Liputan6.com, Jakarta Aplikasi Muslim Pro yang cukup populer di kalangan umat muslim tengah menjadi perbincangan. Pasalnya, aplikasi ini diduga telah menjual data para penggunanya kepada militer Amerika Serikat (AS).
Informasi menganai penjualan data pengguna dari aplikasi Muslim Pro ini berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh majalah online Motherboard. Berdasarkan informasi tersebut, militer AS disebut membeli informasi pribadi dari pengguna Muslim Pro di seluruh dunia.
Advertisement
Baca Juga
Penyeledikan yang dilakukan oleh Motherboard terhadap aplikasi dari perusahaan pengembang Bitsmedia ini menyebut jika Komando Opersi Khusus As memperoleh data lokasi dari beberapa perusahaan dengan cara membeli data para pengguna.
Aplikasi Muslim Pro disebut melakukan penjualan data ke beberapa perusahaan. Salah satunya ialah X-Mode, yang selanjutnya data tersebut dijual kepada militer As serta sejumlah konsumen militer lainnya.
X-Mode lacak puluhan juta data pangguna
Aplikasi Muslim Pro yang diduga telah menjual data pribadi pengguna ke X-Mode ini langsung jadi perbincangan hangat. Pasalnya, X-Mode menyebutkan jika mereka telah melacak kurang lebih 25 juta perangkat di Amerika Serikat setiap bulannya serta 40 juta perangat dari seluruh dunia, yakni Uni Eropa Amerika Latin serta Asia Pasifik.
Rupanya, bukan hanya aplikasi Muslim Pro saja. Akan tetapi aplikasi kencan bagi umat muslim, Muslim Mingle juga disebut-sebut menjual data pribadi ke militer AS.
Untuk menyelediki adanya penjualan data pengguna, Motherboard memilih untuk mengunduh aplikasi kencan Muslim Mingle. Hasilnya, mereka melihat aplikasi tersebut berulang kali mengirimkan koordinat geolokasi tiap kali terhubung dengan jaringan WiFi ke X-Mode.
Advertisement
Bantahan dari Muslim Pro
Disebut-sebut telah menjual data pengguna ke pihak militer As, pengembang aplikasi ini, Bitsmedia membantah akan hal tersebut. Ia menyebutkan kepada The Straits jika mereka akan segera memutuskan hubungan kerjasama dengan mitra datanya. Meski begitu, pihak Bitsmedia tak menyebutkan siapa mitra data yang dimaksudkan.
"Ini tidak benar. Perlindungan dan penghormatan privasi pengguna kami adalah prioritas utama Muslim Pro," kata Nona Zahariah Jupary, ketua komunitas Muslim Pro.
Mengenai pemberitaan yang tengah ramai di perbincangkan, pihaknya telah melakukan penyelidikan internal. Selain itu, Bitsmedia juga tengah meninjau kembali kebijakan tata kelola data untuk menginformasi jika data para penggunakan aplikasi Muslim Pro ditangani dengan tepat dan terjamin privasinya.
Aplikasi lain yang juga diduga menjual data pengguna
Bukan hanya aplikasi Muslim Pro saja yang disebut-sebut telah menjual data lokasi para penggunanya. Namun rupanya, beberapa aplikasi lain yang bisa dengan mudah di unduh pada ponsel pintar juga diduga melakukan hal serupa.
Sebelumnya, Motherboard menyampaikan jika aplikasi kencan Muslim Mingle diduga turut serta mengirimkan data lokasi ke X-Mode saat terhubungan dengan jaringan WiFi. Namun rupanya, penyelidikan yang berlangsung menemukan beberapa aplikasi lain yang juga diduga menjual data lokasi pengguna kepada pihak ketiga.
Aplikasi tersebut antara lain ialah aplikasi penghitung langkah yaitu Accupedo, aplikasi cuaca yaitu Global Storm, serta CPlus untuk Craigslist.
Advertisement
Konfirmasi Militer As
Adanya kabar mengenai pembelian data pengguna aplikasi, membuat pihak militer AS melakukan konfirmasi atas hal tersebut. Dilansir Liputan6.com dari Business Insider, Rabu (18/11/2020) menurut catatan pengadaan publik, pihak militer As telah menghabiskan dana sebesar USD 90.656 atau sekitar Rp 1,27 miliar pada bulan April untuk mengakses data lokasi yang telah disediakan oleh perusahaan Babel Street. Perusaah Babel Steet tersebut merupakan perusahaan yang mengumpulkan data dari aplikasi pada ponsel pintar.
Pihal militer AS yang diwakilkan oleh juru bicara Komando Opersi Khusus Angkatan Laut As Tim Hawkins, menyebut jika data lokasi tersebut dibeli untuk mendukung persyaratan misi Pasukan Operasi Khusus.
"Kami secara ketat mematuhi prosedur dan kebijakan yang ditetapkan untuk melindungi privasi, kebebasan sipil, hak konstitusional dan hukum warga Amerika," Ujar Hawkins seperti yang dilansir Liputan6.com dari Business Insider, Rabu (18/11/2020).