Selain untuk hiburan, mendengarkan musik ternyata dapat dijadikan alternatif sebagai terapi penyembuhan dari berbagai macam penyakit, salah satunya Artritis Rematoid (AR)
Musik untuk terapi harus yang dikenal pasien dan tentu saja terapisnya. Seperti misalnya pasien dari Ambarukmo atau Jepara, jangan didengarkan lagu Mozart. Jelas, itu tidak nyambung sama sekali.
"Begitu sebaliknya. Misalnya pasien dari Pegunungan Alpen, malah kita beri bunyi-bunyian dari Sunda. Jelas, mereka kebingungan, dan yang ada malah semakin sakit," terang Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah, D. A. Mus. Ed.
Terapi musik sudah lama digunakan untuk menyembuhkan oleh masyarakat di zaman purba dulu. Contohnya di kalangan masyarakat Suberia, Mesir, dan Yunani. "Bahkan sekelas Aristoteles sendiri mengatakan, untuk menyembuhkan seseorang dari dalam, pergunakanlah terapi musik," ujar Deviana.
Bila terapi musik hanya untuk memperbaiki emosi dan mental para pasien AR, di zaman seperti ini justru terapi dapat memengaruhi mempercepat proses penyembuhan.
Sayang, di Indonesia belum dapat mencontoh apa yang sudah dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia, bahkan di Afrika. Di negara nan jauh di sana, di setiap rumah sakit dan klinik, sudah digunakan musik terapi ini untuk proses penyembuhan penyakit, bukan hanya AR.
"Beberapa di antaranya penyembuhan kanker. Dan juga untuk ibu hamil," jelasnya.
"Intinya, musik itu menyenangkan. Karena musik itu menyenangkan, makanya dapat menyembuhkan. Coba Anda, seminggu tidak mendengarkan musik, pasti pusing, 'kan?", tambah Deviana.
Harus kuliah musik
Tapi tentunya, terapi musik untuk penyakit AR tidak semudah yang dipikirkan. Bahkan masih banyak yang mengira, bila sebuah alat musik dimainkan di sebelah orang yang sakit itu dinamakan terapi musik. Padahal, cara seperti itu hanya untuk relaksasi, bukan untuk terapi.
Bagi yang ingin menerapi pasien dengan penyakit AR, perlu latihan dan kuliah. Bahkan kuliah untuk musik terapi ini, sama rumitnya seperti kuliah kedokteran.
Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah, D. A. Mus. Ed., musikus sekaligus pendiri Institut Musik Daya Indonesia (IMDI) mengatakan, untuk menjadi seperti ini tahapan pertama yang harus dilakukan adalah belajar musik instrumental.
"Musik instrumentalnya seperti piano. Belajar pianonya harus delapan tahun. Setelah terampil bermain piano, baru memulai perkuliahan musik," ujar Tjut Nyak Deviana, dalam acara Kenali Artritis Rematoid 'Pengobatan Tepat dan Terapi Musik Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien', the Cafe Energy, Energy Building, Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (17/10/2013)
Untuk memulai perkuliahannya, lanjut Deviana, orang tersebut harus lulus ujian masuk terlebih dulu. Dalam ujian masuk itu, peserta akan dites sejarah musik dan sosiologi. "Maka itu, setelah masuk tidak dibicarakan lagi cara mainnya. Tapi, lebih kepada ilmunya," tambah dia.
Dijelaskan Deviana, sekolah musik sendiri ada 20 mata kuliah yang semuanya itu harus dilalui dengan baik dan benar oleh si murid. Setelah selesai selama empat tahun dari strata satu (S1) ilmu musik, barulah ia melanjutkan ke jenjang strata dua (S2) dengan mengambil ilmu musik terapi.
"Ada baiknya untuk musik terapi yang menanganinya adalah memang seorang musisi. Musisi yang lulus dengan gelar sarjana, minimal S1," terang dia.
Di jenjang yang lebih tinggi lagi ini, yang dipelajari bukanlah mengenai bagaimana cara memainkannya, tapi lebih kepada bagaimana cara memilih musik yang menenangkan, dan juga murid harus mengetahui anatomi tubuh manusia.
"Murid juga harus mempelajari ilmu medik, fisik, dan psikologi. Semuanya harus diketahui. Jangan sampai, salah dalam memilih musik," tambah wanita berambut pendek itu.
(Adt/Abd)
Musik untuk terapi harus yang dikenal pasien dan tentu saja terapisnya. Seperti misalnya pasien dari Ambarukmo atau Jepara, jangan didengarkan lagu Mozart. Jelas, itu tidak nyambung sama sekali.
"Begitu sebaliknya. Misalnya pasien dari Pegunungan Alpen, malah kita beri bunyi-bunyian dari Sunda. Jelas, mereka kebingungan, dan yang ada malah semakin sakit," terang Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah, D. A. Mus. Ed.
Terapi musik sudah lama digunakan untuk menyembuhkan oleh masyarakat di zaman purba dulu. Contohnya di kalangan masyarakat Suberia, Mesir, dan Yunani. "Bahkan sekelas Aristoteles sendiri mengatakan, untuk menyembuhkan seseorang dari dalam, pergunakanlah terapi musik," ujar Deviana.
Bila terapi musik hanya untuk memperbaiki emosi dan mental para pasien AR, di zaman seperti ini justru terapi dapat memengaruhi mempercepat proses penyembuhan.
Sayang, di Indonesia belum dapat mencontoh apa yang sudah dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia, bahkan di Afrika. Di negara nan jauh di sana, di setiap rumah sakit dan klinik, sudah digunakan musik terapi ini untuk proses penyembuhan penyakit, bukan hanya AR.
"Beberapa di antaranya penyembuhan kanker. Dan juga untuk ibu hamil," jelasnya.
"Intinya, musik itu menyenangkan. Karena musik itu menyenangkan, makanya dapat menyembuhkan. Coba Anda, seminggu tidak mendengarkan musik, pasti pusing, 'kan?", tambah Deviana.
Harus kuliah musik
Tapi tentunya, terapi musik untuk penyakit AR tidak semudah yang dipikirkan. Bahkan masih banyak yang mengira, bila sebuah alat musik dimainkan di sebelah orang yang sakit itu dinamakan terapi musik. Padahal, cara seperti itu hanya untuk relaksasi, bukan untuk terapi.
Bagi yang ingin menerapi pasien dengan penyakit AR, perlu latihan dan kuliah. Bahkan kuliah untuk musik terapi ini, sama rumitnya seperti kuliah kedokteran.
Prof. Tjut Nyak Deviana Daudsjah, D. A. Mus. Ed., musikus sekaligus pendiri Institut Musik Daya Indonesia (IMDI) mengatakan, untuk menjadi seperti ini tahapan pertama yang harus dilakukan adalah belajar musik instrumental.
"Musik instrumentalnya seperti piano. Belajar pianonya harus delapan tahun. Setelah terampil bermain piano, baru memulai perkuliahan musik," ujar Tjut Nyak Deviana, dalam acara Kenali Artritis Rematoid 'Pengobatan Tepat dan Terapi Musik Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien', the Cafe Energy, Energy Building, Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (17/10/2013)
Untuk memulai perkuliahannya, lanjut Deviana, orang tersebut harus lulus ujian masuk terlebih dulu. Dalam ujian masuk itu, peserta akan dites sejarah musik dan sosiologi. "Maka itu, setelah masuk tidak dibicarakan lagi cara mainnya. Tapi, lebih kepada ilmunya," tambah dia.
Dijelaskan Deviana, sekolah musik sendiri ada 20 mata kuliah yang semuanya itu harus dilalui dengan baik dan benar oleh si murid. Setelah selesai selama empat tahun dari strata satu (S1) ilmu musik, barulah ia melanjutkan ke jenjang strata dua (S2) dengan mengambil ilmu musik terapi.
"Ada baiknya untuk musik terapi yang menanganinya adalah memang seorang musisi. Musisi yang lulus dengan gelar sarjana, minimal S1," terang dia.
Di jenjang yang lebih tinggi lagi ini, yang dipelajari bukanlah mengenai bagaimana cara memainkannya, tapi lebih kepada bagaimana cara memilih musik yang menenangkan, dan juga murid harus mengetahui anatomi tubuh manusia.
"Murid juga harus mempelajari ilmu medik, fisik, dan psikologi. Semuanya harus diketahui. Jangan sampai, salah dalam memilih musik," tambah wanita berambut pendek itu.
(Adt/Abd)