Sukses

Mengenal Parosmia, Gejala yang Bisa Dirasakan Penyintas COVID-19

Parosmia dilaporkan banyak dirasakan oleh para penyintas COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta COVID-19 bisa menimbulkan serangkaian gejala, bahkan setelah pengidapnya dinyatakan sembuh. Kondisi ini kini dikenal sebagai Long COVID. “Long COVID” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi pada orang yang telah sembuh dari COVID-19 tetapi masih melaporkan adanya gejala yang menetap.

Salah satu gejala yang banyak dilaporkan setelah sembuh dari COVID-19 adalah parosmia. Gejala ini merujuk pada gangguan penciuman. Banyak pasien COVID-19 melaporkan bahwa indera penciumannya tidak berfungsi normal kembali. Parosmia bahkan bisa muncul setelah beberapa bulan terpapar COVID-19. 

Parosmia bisa membuat seseorang sangat sensitif terhadap bau. Kondisi ini juga bisa membuat seseorang sulit mengidentifikasikan bau. Parosmia bahkan bisa mengganggu kehidupan sehari-hari.

Apa sebenarnya parosmia, bagaimana gejalanya, dan apa hubungannya dengan COVID-19? Berikut ulasan mengenai parosmia yang berhasil Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin(8/2/2021).

2 dari 7 halaman

Mengenal parosmia

Dilansir Liputan6.com dari Healthline, parosmia merupakan gangguan indera penciuman yang membuat penderitanya mengalami kehilangan intensitas aroma. Ini membuat seseorang tidak dapat mendeteksi seluruh aroma di sekitarnya. Terkadang parosmia menyebabkan hal-hal yang ditemui setiap hari tampak seperti memiliki bau yang kuat dan tidak menyenangkan.

Misalnya, jika mencium aroma bunga melati, penderita parosmia akan mencium bau yang kuat dan tidak nyaman, tidak sama seperti mencium bau melati biasanya. Orang dengan parosmia dapat mendeteksi bau yang ada, tetapi baunya "salah" bagi mereka.

Dalam kasus yang paling parah, parosmia dapat menyebabkan penderitanya merasa sakit secara fisik saat otak mendeteksi bau yang kuat dan tidak menyenangkan.

3 dari 7 halaman

Penyebab parosmia

Parosmia biasanya terjadi setelah neuron pendeteksi aroma (indera penciuman) telah rusak karena virus atau kondisi kesehatan lainnya. Neuron-neuron ini melapisi hidung dan memberi tahu otak cara menafsirkan informasi kimiawi yang membentuk bau. Kerusakan neuron ini mengubah cara bau mencapai otak.

Bola olfaktorius di bawah bagian depan otak menerima sinyal dari neuron-neuron ini dan memberikan sinyal kepada otak tentang aroma: apakah itu menyenangkan, memikat, membangkitkan selera, atau busuk. Bagian penciuman ini bisa rusak, yang menjadi parosmia.

4 dari 7 halaman

Kondisi yang bisa menyebabkan parosmia

Infeksi bakteri atau virus

Salah satu penyebab gejala parosmia adalah kerusakan penciuman akibat flu atau virus. Infeksi saluran pernapasan bagian atas dapat merusak neuron penciuman. Ini lebih sering terjadi pada populasi yang lebih tua.

Dalam sebuah studi tahun 2005 terhadap 56 orang dengan parosmia, lebih dari 40 persen dari mereka mengalami infeksi saluran pernapasan atas yang mereka yakini terkait dengan permulaan kondisi tersebut.

Ini menjadi penjelasan tepat bagaimana COVID-19 menyebabkan parosmia. COVID-19 merupakan penyakit yang menyerang sistem pernapasan yang juga bisa memengaruhi indera penciuman.

Cedera kepala atau trauma otak

Cedera otak traumatis telah dikaitkan dengan kerusakan penciuman. Trauma otak juga bisa disebabkan oleh kerusakan akibat kejang, yang menyebabkan parosmia.

Merokok dan paparan bahan kimia

Sistem penciuman dapat mengalami kerusakan akibat merokok. Racun dan bahan kimia dalam rokok dapat menyebabkan parosmia seiring waktu. Untuk alasan yang sama ini, paparan bahan kimia beracun dan polusi udara volume tinggi dapat menyebabkan parosmia.

 

5 dari 7 halaman

Kondisi yang bisa menyebabkan parosmia

Efek samping pengobatan kanker

Radiasi dan kemoterapi dapat menyebabkan parosmia. Dalam satu studi kasusdari 2006, efek samping ini menyebabkan penurunan berat badan dan malnutrisi karena keengganan makanan terkait dengan parosmia.

Kondisi neurologis

Salah satu gejala pertama penyakit Alzheimer dan Parkinson adalah hilangnya indra penciuman. Demensia tubuh Lewy dan penyakit Huntington juga menyebabkan kesulitan dalam merasakan bau dengan benar.

Tumor

Tumor pada sinus, di korteks frontal, dan di rongga sinus dapat menyebabkan perubahan pada indra penciuman. Tumor jarang menyebabkan parosmia. Lebih sering, orang yang memiliki tumor mengalami phantosmia, kondisi di mana seseorang bisa mendeteksi bau yang tidak ada karena tumor yang memicu indra penciuman.

6 dari 7 halaman

Gejala parosmia

Sebagian besar kasus parosmia menjadi jelas terasa setelah seseorang sembuh dari infeksi. Tingkat keparahan gejala bervariasi dari kasus ke kasus. Ini sebabnya parosmia menjadi salah satu gejala dari long COVID.

Gejala utama parosmia adalah merasakan bau busuk yang terus-menerus, terutama saat ada makanan. Penderita parosmia mungkin juga mengalami kesulitan mengenali atau memperhatikan beberapa bau di lingkungannya. Ini sebagai akibat dari kerusakan neuron penciuman.

Aroma yang tadinya dianggap menyenangkan sekarang mungkin menjadi sangat kuat dan tak tertahankan. Jika penderita mencoba makan makanan yang baunya tidak enak, ia mungkin merasa mual atau muntah saat makan.

7 dari 7 halaman

Parosmia dan COVID-19

Dikutip Liputan6.com dari laman resmi UGM, Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan dan kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, dr. Anton Sony Wibowo, Sp.T.H.T.K.L.,M.Sc., FICS., menjelaskan tentang hubungan antara parosmia dengan gejala COVID-19.

Parosmia dapat terjadi pada pasien COVID-19 akibat virus SARS Cov 2 memengaruhi jalur proses penciuman seseorang. Hal tersebut bisa dari reseptor saraf penciuman (saraf kranial 1), saraf penciuman, atau sampai dengan pusat persepsi saraf penciuman.

Anton juga menjelaskan bahwa selain parosmia, ada beberapa gangguan penciuman lainnya yang mungkin dirasakan para pasien COVID-19. Ini seperti hyposmia berupa menurunnya kemampuan mendeteksi bau dan cacosmia yang menyebabkan seseorang terus menerus mencium bau yang tidak menyenangkan.