Sekjen PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Daeng M Faqih MH menyatakan biaya rawat inap dan rawat jalan yang ditimbulkan oleh penyakit terkait rokok pada 2011 diperkirakan mencapai Rp39,5 triliun.
  Â
"Itu jauh melampaui dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang hanya Rp20 triliun pertahunnya," katanya melalui siaran pers soal diselenggarakannya Focus Group Discussion (FGD) "Dilema APBN untuk membiayai Penyakit Terkait Rokok dalam Perspektif Asas Keadilan" yang digagas Pusat Studi Hukum dan Pembangunan di Jakarta, Jumat (20/9/2013).
   Â
Ia memerinci hitungan PBI Rp20 triliun itu, yakni, 86,4 juta PBI dikalikan Rp19.250 per orang, kemudian dikalikan satu tahun atau 12 bulan hingga totalnya sekitar Rp20 triliun.
   Â
Karena itu, dirinya mempertanyakan siapakah yang akan menanggung pembiayaan penyakit terkait rokok itu, apakah APBN atau BPJS Kesehatan atau melalui sumber pembiayaan lainnya.
  Â
Karena itu, di dalam FGD itu memberikan kesimpulan bahwa sumber pembiayaan lain bagi penyakit terkait rokok merupakan pilihan yang paling baik dan dimungkinkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni melalui Asuransi Kesehatan Komersial dimana pelaksanaannya diatur oleh peraturan perundang-undangan.
   Â
Jika itu terlaksana, maka masalah dilematis bagi APBN akan terselesaikan secara elegan, demikian pula bahaya katastropik terhadap pembiayaan BPJS Kesehatan, tidak perlu terjadi.
   Â
Seperti diketahui, pembiayaan penyakit terkait rokok jika mengacu Pasal 25 huruf i Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 tahun 2003 tentang Jaminan Kesehatan, sudah jelas berada di luar pembiayaan kesehatan melalui APBN.
   Â
Kendati demikian, bukankah para penderita penyakit terkait rokok adalah warga negara yang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dari pemerintah.
   Â
Hal dilematis tersebut merupakan tema dari acara Focus Group Discussion "Dilema APBN untuk membiayai Penyakit Terkait Rokok dalam Perspektif Azas Keadilan" yang digagas Pusat Studi Hukum dan Pembangunan di Hotel Santika, Kamis (19/9).
   Â
Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof dr Ali Gufron Mukti selaku keynote speaker sangat berharap agar Focus Group Discussion dapat menemukan solusi bagi hal yang dilematis ini.
(Abd)
  Â
"Itu jauh melampaui dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang hanya Rp20 triliun pertahunnya," katanya melalui siaran pers soal diselenggarakannya Focus Group Discussion (FGD) "Dilema APBN untuk membiayai Penyakit Terkait Rokok dalam Perspektif Asas Keadilan" yang digagas Pusat Studi Hukum dan Pembangunan di Jakarta, Jumat (20/9/2013).
   Â
Ia memerinci hitungan PBI Rp20 triliun itu, yakni, 86,4 juta PBI dikalikan Rp19.250 per orang, kemudian dikalikan satu tahun atau 12 bulan hingga totalnya sekitar Rp20 triliun.
   Â
Karena itu, dirinya mempertanyakan siapakah yang akan menanggung pembiayaan penyakit terkait rokok itu, apakah APBN atau BPJS Kesehatan atau melalui sumber pembiayaan lainnya.
  Â
Karena itu, di dalam FGD itu memberikan kesimpulan bahwa sumber pembiayaan lain bagi penyakit terkait rokok merupakan pilihan yang paling baik dan dimungkinkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni melalui Asuransi Kesehatan Komersial dimana pelaksanaannya diatur oleh peraturan perundang-undangan.
   Â
Jika itu terlaksana, maka masalah dilematis bagi APBN akan terselesaikan secara elegan, demikian pula bahaya katastropik terhadap pembiayaan BPJS Kesehatan, tidak perlu terjadi.
   Â
Seperti diketahui, pembiayaan penyakit terkait rokok jika mengacu Pasal 25 huruf i Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 tahun 2003 tentang Jaminan Kesehatan, sudah jelas berada di luar pembiayaan kesehatan melalui APBN.
   Â
Kendati demikian, bukankah para penderita penyakit terkait rokok adalah warga negara yang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial dari pemerintah.
   Â
Hal dilematis tersebut merupakan tema dari acara Focus Group Discussion "Dilema APBN untuk membiayai Penyakit Terkait Rokok dalam Perspektif Azas Keadilan" yang digagas Pusat Studi Hukum dan Pembangunan di Hotel Santika, Kamis (19/9).
   Â
Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof dr Ali Gufron Mukti selaku keynote speaker sangat berharap agar Focus Group Discussion dapat menemukan solusi bagi hal yang dilematis ini.
(Abd)