Sukses

Filosofi dan Asal Mula Lebaran Ketupat, Tradisi Umat Islam di Tanah Jawa

Makna tradisi Lebaran ketupat ini sangat dalam sekali bagi orang Jawa, dan juga mengandung filosofi kehidupan yang berharga.

Liputan6.com, Jakarta Filosofi dan asal usul Lebaran Ketupat tentunya menjadi salah satu hal yang dipertanyakan oleh umat islam di Indonesia. Lebaran ketupat merupakan salah satu hasil akulturasi kebudayaan Indonesia dengan Islam. Lebaran ketupat atau yang dikenal dengan istilah lain syawalan sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di tanah Jawa. Tradisi lebaran ketupat kini sudah menyebar di seluruh pelosok Indonesia, bahkan hingga ke Singapura dan Malaysia.

Penyebaran tersebut tak lepas karena orang Jawa yang merantau. Sehingga tradisi lebaran ketupat berkembang dan menjadi warisan unik masyarakat Indonesia yang tetap dipertahankan. Perayaan lebaran ketupat ternyata berbeda dengan lebaran 1 Syawal yang biasa dirayakan umat islam. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada tanggal 8 Syawal, seminggu setelah Idulfitri.

Tujuan pelaksanaannya sama seperti tujuan Idulfitri, yaitu saling memaafkan dan bersilaturahmi. Istilah saling mema’afkan ini di kalangan masyarakat Indonesia lebih terkenal dengan sebutan “Halal Bihalal”.

Makna tradisi lebaran ketupat ini sangat dalam sekali bagi orang Jawa, dan juga mengandung filosofi kehidupan yang berharga. Berikut ini penjelasan mengenai asal mula lebaran ketupat hingga filosofi yang terkandung di dalamnya yang telah dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (6/5/2021).

2 dari 4 halaman

Makna dan Istilah Lebaran dan Ketupat

1.  Lebaran

Lebaran merupakan istilah yang sering dipakai masyarakat dalam menyambut Idufitri. Lebaran sendiri berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai atau sudah berlalu. Maksud kata “lebar” di sini adalah sudah berlalunya bulan Ramadan, selesainya pelaksanaan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadan hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.

Pada awal bulan Syawal inilah dilaksanakan Idulfitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Riyaya” atau “Badha”. Riyaya merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha berasal dari bahasa Arab yang berarti setelah atau selesai.

Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idulfitri. Istilah lebaran sudah menjadi istilah nasional, yang diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai Idulfitri.

2.  Ketupat

Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari anyaman daun kelapa (janur). Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Makanan ini sudah menjadi makanan khas masyarakat Indonesia dalam menyambut Idulfitri.

Ada dua bentuk ketupat yaitu kepal (lebih umum) dan jajaran genjang. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Singapura dan Brunei.

Biasanya ketupat disuguhkan dengan opor ayam, rendang dan masakan-masakan khas masing-masing daerah yang mengandung santan. Ketupat sendiri telah berkembang akibat kreativitas kuliner di beberapa daerah.

3 dari 4 halaman

Asal Muasal Tradisi Lebaran Ketupat

Lebaran ketupat murni berasal dari tanah Jawa, sejak pemerintahan Paku Boewono IV. Sebuah kearifan lokal yang hanya dilakukan di Indonesia. Sama halnya dengan tradisi halal bihalal. Tradisi lebaran ketupat yang disertai dengan acara halal bihalal tidak ditemukan di negara lain selain di Indonesia.

Lebaran ketupat ini di masayarakat Jawa dikenal dengan istilah Syawalan, di mana waktunya bertepatan dengan bulan Syawal. Lebaran ketupat juga dinamai dengan istilah Badha Kupat. Lebaran ketupat dilaksanakan tepat pada hari ketujuh pada bulan Syawal.

Masyarakat Jawa dikenal dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Pada masyarakat selain Jawa, setelah salat Ied mungkin mereka melakukan aktivitas kegiatan seperti hari-hari biasanya. Pada masyarakat Jawa, setelah salat Ied, mereka biasanya melakukan kegiatan silaturahim ke sanak keluarga, saudara, tetangga dekat dan sekitar lingkungan mereka.

Sehari setelah Idulfitri atau lebaran, umumnya mereka melaksanakan puasa sunnah bulan Syawal. Puasa sunnah Syawal dilaksanakan sampai enam hari, setelah itu mereka mengadakan acara halal bihalal (maaf memaafkan) dan bersilaturahim dengan kerabat dekat maupun jauh. 

Acara silaturahim ini umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa di mana yang muda mengunjungi yang lebih tua. Hal ini mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, bahwa orang hidup harus tepa selira, unggah-ungguh (tahu tata krama dan sopan santun).

Biasanya yang muda membawa makanan khas ketupat dengan lauk opor ayam yang akan diberikan kepada kerabat yang lebih tua. Makanan ini nantinya akan disantap bersama-sama dengan kerabat. Makanan ketupat inilah yang menjadi ciri khas pada lebaran ketupat, sehingga hampir dipastikan di tiap keluarga masyarakat Jawa akan menghidangkan suguhan ketupat dengan lauknya opor ayam dan sambal goreng setiap lebaran ketupat tiba.

Tradisi lebaran ketupat menyebar ke luar tanah Jawa dibawa oleh orang-orang Jawa yang merantau ke luar pulau, bahkan ke luar negeri. Tradisi lebaran ketupat hingga akhirnya dikenal oleh masyarakat di luar Jawa dan menjadi tradisi yang nasional, hampir di tiap daerah terdapat tradisi yang sejenis dengan tradisi lebaran ketupat tak terkecuali di luar negeri yang ada orang Jawanya.

4 dari 4 halaman

Makna Filosofi Lebaran Ketupat

Dalam hal ini masyarakat Jawa mempercayai Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat. Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”.

Sehingga dengan ketupat sesama muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara memakan ketupat tersebut. Makanan ketupat menjadi simbol dalam masyarakat Jawa, sehingga orang yang bertamu akan disuguhi ketupat pada hari lebaran dan diharuskan memakannya sebagai pertanda sudah rela dan saling memaafkan.

Di daerah pedesaan, ketupat masih dibuat sendiri oleh tangan-tangan terampil para ibu dan gadis, namun di daerah perkotaan yang sudah sulit untuk memperoleh janur atau daun kelapa yang masih muda, ketrampilan ini sudah hilang dan masyarakat lebih suka membeli selongsong ketupat di pasar atau bahkan membeli dalam bentuk ketupat yang sudah masak. Lalu ketupat tersebut diantarkan kepada sanak saudara sebagai lambang permohonan maaf dan silaturrahmi.

Pada saat hari lebaran ketupat, ketupat yang dijadikan makanan khas pada masyarakat Jawa sebagai simbol bahwa semua orang Jawa mengaku salah (ngaku lepat). Dalam setahun, orang saling berebut ”benar”. Namun, dalam suasana Idulfitri, semua orang saling berebut untuk menyatakan lepat (salah). Sebuah kondisi yang fitrah, yang muda menyampaikan lepat. Namun, yang tua tidak langsung mengiyakan, tetapi dengan diikuti kalimat, ”wong tuwa uga akeh lupute” (orang tua juga banyak salahnya). Hal ini tidak hanya terjadi dalam tatanan keluarga saja, tetapi berlaku juga dalam tatanan struktur pemerintahan. Pejabat golongan strata atau pangkat yang lebih tinggi juga menyampaikan hal ini kepada pejabat yang pangkatnya lebih rendah atau stafnya. Mereka semua mengaku salah.

Banyak makna filosofis yang dikandung dalam makanan ketupat ini. Salah satunya adalah bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Janur artinya sejatine nur (cahaya) yang melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadan. Jadi, makna dari lebaran ketupat adalah kesucian lahir batin yang dimanifestasikan dalam tujuan hidup yang esensial.

Sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer”, yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional, aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa.

Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.

Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofinya. Opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut dengan santen yang mempunyai makna “pangapunten” alias memohon maaf. Saking dekatnya kupat dengan santen ini, ada pantun yang sering dipakai pada kata-kata ucapan Idul Fitri :

Mangan kupat nganggo santen.

Menawi lepat, nyuwun pangapunten.

Artinya : Makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan.

Pada masa lalu, terdapat tradisi unik yang berbau mistis, namun kini sudah jarang ditemukan. Ketupat juga dianggap sebagai penolak bala atau jimat, yaitu dengan menggantungkan ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah, biasanya bersama pisang, dalam jangka waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan sampai kering.

Masyarakat di daerah tersebut masih memegang tradisi untuk tidak membuat ketupat di hari biasa, sehingga ketupat hanya disajikan sewaktu lebaran dan hingga sepekan sesudahnya. Sedangkan di Bali, ketupat sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara.

Video Terkini