Menurut laporan akhir tahun Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA), ada 817 kasus kekerasan seksual pada anak sepanjang 2013. Ini berarti hampir 70-80 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulan.
Berdasarkan tempat kejadian, kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan keluarga ada 24 persen, lingkungan sosial 56 persen, dan sekolah 17 persen.
Ahli Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Amsterdam, Prof. Dr. Saskia E. Wieringa mengatakan, tidak dimungkiri saat ini banyak pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak berasal dari lingkungan terdekat si anak.
"Kini sudah banyak kasus pemerkosaan yang melibatkan orang terdekat seperti keluarga dengan anak, paman dengan keponakan atau kakek ke cucu atau di lingkungan sekolah seperti guru dengan murid. Hal ini disebabkan karena ada unsur kekuasaan yang sangat kental di sini, sehingga anak tidak bisa berbuat apa-apa karena terlalu takut," kata Siska, Jumat (24/1/2014).
Menurut Siska, para orangtua dan pihak sekolah perlu mengajarkan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini untuk mencegah terjadinya kasus pemerkosaan.
"Kalau terjadi di rumah, itu karena anak menganggap orangtua sebagai sosok otoritas sehingga sulit sekali melawannya. Sikap diam pun dianggap salah. Kalau memang terjadi kasus pelecehan seksual baik di keluarga atau orang asing perlu dilaporkan," kata Siska.
Menurut pernyataan salah satu korban pelecehan seksual di keluarga, Helga Worotitjan, kekerasan oleh orang terdekat terjadi karena anak terlalu takut untuk melawan.
"Di keluarga, itu kan orangtua yang paling berkuasa. Anak hanya menurut dan terlalu takut untuk melawan karena dari awalnya memang sudah begitu. Pelecehan seksual terjadi bisa juga karena stres, orang tua merasa stres di luar rumah dan membawanya ke dalam rumah kemudian emosi tersebut disalurkan ke pihak yang lebih lemah yaitu anak," kata Helga.
Helga mengatakan proses menceritakan kembali peristiwa yang menyakitkan bukan hal yang mudah dan kondisi luka itu akan terus membekas. "Trauma itu tidak bisa disembuhkan, karena ibaratnya paku yang ditancapkan di kayu. Saat dicabut akan meninggalkan bekas. Itulah luka korban pelecehan seksual. Kalau terus berulang kali diceritakan maka akan muncul lagi memori menyakitkan itu," katanya.
Namun menurut Helga untuk menghindari kasus pemerkosaan anak yang dilakukan para orangtua bukan dengan cara melawan orangtua. "Bukan juga harus melawan atau terlalu was-was sehingga menimbulkan kecurigaan dan sikap waspada yang berlebihan ke orangtua. Tapi orangtua perlu memberikan pengetahuan tentang pendidikan reproduksi ke anak sejak dini," katanya.
(Mia/Abd)
Berdasarkan tempat kejadian, kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan keluarga ada 24 persen, lingkungan sosial 56 persen, dan sekolah 17 persen.
Ahli Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Amsterdam, Prof. Dr. Saskia E. Wieringa mengatakan, tidak dimungkiri saat ini banyak pelaku kasus kekerasan seksual terhadap anak berasal dari lingkungan terdekat si anak.
"Kini sudah banyak kasus pemerkosaan yang melibatkan orang terdekat seperti keluarga dengan anak, paman dengan keponakan atau kakek ke cucu atau di lingkungan sekolah seperti guru dengan murid. Hal ini disebabkan karena ada unsur kekuasaan yang sangat kental di sini, sehingga anak tidak bisa berbuat apa-apa karena terlalu takut," kata Siska, Jumat (24/1/2014).
Menurut Siska, para orangtua dan pihak sekolah perlu mengajarkan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini untuk mencegah terjadinya kasus pemerkosaan.
"Kalau terjadi di rumah, itu karena anak menganggap orangtua sebagai sosok otoritas sehingga sulit sekali melawannya. Sikap diam pun dianggap salah. Kalau memang terjadi kasus pelecehan seksual baik di keluarga atau orang asing perlu dilaporkan," kata Siska.
Menurut pernyataan salah satu korban pelecehan seksual di keluarga, Helga Worotitjan, kekerasan oleh orang terdekat terjadi karena anak terlalu takut untuk melawan.
"Di keluarga, itu kan orangtua yang paling berkuasa. Anak hanya menurut dan terlalu takut untuk melawan karena dari awalnya memang sudah begitu. Pelecehan seksual terjadi bisa juga karena stres, orang tua merasa stres di luar rumah dan membawanya ke dalam rumah kemudian emosi tersebut disalurkan ke pihak yang lebih lemah yaitu anak," kata Helga.
Helga mengatakan proses menceritakan kembali peristiwa yang menyakitkan bukan hal yang mudah dan kondisi luka itu akan terus membekas. "Trauma itu tidak bisa disembuhkan, karena ibaratnya paku yang ditancapkan di kayu. Saat dicabut akan meninggalkan bekas. Itulah luka korban pelecehan seksual. Kalau terus berulang kali diceritakan maka akan muncul lagi memori menyakitkan itu," katanya.
Namun menurut Helga untuk menghindari kasus pemerkosaan anak yang dilakukan para orangtua bukan dengan cara melawan orangtua. "Bukan juga harus melawan atau terlalu was-was sehingga menimbulkan kecurigaan dan sikap waspada yang berlebihan ke orangtua. Tapi orangtua perlu memberikan pengetahuan tentang pendidikan reproduksi ke anak sejak dini," katanya.
(Mia/Abd)