terpuji’," katanya.
   Â
Dikatakan dia, penyelenggara negara kemudian menghasilkan kebijakan yang diskriminatif seperti tes keperawanan.
   Â
"Kebijakan ini bertentangan dengan arah pendidikan untuk membangun kepribadian anak seutuhnya dan penghormatan atas nilai-nilai HAM," katanya. Â
   Â
Menurutnya, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 menegaskan bahwa pendidikan anak salah satunya harus diarahkan ke pengembangan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik pada potensi terpenuh mereka.
  Â
"Memberlakukan tes keperawanan sebagai cara menekan kasus prostitusi dapat dilihat sebagai bentuk penghukuman terhadap anak yang diduga telah berhubungan seksual dan/atau merupakan korban kekerasan seksual," katanya.
   Â
Oleh karena itu, terkait hal tersebut pihaknya meminta pemerintah agar menggunakan wewenangnya terkait pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah demi mendorong lahirnya kebijakan daerah terkait pemenuhan hak asasi perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan serta mencegah dan membatalkan kebijakan yang diskriminatif.
   Â
"Kami juga meminta agar pemerintah agar menggunakan wewenangnya terkait pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk membatalkan rencana kebijakan tes keperawanan maupun gagasan senada di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota)," katanya.
(Abd)