Masih banyak mereka yang hidupnya pas-pasan lebih memilih menghabiskan uang hasil kerja kerasnya hanya demi rokok, ketimbang membeli makanan bergizi yang harganya beda tipis dari sebungkus rokok. Padahal, makanan bergizi itu dapat dinikmati oleh istri dan anaknya, generasi penerus bangsa.
Bila ini dibiarkan, anak-anak bakal menjadi korban. Kebodohan, sulitnya mendapat kerja, kesejahteraan yang tak kunjung menaik akan menjadi siklus kemiskinan yang tak putus.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Politik Kebijakan Kesehatan Bambang Sulitomo, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Politik Kebijakan Kesehatan menceritakan, fenomena seperti ini terjadi di Desa Cibereum, Jawa Barat. Beberapa tahun silam, saat ia berkunjung ke sana dan menanyakan kepada para ibu bagaimana konsumsi rokok di kalangan para suaminya.
"Waktu saya tanya berapa bungkus rokok yang dihabiskan para suaminya, para ibu itu menjawab setidaknya sehari yang dihabiskan adalah 2 bungkus rokok. Saya tanya lagi ke mereka. Dalam sebulan, siapa yang membeli 1 kilo telur, dan tidak ada yang menjawab. Sekalinya ada, mereka mengaku hanya membeli setengah kilo telur saja. Ini memprihatinkan," kata Bambang Sulitomo, Lokakarya 'FCTC Untuk Ketahanan Bangsa', di Royal Hotel Kuningan, Jakarta, ditulis Selasa (22/10/2013)
Mengejutkan memang, mengingat anak-anak dari kalangan masyarakat miskin itu juga butuh makanan bergizi. Setidaknya, makanan bergizi itu bisa didapat dari sebutir telur. Kalau sudah begini jadinya, wajar rasanya bila banyak anak dari keluarga miskin akan makin miskin.
"Anak-anak itu butuh gizi yang bisa didapat dari telur. Kalau kekurangan gizi, anak-anak jadi suka mengantuk. Di kelas enggak fokus, akibatnya tinggal kelas. Nahasnya, ada yang memutuskan tidak sekolah. Memilih bekerja, ya pekerjaan kasar. Pada akhirnya, miskin lagi," tambah Bambang.
Untuk itu, tak salah bila dikatakan siklus kemiskinan terjadi karena adanya rokok.
Karena itu, amat disayangkan masih banyak orang yang memilih untuk merokok, padahal ia tahu bahwa merokok itu merupakan penyebab tunggal kematian paling utama yang dapat dicegah.
Konsumsi zat adiktif seperti rokok di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat tinggi. Tidak hanya itu, konsumsi produk tembakau di Indonesia, terus meningkat di berbagai kalangan masyarakat, termasuk kalangan masyarakat miskin. Menurut data WHO tahun 2008, negeri ini merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar setelah Cina dan India.
(Adt/Abd)
Bila ini dibiarkan, anak-anak bakal menjadi korban. Kebodohan, sulitnya mendapat kerja, kesejahteraan yang tak kunjung menaik akan menjadi siklus kemiskinan yang tak putus.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Politik Kebijakan Kesehatan Bambang Sulitomo, Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Politik Kebijakan Kesehatan menceritakan, fenomena seperti ini terjadi di Desa Cibereum, Jawa Barat. Beberapa tahun silam, saat ia berkunjung ke sana dan menanyakan kepada para ibu bagaimana konsumsi rokok di kalangan para suaminya.
"Waktu saya tanya berapa bungkus rokok yang dihabiskan para suaminya, para ibu itu menjawab setidaknya sehari yang dihabiskan adalah 2 bungkus rokok. Saya tanya lagi ke mereka. Dalam sebulan, siapa yang membeli 1 kilo telur, dan tidak ada yang menjawab. Sekalinya ada, mereka mengaku hanya membeli setengah kilo telur saja. Ini memprihatinkan," kata Bambang Sulitomo, Lokakarya 'FCTC Untuk Ketahanan Bangsa', di Royal Hotel Kuningan, Jakarta, ditulis Selasa (22/10/2013)
Mengejutkan memang, mengingat anak-anak dari kalangan masyarakat miskin itu juga butuh makanan bergizi. Setidaknya, makanan bergizi itu bisa didapat dari sebutir telur. Kalau sudah begini jadinya, wajar rasanya bila banyak anak dari keluarga miskin akan makin miskin.
"Anak-anak itu butuh gizi yang bisa didapat dari telur. Kalau kekurangan gizi, anak-anak jadi suka mengantuk. Di kelas enggak fokus, akibatnya tinggal kelas. Nahasnya, ada yang memutuskan tidak sekolah. Memilih bekerja, ya pekerjaan kasar. Pada akhirnya, miskin lagi," tambah Bambang.
Untuk itu, tak salah bila dikatakan siklus kemiskinan terjadi karena adanya rokok.
Karena itu, amat disayangkan masih banyak orang yang memilih untuk merokok, padahal ia tahu bahwa merokok itu merupakan penyebab tunggal kematian paling utama yang dapat dicegah.
Konsumsi zat adiktif seperti rokok di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat tinggi. Tidak hanya itu, konsumsi produk tembakau di Indonesia, terus meningkat di berbagai kalangan masyarakat, termasuk kalangan masyarakat miskin. Menurut data WHO tahun 2008, negeri ini merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar setelah Cina dan India.
(Adt/Abd)