Sukses

Mendidik Anak Dimulai Saat Sanggama

Dalam beberapa ragam budaya yang menampilkan cara-cara berhubungan seksual kita akan memahami itu bukan sekadar sanggama

Dalam beberapa ragam budaya yang menampilkan cara-cara berhubungan seksual (misalnya India, Jawa, China), kita akan memahami lebih dalam bahwa sebenarnya cara-cara tersebut bukanlah sekadar menampilkan gaya sanggama.  Tekanannya sebenarnya ada pada bagaimana memulai kehidupan baru. Pendidikan anak dimulai pada saat suami istri melakukan hubungan seksual.

Pada saat itu, sel-sel yang dikeluarkan dan disatukan adalah sel-sel yang terkondisikan. Kematangan pribadi, kebahagiaan yang dirasakan pasangan suami istri, dan kondisi lain sangat menentukan bagaimana sel-sel itu menjadi seorang manusia nantinya.  Berikut ini uraian mengenai proses pendidikan mulai dari saat senggama sampai di kandungan menurut tata cara Hindu. Mungkin kita bisa menimba pelajaran atas info yang didapat dari buku Ajaran Agama Hindu (Uparengga), oleh
I.B. Putu Sudarsana, MBA ditulis, Selasa (15/10/2013)
Pendidikan Sebelum Lahir
Pembentukan watak menurut agama Hindu, bukan dilakukan pada saat anak lahir, tetapi pendidikan itu diberikan jauh sebelum anak itu lahir, yang dapat diistilahkan sebagai Prenatal Education (pendidikan sebelum lahir). Pelaksanaannya diwujudkan dengan upacara disebut Magedong-gedongan (cara di Bali), atau Mitu Bulanian (cara di Jawa), atau Garbhadhana (cara di India). Pembentukan watak ini menurut tradisi kuno, sudah dimulai ketika ibu bapak mengadakan senggama yang harus dilakukan dengan tujuan mendapat anak yang baik.

Prenatal education dilakukan dengan mengatur prikehidupan dan pikiran-pikiran orang tuanya, termasuk perasaan sang ibu karena kondisi ini diyakini akan akan berpengaruh pada watak si jabang bayi. Malahan usaha pendidikan dan pembentukan watak jabang bayi ini dilakukan setiap kali suami istri melakukan senggama dengan pikiran yang tenang untuk mendapatkan keturunan yang baik. Tidak melakukan senggama secara liar dan sembarang waktu, hanya untuk memuaskan nafsu saja. Kalau dilakukan secara demikian bisa menghasilkan keturunan yang liar juga.

Jadi maksud dari Prenatal Education ialah mendidik disiplin ibu bapak dan orang -orang disekitarnya. Umpamanya, sang ibu harus dididik soal kesehatan badan jika sudah mulai mengandung. Semakin tua kandungannya semakin hati-hati menjaga kesehatan dan perasaan serta pikiran sang calon ibu. Karena keadaannya akan memengaruhi keadaan si jabang bayi yang sedang dikandungnya.

Sang calon ayah hendaknya selalu menjaga diri dalam berkata-kata dan bertingkah laku sehingga tidak memberikan kesan negatif kepada istrinya yang secara tidak langsung berkesan negatif pula pada calon bayi. Misalnya, semua bentuk penyelewengan dihindarkan. Ada yang percaya bahwa bila menghendaki anak yang tampan atau cantik, maka sering-seringlah melihat hal-hal yang bagus atau indah.

Mengenangkan wajah-wajah tampan dan cantik, yang pintar dan baik hati, mendengarkan nyanyian yang merdu, pendek kata sebelum kehamilan seorang ibu harus senantiasa mengagumi segala sesuatu yang baik-baik belaka. Dari sejak terjadinya atau sejak diketahuinya terjadi pembuahan (konsepsi), diadakan beberapa upacara sesuai dengan perkembangan jabang bayi yang ada dalam kandungan sang ibu.

Tujuannya tidak lain dari mendoakan kesehatan, keselamatan, perkembangan intelektual dan rasa bagi si jabang bayi yang positif, untuk nanti setelah menjadi manusia, sebagai dasar yang positif dalam menerima segala pendidikan diluar kandungan. Apakah itu pendidikan dalam sekolah atau luar sekolah, apakah pendidikan yang formal maupun yang informal dan seterusnya.

2 dari 2 halaman

Tiga Macam Upacara
Umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam pembinaan spiritual putra putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk upacara Magedong-gedongan atau Mitu Bulanin. Kalau di Indonesia antara lain di Bali dan Jawa, upacara sebelum bayi itu hanya dilakukan satu kali yaitu Magedong-gedongan atau Mitu Bulanin, para pemeluk agama Hindu di India ada tiga macam upacara yang dilakukan.

Upacara pertama dinamai Garbhalambhana yaitu upacara yang dilakukan setelah diketahui terjadinya konsepsi, pertemuan antara sperma suami dengan ovum sang ibu (kama bang dan kama putih). Tetapi karena agak sulit mengetahui pertemuan ini dan adanya kemungkinan untuk gagal sebelum tumbuh, upacara ini lama-lama ditinggalkan. Namun, dalam hal melakukan senggama dengan tujuan mendapat keturunan yang baik, ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti.

Antara lain, waktu senggama yang dianggap baik kalau dilakukan pada malam ke empat dan keenam belas setelah datang bulan, dan juga waktu malamlah saat yang baik karena senggama yang dilakukan waktu siang hari akan menghasilkan anak yang lemah, umur pendek dan tidak beruntung. Hal ini ada pengecualian, kalau sang suami sering bertugas jauh sehingga sering berpisah dan kesempatan malam hari sangat terbatas.

Menurut kepercayaan, senggama yang membuahkan anak yang baik dilakukan pada malam ke 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16 setelah sang istri selesai datang bulan. Setelah konsepsi terjadi selama empat bulan, yaitu pada waktu jabang bayi itu mulai membuat gerakan awal, ada upacara kedua yang disebut Pungsawana, artinya dengan harapan bayi laki-lakilah yang akan lahir. Memang dimana-mana zaman dahulu, keinginan untuk mempunyai anak laki-laki itu lebih dominan.

Tetapi bagi umat Hindu di Indonesia, perbedaan anak laki-laki dan perempuan tidaklah menonjol sekali. Sehingga upacara Pungsawana ini pada waktu kandungan berumur empat bulan tidak dilaksanakan. Barulah setelah jabang bayi berumur tujuh bulan, upacara Garbhadhana dilakukan. Karena pada saat itu sudah dianggap ada hubungan badaniah dan kejiwaan antara ibu dengan bayinya di kandungan. Upacara ini dinamakan Magedong-gedongan di Bali atau Mitu Bulanin di Jawa. Di India upacara ini dinamai juga Simantonnayana karena ada acara penyisiran rambut sang ibu oleh suaminya untuk menghindari kekuatan-kekuatan negatif yang mungkin mengganggu kesehatan ibu dan anak itu.

Menurut ajaran Susruta, sebenarnya dari sejak kandungan berumur lima bulan sudah mulai terjadi formasi pemikiran pada bayi yang akan lahir. Ada tiga macam usaha yang dilaksanakan melalui mantra-mantra yaitu untuk melindungi ibu yang hamil dari kekuatan negatif, untuk membatasi gerakan-gerakan keras yang tidak perlu dan untuk menumbuhkan kekuatan fisik dan mental sang ibu sebelum melahirkan. Sang ibu tidak boleh sedih, cemburu, terkejut, berkelahi, dan melihat darah. Sang ibu diharapkan mendengarkan ajaran-ajaran yang baik, mendengarkan lagu-lagu yang merdu, hormat kepada mertua, orang tua dan suami sehingga timbul rasa cinta kasih yang timbal balik antara anggota keluarga.

Tugas ayah
Tugas sang suami antara lain ialah harus memenuhi setiap keinginan istrinya karena menurut Yajnawalkya, jika tidak memenuhi keinginan istri yang sedang hamil, jabang bayi akan tidak sehat jadinya atau akan menderita kelainan. Juga ajaran Asvalayana Smerti menyebutkan setelah umur kandungan enam bulan, sang suami hendaknya juga mencukur rambut, tidak boleh bersenggama dengan istri dan melakukan upacara Sradha. Semua hal itu dilaksanakan di India. Bagaimana di Indonesia?

Upacara Magedong-gedongan ini ditujukan kehadapan si bayi yang ada dalam kandungan dan merupakan yang pertama kali dialami sejak terciptanya sebagai manusia. Upacara ini dilakukan setelah kandungan berumur lebih dari enam bulan, karena kehamilan yang berumur dibawah lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh diberi upakara manusa yadnya. Ini menurut lontar kuno Anesthi.

Tujuan upacara adalah untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat. Upacara ini biasanya dilakukan di permandian didalam rumah, ibu yang hamil disucikan. Di tempat suci ditaruh alat upacara berupa benang hitam satu ikat, yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap, bambu runcing, air berisi ikan yang hidup, ceraken dibungkus dengan kain yang baru.

Kedua cabang kayu dadap yang terikat dengan benang hitam ditancapkan pada pintu gerbang. Ceraken dan air berisi ikan dijinjing oleh sang ibu. Sang suami memegang benang dengan tangan kiri, sedang tangan kanan memegang bambu. Air suci dipercikkan pada sesajen. Setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan, agar kandungan sampai lahirnya bayi nanti tidak mengalami hambatan. Persembahyangan ini diikuti dengan mantra-mantra tertentu. Kalau di India diucapkan mantra Matrpuja nadisraddha dan Prajapalopuja yang semuanya untuk keselamatan ibu dan bayi.

(Abd)