Sukses

5 Kisah Perjuangan Guru Demi Tularkan Ilmu, Ada yang Rela Tinggal di Toilet

Baru-baru ini kisah Nining Suryani, guru honorer yang tinggal di toilet sekolah menjadi sorotan.

Liputan6.com, Jakarta Kisah perjuangan guru tak ubahnya menjadi sisi kelam pendidikan Indonesia. Kendati demikian, perjuangan para pahlawan tanpa tanda jasa juga membuktikan adanya tekad yang kuat demi menularkan ilmu kepada anak didik, terlepas dari keterbatasan yang dimiliki.

Misalnya, kisah seorang guru yang harus merogoh kocek tak sedikit hanya untuk bisa sampai ke sekolah tempatnya mengajar. Tak hanya itu, banyak pula kisah guru yang harus puas tinggal di rumah sederhana lantaran pemasukan yang kurang memadai.

Di samping itu, tak jarang sosok guru inspiratif penyandang disabilitas juga menjadi lentera dalam meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Indonesia melalui jalur pendidikan.

Seiring dengan majunya teknologi, perjuangan guru pun semakin terekspos ke publik sehingga menjadi perhatian banyak orang. Selengkapnya, berikut ini 5 kisah perjuangan guru demi menyebarkan ilmu, seperti yang telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (17/7/2019).

2 dari 6 halaman

1. Nining Suryani, Tinggal di Sebelah Toilet Sekolah.

Kisah Nining Suryani belakangan ini menjadi sorotan publik. Pasalnya, guru honorer asal Pandeglang, Banten itu tinggal bersebelahan dengan toilet sekolah lantaran rumahnya roboh. Nining harus menerima kenyataan pahit karena gajinya tak cukup untuk membeli rumah baru.

Sudah sejak dua tahun terakhir, Nining terpaksa harus membersihkan toilet sekolah setiap harinya agar tak ada bau pesing yang menyengat. Kendati demikian, Nining tetap menjalankan tugasnya sebagai tenaga pengajar di SDN Karyabuana 3, Banten.

Cerita tentang Nining lantas membuat heboh dunia maya. Bantuan berupa uang tunai hingga material bahan bangunan untuk guru Nining dan Eby, suaminya, pun terus mengalir. Masyarakat berharap Nining dan keluarga dapat hidup lebih layak.

3 dari 6 halaman

2. Diana Da Costa, Rogoh Kocek yang Dalam untuk Sampai ke Sekolah.

Kisah Diana Da Costa pun tak ubahnya menjadi sisi kelam pendidikan Indonesia. Guru muda 23 tahun itu menyebutkan tempat tugasnya di SD Inpres Kaibusene, Kampung Kaibusene, Distrik Haju, pedalaman Kabupaten Mappi, Papua sangat sulit dijangkau dan membutuhkan dana yang tak sedikit.

Untuk menginjakkan kaki ke Kampung Kaibusene, terdapat dua jalur yakni jalur dengan ongkos murah dan jalur dengan ongkos mahal. Jalur dengan ongkos murah ditempuh dari Keppi melalui Pelabuhan Keppi ke Pelabuhan Pagai menggunakan speed boat. Tarif speed boat dibanderol dengan harga sewa Rp 800 ribu dengan waktu tempuh selama 1 jam.

Kemudian, dari Pelabuhan Pagai Diana harus berjalan kaki ke Tamaripim selama 2 jam. Setibanya di Tamaripim, Diana menuju Distrik Haju menaiki ketinting atau perahu kecil dengan ongkos Rp 750 ribu yang mana harus ditempuh selama 2 jam pula. Lalu, ia kembali naik ketinting dengan ongkos sewa Rp 300 ribu ke Kaibusene dalam waktu 1 jam 30 menit.

Sementara itu, jalur dengan ongkos mahal membuatnya harus merogoh kocek lebih dalam, yakni hingga Rp 5 juta. Pasalnya, tarif moda transportasi yang ia naiki terbilang cukup mahal. Pertama, dari Kota Keppi ke Distrik Asgon, Diana harus menyewa mobil Hilux seharga Rp 3 juta. Lalu dilanjutkan dengan sewa speed boat seharga Rp 1,5 juta untuk sampai ke Kaibusene, tempatnya mengajar.

4 dari 6 halaman

3. Soiran, Guru Ngaji Penyandang Tunanetra.

Mengajar mengaji bagi ibu-ibu di desanya sudah menjadi kegiatan sehari-hari Soiran. Warga Desa Baosan Kidul, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo ini merupakan penyandang disabilitas tunanetra. Sejak tahun 2012 lalu, Soiran mengalami kebutaan akibat ada saraf matanya yang rusak.

Profesi guru dipilih pria berusia 38 tahun ini karena ingin mengabdikan diri untuk masyarakat. Selain mengajar mengaji para ibu-ibu, Soiran juga mengajar di Madrasah Diniyah dan Madrasah Tsanawiyah di desanya.

Alumni STAIN Ponorogo ini menguasai sejumlah mata pelajaran agama, seperti bahasa Arab, fiqih, tajwid, akidah akhlak hingga Al-Quran Hadits. Sedangkan sore harinya, ia mengajar di Madrasah Diniyah dengan berbagai kitab Alala, nahwu sharaf, dan berbagai pelajaran kitab lainnya.

Setiap hari, Soiran berjalan menuju sekolahnya tempat mengajar yang berjarak 1,5 km dari rumahnya. Dibantu dengan tongkatnya, Soiran berjalan perlahan menuju MTs di kampungnya. Di sana puluhan murid menunggunya untuk diajar olehnya.

5 dari 6 halaman

4. Nur Rohmajanti, 18 Tahun Mengabdi Jadi Guru SLB.

Nur Rohmajanti adalah satu dari banyaknya guru yang berdedikasi tinggi. Selama 18 tahun, Nur Rohmajanti mengabdi sebagai guru sekolah luar biasa (SLB) di sebuah sekolah di Tulungagung.

Nur mengaku, menjadi guru sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Terlebih menjadi guru SLB. Kala itu dia bercita-cita selepas kuliah dapat segera bekerja sehingga meringankan beban orangtua. Lantas memilih mengabdikan diri sebagai guru sekolah luar biasa.

Mengajar anak-anak penyandang tuli punya tantangan tersendiri. Salah satunya ketika ia dituntut untuk bisa membuat vokal atau mengeluarkan suara. Membuat vokal yang dimaksud adalah mengeluarkan suara yang tidak asal bunyi. Melainkan bagaimana dapat membuat mereka dapat berbicara yang memiliki arti dan maksud.

Bu Nur, sapaan akrabnya, menjadi guru sejak dirinya lulus kuliah tahun 1991 silam. Ia mencoba mendirikan sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) di Desa Turus, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Di tahun 2000, bersama dengan seorang teman, dia mendatangi rumah-rumah setiap warga untuk menemukan ABK.

Mulanya hanya memiliki 17 siswa, dengan berbagai macam ketunaan. Itu menjadi tantangan baru baginya. Berkat keuletan dan kesabarannya dalam membimbing para siswa, lambat laun sekolah hasil rintisannya berkembang.

6 dari 6 halaman

5. Amin, Guru Ngaji Difabel.

Kelumpuhan tak lantas menjadi penghalang Muhammad Amin mengajarkan ilmu agama pada murid-muridnya di Kampung Bugis. Di tengah keterbatasan fisik dan jenjang pendidikan seadanya, Amin mendedikasikan hidupnya menjadi seorang guru mengaji di kampungnya.

Amin menderita kelumpuhan sejak usia 13 tahun silam akibat terjatuh dari pohon coppeng. Alhasil, kini dirinya terpaksa mengajarkan ilmu mengaji sembari tiduran. Kendati demikian, Amin tak pernah berputus asa.

Ia tak pernah mengharapkan imbalan dari jasa mulianya itu. Amin menuturkan, semua yang terjadi padanya adalah sebuah karunia Tuhan. Amin pun mengaku selalu berpikiran positif, ditambah begitu banyak dukungan yang diberikan oleh para tetangganya. Misalnya, dengan membawakan makanan untuk pengganjal perut.

Video Terkini