Rencana pemerintah dalam melakukan aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dinilai akan berdampak buruk bagi petani tembakau, petani cengkeh dan industri rokok nasional. Untuk itu, rencananya besok sejumlah aktivis HAM (Hak Asasi Manusia) akan mengajukan gugatan ke Komnas HAM.
Menurut Ketua Umum SAKTI (Serikat Kerakyatan Indonesia), Standarkiaa Latief pemerintah perlu mengkaji ulang rencana aksesi tersebut untuk melindungi industri tembakau dan rokok nasional dengan tanpa mengabaikan aspek perlindungan kesehatan masyarakat.
"Pemaksaan atas aksesi FCTC juga merupakan bentuk pengingkaran kontribusi industri kretek terhadap perekonomian nasional, dan bentuk pengabaian pemerintah terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya," tulis Standarkiaa pada acara seminar nasional memeringati hari HAMÂ 2013 di hotel JS Luwansa yang diterbitkan dalam rilis, Senin (9/12/2013).
Standarkiaa menilai, proses aksesi saat ini dalam tahap pengkajian melalui koordinasi lintas kementerian dibawah Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Pihak pemerintah sendiri sebenarnya belum satu suara karena akan mengakibatkan matinya industri agro dan pengolahan, PHK masal serta dampak berkurangnya volume perdagangan.
"Indonesia hingga saat ini belum mengaksesi FCTC tentunya bukan tanpa alasan. Adapun alasan itu diantaranya karena keunggulan-keunggulan industri hasil tembakau (sub sistem on farm maupun off farm) sehingga perlu diberi perlindungan sebagai bagian penting dari postur industri nasional, penyelamatan penerimaan negara dan variabel penting pertumbuhan ekonomi dalam hal penyerapan tenaga kerja (hulu hingga hilir)," jelasnya.
Selain itu, indutri hasil tembakau Indonesia yang disebut sebagai kretek maupun kelobot, memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dan telah diakui dunia. Sehingga perlu pelestarian dan penyelamatan sebagai bagian dari warisan budaya (national heritage).
"Sebanyak 4.154 juta tenaga kerja bekerja di industri tembakau dimana 93,77 persen diserap kegiatan usaha tani termasuk pascapanen dan 6,23 persen di sektor pengolahan rokok. Begitu juga cukai dari produksi rokok masih menjadi andalan karena memberikan kontribusi sebanyak 96 persen dari total penerimaan cukai negara. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut maka sebagai negara berdaulat pemerintah Indonesia tidak perlu lagi mengaksesi FCTC," ungkapnya.
Standarkiaa menegaskan, tanpa mengaksesi FCTC, Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat hukum/regulasi yang mengatur mengenai pengendalian dampak tembakau bagi kesehatan yaitu UU No 36 Taun 2009 tentang Kesehatan dan PP NO. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Sementara menurut Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Abdus Setiawan, perlindungan dan subsidi dari pemerintah, saat ini cukup memprihatinkan. Jumlah pabrik rokok di Indonesia terus menunjukan kecenderungan menurun. Dari 1.132 pabrik pada tahun 2008 turun menjadi 1.051 di tahun 2009 dan tersisa kurang dari 1000 pabrik di tahun 2010. Dari jumlah itu, 53% pabrik berada di Jawa Timur yaitu 550 perusahaan, dan sisanya menyebar ke berbagai daerah, diantaranya Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jogjakarta," katanya.
"Demikian halnya kondisi disektor hulu, yaitu sektor pertanian tembakau. Dari tahun ke tahun produksi tembakau Indonesia mengalami penurunan, dari 192 ribu ton (2002), menjadi 165 ribu ton (2007), dan tahun ini berada pada kisaran 120 ribu ton (2013) pada areal lahan 160 ribu hektar. Sementara saat ini permintaan tembakau nasional mencapai 300 ribu ton yang kekurangan kebutuhan itu dipenuhi dengan impor," ungkapnya.
Ia menambahkan, aksesi FCTC berpotensi sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB). Karena pokok-pokok isi FCTC diantaranya, mengatur konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, sponsorship dan promosi, pemberian label dalam kemasan rokok (peringatan kesehatan) dan mengatur akses penjualan produk tembakau.
Baca juga: Sebelumnya, beberapa waktu lalu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan sudah menjawab keberatan yang diajukan pihak petani temakau dan industri rokok.
(Fit/Abd)
Menurut Ketua Umum SAKTI (Serikat Kerakyatan Indonesia), Standarkiaa Latief pemerintah perlu mengkaji ulang rencana aksesi tersebut untuk melindungi industri tembakau dan rokok nasional dengan tanpa mengabaikan aspek perlindungan kesehatan masyarakat.
"Pemaksaan atas aksesi FCTC juga merupakan bentuk pengingkaran kontribusi industri kretek terhadap perekonomian nasional, dan bentuk pengabaian pemerintah terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya," tulis Standarkiaa pada acara seminar nasional memeringati hari HAMÂ 2013 di hotel JS Luwansa yang diterbitkan dalam rilis, Senin (9/12/2013).
Standarkiaa menilai, proses aksesi saat ini dalam tahap pengkajian melalui koordinasi lintas kementerian dibawah Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Pihak pemerintah sendiri sebenarnya belum satu suara karena akan mengakibatkan matinya industri agro dan pengolahan, PHK masal serta dampak berkurangnya volume perdagangan.
"Indonesia hingga saat ini belum mengaksesi FCTC tentunya bukan tanpa alasan. Adapun alasan itu diantaranya karena keunggulan-keunggulan industri hasil tembakau (sub sistem on farm maupun off farm) sehingga perlu diberi perlindungan sebagai bagian penting dari postur industri nasional, penyelamatan penerimaan negara dan variabel penting pertumbuhan ekonomi dalam hal penyerapan tenaga kerja (hulu hingga hilir)," jelasnya.
Selain itu, indutri hasil tembakau Indonesia yang disebut sebagai kretek maupun kelobot, memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri dan telah diakui dunia. Sehingga perlu pelestarian dan penyelamatan sebagai bagian dari warisan budaya (national heritage).
"Sebanyak 4.154 juta tenaga kerja bekerja di industri tembakau dimana 93,77 persen diserap kegiatan usaha tani termasuk pascapanen dan 6,23 persen di sektor pengolahan rokok. Begitu juga cukai dari produksi rokok masih menjadi andalan karena memberikan kontribusi sebanyak 96 persen dari total penerimaan cukai negara. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut maka sebagai negara berdaulat pemerintah Indonesia tidak perlu lagi mengaksesi FCTC," ungkapnya.
Standarkiaa menegaskan, tanpa mengaksesi FCTC, Indonesia sebenarnya telah memiliki perangkat hukum/regulasi yang mengatur mengenai pengendalian dampak tembakau bagi kesehatan yaitu UU No 36 Taun 2009 tentang Kesehatan dan PP NO. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Sementara menurut Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Abdus Setiawan, perlindungan dan subsidi dari pemerintah, saat ini cukup memprihatinkan. Jumlah pabrik rokok di Indonesia terus menunjukan kecenderungan menurun. Dari 1.132 pabrik pada tahun 2008 turun menjadi 1.051 di tahun 2009 dan tersisa kurang dari 1000 pabrik di tahun 2010. Dari jumlah itu, 53% pabrik berada di Jawa Timur yaitu 550 perusahaan, dan sisanya menyebar ke berbagai daerah, diantaranya Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jogjakarta," katanya.
"Demikian halnya kondisi disektor hulu, yaitu sektor pertanian tembakau. Dari tahun ke tahun produksi tembakau Indonesia mengalami penurunan, dari 192 ribu ton (2002), menjadi 165 ribu ton (2007), dan tahun ini berada pada kisaran 120 ribu ton (2013) pada areal lahan 160 ribu hektar. Sementara saat ini permintaan tembakau nasional mencapai 300 ribu ton yang kekurangan kebutuhan itu dipenuhi dengan impor," ungkapnya.
Ia menambahkan, aksesi FCTC berpotensi sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB). Karena pokok-pokok isi FCTC diantaranya, mengatur konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, sponsorship dan promosi, pemberian label dalam kemasan rokok (peringatan kesehatan) dan mengatur akses penjualan produk tembakau.
Baca juga: Sebelumnya, beberapa waktu lalu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan sudah menjawab keberatan yang diajukan pihak petani temakau dan industri rokok.
(Fit/Abd)