Maraknya penyalahgunaan dekstrometorfan sebagai obat penenang yang menimbulkan halusinasi membuat lembaga atau badan obat dan makanan dunia menariknya dari peredaran.
Dikutip drugs, sudah sejak 1970-an sampai 1990-an Amerika Serikat sudah menarik dan mengawasi peredaran bahan kimiawi yang mirip dengan senyawa heroin ini. Dekstrometorfan yang ditarik salah satunya dengan merek dagang Romilar yang ditarik pada 1973.
Sedangkan di California pada 1 Januari 2013 dekstrometorfan sudah dilarang untuk diperjualbelikan, terutama untuk dikonsumsi anak-anak.
Penarikan tersebut karena dekstrometorfan sudah bukan lagi digunakan sebagai obat penekan batuk tetapi sebagai obat penenang yang menimbulkan efek halusinasi.
Lalu bagaimana di Indonesia? Indonesia sendiri sudah mulai diberlakukan pengawasan dan akan mulai menariknya dari pasaran agar tidak ada peningkatan angka kematian akibat penyalahgunaan.
"Industri Farmasi diberikan batas waktu sampai 30 Juni 2014, setelah tanggal tersebut peredarannya termasuk obat ilegal," ujar Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza Dra. A. Retno Tyas Utami, Apt., M.Epid, ditulis Kamis (2/10/2013).
Dekstrometorfan merupakan obat yang secara kimiawi mirip dengan kodein dan bekerja di otak untuk menekan batuk non opiat sintetik yang bekerja secara sentral dengan jalan meningkatkan ambang rangsang reflek batuk .
"Pil ini secara kimiawi mirip dengan kodein dan morfin namun DMP lebih berbahaya dibandingkan keduanya karena bekerja pada saraf pusat," ungkap Retno.
Ditelisik dari sejarah terkait penarikan dekstrometorfan dengan merek Romilar sudah sejak 1973, namun di Indonesia sampai sekarang masih beredar, kenapa bisa begitu?.
Di Indonesia penarikan pil dekstro ini sampai batas waktu Juni tahun depan dilakukan karena banyaknya laporan kasus terkait penyalahgunaan dan meningkatnya angka kematian.
"Kami (BPOM) sebelum obat beredar pasti diteliti kandungan dan memberi tahukan efek sampingnya pada label namun kan penyalahgunaan tidak baca label, jadi kasus kematian semakin meningkat," jelas Retno saat diwawancarai Liputan6.com.
Retno mengatakan penarikan dilakukan baru sekarang karena sulitnya mengawasi kemana saja para industri farmasi mendistribusikannya dan jumlahnya.
"Kami tidak sepenuhnya menyalahkan BPOM, namun karena kebutuhan yang meningkat mereka banyak memproduksi bahkan ada yang sampai 10 juta. Memang itu untuk obat penekan batuk tetapi kan orang banyak mencari cara untuk teller makanya disalahgunakan," papar Retno.
Â
Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM RI, Togi Hutajulu menambahkan untuk mengantisipasi meningkatnya angka kematian dan kasus penyalahgunaan maka wajib para industri farmasi melaporkan kegiatan produksinya.
Â
"Industri farmasi yang memiliki nomor izin edar dekstrometorfan tunggal harus memberi laporan kepada Badan POM RI di tanggal 15 tiap bulannya berapa banyak yang diproduksi, dan kemana saja didistribusikannya," ujarnya. (Mia/Mel)
Dikutip drugs, sudah sejak 1970-an sampai 1990-an Amerika Serikat sudah menarik dan mengawasi peredaran bahan kimiawi yang mirip dengan senyawa heroin ini. Dekstrometorfan yang ditarik salah satunya dengan merek dagang Romilar yang ditarik pada 1973.
Sedangkan di California pada 1 Januari 2013 dekstrometorfan sudah dilarang untuk diperjualbelikan, terutama untuk dikonsumsi anak-anak.
Penarikan tersebut karena dekstrometorfan sudah bukan lagi digunakan sebagai obat penekan batuk tetapi sebagai obat penenang yang menimbulkan efek halusinasi.
Lalu bagaimana di Indonesia? Indonesia sendiri sudah mulai diberlakukan pengawasan dan akan mulai menariknya dari pasaran agar tidak ada peningkatan angka kematian akibat penyalahgunaan.
"Industri Farmasi diberikan batas waktu sampai 30 Juni 2014, setelah tanggal tersebut peredarannya termasuk obat ilegal," ujar Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza Dra. A. Retno Tyas Utami, Apt., M.Epid, ditulis Kamis (2/10/2013).
Dekstrometorfan merupakan obat yang secara kimiawi mirip dengan kodein dan bekerja di otak untuk menekan batuk non opiat sintetik yang bekerja secara sentral dengan jalan meningkatkan ambang rangsang reflek batuk .
"Pil ini secara kimiawi mirip dengan kodein dan morfin namun DMP lebih berbahaya dibandingkan keduanya karena bekerja pada saraf pusat," ungkap Retno.
Ditelisik dari sejarah terkait penarikan dekstrometorfan dengan merek Romilar sudah sejak 1973, namun di Indonesia sampai sekarang masih beredar, kenapa bisa begitu?.
Di Indonesia penarikan pil dekstro ini sampai batas waktu Juni tahun depan dilakukan karena banyaknya laporan kasus terkait penyalahgunaan dan meningkatnya angka kematian.
"Kami (BPOM) sebelum obat beredar pasti diteliti kandungan dan memberi tahukan efek sampingnya pada label namun kan penyalahgunaan tidak baca label, jadi kasus kematian semakin meningkat," jelas Retno saat diwawancarai Liputan6.com.
Retno mengatakan penarikan dilakukan baru sekarang karena sulitnya mengawasi kemana saja para industri farmasi mendistribusikannya dan jumlahnya.
"Kami tidak sepenuhnya menyalahkan BPOM, namun karena kebutuhan yang meningkat mereka banyak memproduksi bahkan ada yang sampai 10 juta. Memang itu untuk obat penekan batuk tetapi kan orang banyak mencari cara untuk teller makanya disalahgunakan," papar Retno.
Â
Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM RI, Togi Hutajulu menambahkan untuk mengantisipasi meningkatnya angka kematian dan kasus penyalahgunaan maka wajib para industri farmasi melaporkan kegiatan produksinya.
Â
"Industri farmasi yang memiliki nomor izin edar dekstrometorfan tunggal harus memberi laporan kepada Badan POM RI di tanggal 15 tiap bulannya berapa banyak yang diproduksi, dan kemana saja didistribusikannya," ujarnya. (Mia/Mel)