Liputan6.com, Jakarta Menjadi pendidik bukanlah hal yang mudah. Guru memiliki tugas yang beragam. Tugas tersebut meliputi bidang profesi, bidang kemanusiaan dan bidang kemasyarakatan. Tugas guru meliputi mendidik, mengajar dan melatih.
Baca Juga
Guru Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika asal Kenya, Peter Tabichi berusia 36 tahun, dianugerahi gelar sebagai guru terbaik di dunia. Sepanjang kariernya, Peter menyumbangkan sebagian besar pendapatannya pada murid yang kurang mampu. Kisah inspiratif.
Advertisement
Atas kebaikan dan ketulusannya, ia mendapat hadiah uang tunai sebesar 1 juta dolar AS dan berhasil mengalahkan 10.000 pesaingnya yang berasal dari 179 negara yang berbeda, seperti yang Liputan6.com lansir dari The Guardians, Senin (1/4/2019). Ini merupakan hadiah tahunan bagi pemenang Global Teacher Prize, penghargaan bagi guru terbaik dunia yang dianggap berdedikasi penuh pada profesinya.
Kondisi 95% Murid Peter adalah Orang Miskin
Hadiah ini dipersembahkan oleh Yayasan Varkey, dengan Peter Tabichi sebagai pemenang pada edisi 2019. Baginya, yang mengantarkan dirinya ke puncak kompetisi dengan hadiah USD 1 juta atau setara Rp 14 miliar itu adalah anak-anak didiknya.
Sebanyak 95% murid Peter adalah warga miskin. Bahkan, sepertiganya yatim piatu atau hanya memiliki satu orang tua saja. Para siswa umumnya harus berjalan sejauh 7 km menempuhnya di bawah terik matahari, untuk tiba di sekolahnya. Bahkan, terkadang harus menembus hujan.
Walaupun mereka hanya memiliki satu komputer, akses internet yang sangat buruk, bahkan rasio murid dan guru yang mencapai 58:1, hal itu tidak menghalangi Peter untuk mengembangkan potensi siswanya.
Ia membuat sebuah kelompok pengembangan bakat yang meliputi kelas ilmu pengetahuan dan membantu para murid untuk mendesain projek penelitian mereka. Bahkan, hingga dapat bersaing di tingkat nasional.
Advertisement
Membuat Perubahan untuk Para Siswa
Murid-muridnya pun pernah ikut dalam perlombaan sains tingkat internasional dan mendapatkan penghargaan dari Royal Society of Chemistry. Mereka membuat sebuah pembangkit listrik dari tanaman yang ada di daerah mereka.
Selain itu, Peter dan empat rekannya melakukan bimbingan intensif dengan para murid yang mengalami kesulitan dalam pelajaran. Mereka mengunjungi tempat tinggal murid-muridnya dan bertemu keluarganya untuk mengetahui apa masalah yang para muridnya hadapi.
Saat menerima penghargaanya, Peter mengatakan bahwa: “Saya ada disini karena apa yang telah murid-murid saya dapatkan. Penghargaan ini merupakan sebuah kesempatan untuk memberitahu dunia bahwa mereka dapat melakukan segalanya.”
Uhuru Kenyatta, Presiden Kenya pun menyampaikan ucapan selamat lewat pesan video. “Peter, kisahmu adalah kisah dari Afrika, sebuah benua kecil yang dipenuhi dengan bakat.”
Sunny Varkey, pemilik dari Varkey Foundation, mengungkapkan keinginannya agar kisah Peter dapat memberikan motivasi orang lain untuk menjadi seorang guru. “Sikap guru inspiratif ini dapat membuat hari esok lebih cerah dari sekarang,” ungkapnya.
Menjadi Kebangkitan Bagi Afrika
Peter mengatakan bahwa pemuda di Afrika tidak lagi disudutkan dengan pengharapan rendah. Ia percaya bahwa suatu hari ini dari benua itu akan bermunculan para ilmuwan, teknisi, dan pengusaha yang namanya akan terkenal di setiap sudut dunia. Dan, perempuan juga memiliki peran yang penting dalam hal ini.
“Penghargaan ini bukan mengakui saya. Tapi mengakui generasi muda di benua saya,” ujar Peter.
Dua belas tahun silam, Peter Tabichi hanyalah seorang guru sekolah Desa Pwani, Provinsi Rift Valley, Kenya, yang punya mimpi setinggi langit. Kala itu, dia meninggalkan sekolah swasta untuk membaktikan diri kepada masyarakat tak mampu. Pengabdiannya terbayar tunai dalam sebuah acara pada minggu lalu, (24/3/2019).
Sebuah malam penuh kenangan bagi Peter. Dia bisa berdiri diapit tokoh-tokoh besar. Yakni, Putra Mahkota Dubai Hamdan bin Mohammed Al Maktoum dan aktor Hollywood Hugh Jackman.
Meskipun menjadi lakon utama dalam malam penghargaan Global Teacher Prize 2019, Peter tetap tampil bersahaja dengan jubah cokelat dan sabuk tali putih. Lelaki itu adalah biarawan dari Ordo Fratrum Minorum atau Ordo Fransiskan. Tarekat kerohanian dalam gereja Katolik itu memang menekankan diri pada sikap rendah hati dan memilih hidup dalam kemiskinan.
Advertisement