Liputan6.com, Jakarta Molnupiravir adalah obat yang saat ini sedang banyak diperbincangkan. Obat ini digadang bisa menjadi antivirus oral untuk Covid-19. Pada 1 Oktober 2021, perusahaan farmasi yang mengembangkan obat ini mengumumkan bahwa Molnupiravir dapat mengurangi rawat inap dan kematian di antara orang-orang dengan COVID-19 hingga setengahnya.Â
Baca Juga
Meski demikian, hasil dari temuan ini belum ditinjau lebih lanjut oleh para ilmuwan. Obat ini diyakini mampu menjadi terapi bagi pasien COVID-19. Cara kerja Molnupiravir sebenarnya serupa dengan Favipiravir dan Remdesivir yang saat ini juga menjadi terapi bagi pasien COVID-19.
Advertisement
Hadirnya Molnupiravir menjadi harapan baru di tengah pandemi yang belum usai. Hingga saat ini, Molnupiravir memang masih memerlukan uji lebih lanjut. Seperti apa cara kerja Molnupiravir dan bagaimana potensinya sebagai terapi untuk COVID-19?
Berikut penjelasan tentang Molnupiravir, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin(11/10/2021).
Awal mula pengembangan Molnupiravir
Molnupiravir adalah obat yang sedang dikembangkan oleh Emory Univesity yang kemudian bekerjsa sama dengan sebuah industri farmasi asal Amerika, Merck. Dilansir dari Nature, Molnupiravir dimulai sebagai terapi yang mungkin untuk virus ensefalitis Venezuela oleh perusahaan nirlaba Universitas Emory, DRIVE (Drug Innovation Ventures at Emory) di Atlanta.
Namun, pada 2015, kepala eksekutif DRIVE George Painter menawarkannya kepada seorang kolaborator, ahli virologi Mark Denison di Vanderbilt University di Nashville, Tennessee, untuk menguji virus corona.
Denison menemukan bahwa obat ini bekerja melawan beberapa virus corona: MERS dan virus hepatitis tikus. Painter juga merekrut rekan kerjanya Plemper untuk menguji obat terhadap influenza dan virus pernapasan syncytial. Ketika pandemi melanda, obat ini diarahkan untuk potensinya terhadap terapi COVID-19. DRIVE kemudian melisensikan senyawa tersebut ke Ridgeback Biotherapeutics di Miami, Florida. Plemper juga beralih ke virus corona, dan menguji senyawa itu pada musang.
Penemuan menunjukkan Molnupiravir membungkam kemampuan virus untuk bereplikasi, dan juga menekan penularan virus dari musang yang terinfeksi ke musang yang tidak terinfeksi.
Advertisement
Cara kerja Molnupiravir
"Secara mekanisme, obat ini merupakan suatu analog dari nucleodise cytidine, yang kemudian dia bisa menyusup rantai RNA dan menghambat sintesis RNA virus melalui penghambatan enzim RdRp atau RNA-dependent RNA Polymerase." jelas Zullies Ikawati, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, dalam channel YouTubenya, Zullies Ikawati Kamis(06/10/2021).
Menurut Zullies, secara mekanisme, Molnupiravir sama seperti Remdesivir dan Favipiravir. Molnupiravir, seperti remdesivir, adalah analog nukleosida, yang berarti meniru beberapa blok bangunan RNA. Mengutip Nature, ketika SARS-CoV-2 memasuki sel, virus perlu menggandakan genom RNA-nya untuk membentuk virus baru.
Remdesivir adalah 'terminator rantai'. Ini menghentikan enzim yang membangun 'rantai' RNA ini dari menambahkan tautan lebih lanjut. Sementara Molnupiravir, dimasukkan ke dalam untaian RNA yang sedang berkembang dan, begitu masuk, menimbulkan kekacauan. Senyawa tersebut dapat mengubah konfigurasinya, terkadang meniru nukleosida cytidine dan terkadang meniru uridin. Untaian RNA itu menjadi cetak biru yang salah untuk putaran genom virus berikutnya.
Di mana pun senyawa itu dimasukkan dan pergeseran konformasi itu terjadi, mutasi titik terjadi. Ketika cukup banyak mutasi terakumulasi, populasi virus runtuh. Inilah yang kemudian mematikan virus.
Uji klinik untuk COVID-19
Uji klinik fase 1 sebenarnya telah dilakukan sejak 2019. Ketika pandemi muncul, uji klinik fase 2 dan 3 dilakukan pada pasien rawat jalan maupun rawat inap di RS.
"Namun, untuk hasil pasien rawat inap, ternyata tidak terlalu bagus. Sehingga kemudian uji kliniknya untuk pasien rawat inap dihentikan, sedangkan yang rawat jalan kemudian dilanjutkan sampai saat ini." papar Zullies.
Uji klinik fase 3 dilakukan mulai 19 Oktober 2020 dan diperkirakan selesai 8 November 2021. Subjek uji yang direncakanan adalah sebanyak 1850 dengan dilakukan secara acak dengan desain double blind. Subjek uji adalah kriteria pasien COVID-19 dengan derajat ringan sampai sedang yang tidak dirawat di RS usia lebih dari 18 tahun.
Dosis yang digunakan 200 mg, 400 mg, dan 800 mg selama 5 hari total 10 dosis. Parameter dari efikasi yang diamati adalah presentasi subjek yang perlu perawatan di RS atau meninggal dalam 29 hari pengamatan. Sementara untuk parameter keamanan yang dialami adalah subjek yang mengalami kejadian yang tak diingnkan dalam pengamatan selama 7 bulan.
Untuk saat ini, uji fase 3 masih belum selesai. Namun, Merck sempat merilis hasil uji interim atau analisis sementara dari 762 subjek. Hasil analisis sementara ini berisi bahwa jumlah subjek yang dirawat/meninggal dunia dalam 29 pengamatan ketika mendapat terapi Molnupiravir adalah 28 dari 385 subjek. Sementara untuk subjek yang diberi plasebo, mencapai angka 53 dari 377 subjek.
Hasil ini memberi kesimpulan sementara bahwa Molnupiravir bisa menekan perburukan dari COVID-19 sampai 50 persen. Namun demikian analisis ini masih berupa analisis sementara sampai uji klinik fase 3 selesai.
Advertisement
Efek samping dari Molnupiravir
Karena uji fase 3 Molnupiravir belum selesai dan data yang ada masih berupa hasil uji interim, efek samping dari obat ini masih belum bisa diidentifikasi.
"Kita belum bisa menjawab atau menjelaskan sekarang, karena memang belum ada datanya. jadi karena uji kliniknya sendiri belum selesai, datanya masih interim, kita juga belum melihat ada publikasinya dari hasil uji klinik ini, maka kita juga belum lihat efek samping apa yang dilaporkan, terkait obat ini." jelas Zullies.
Apakah Molnupiravir sudah bisa digunakan?
Merck sebagai pengembangan obat ini baru mengajukan emergency use authorization untuk penggunaan Molnupiravir. Untuk saat ini, Molnupiravir masih belum bisa digunakan di luar konteks pengujian. Di Indonesia juga belum ada uji klinik yang dilakukan terhadap obat ini. Jadi, hingga kini, Molnupiravir masih belum bisa digunakan sebagai terapi untuk COVID-19.
Lalu, apakah Molnupiravir bisa jadi alternatif untuk Favipiravir sebagai terapi COVID-19? Menurut Zullies, melihat dari mekanismenya, kedua obat ini kira-kira hampir sama yaitu bekerja pada enzim RdRp. Mereka juga sama-sama analog dari nukleosida. Kemudian secara penggunaan, juga per oral jadi mirip dengan Favipiravir.
"Kita bisa mengharap bahwa nanti (Molnupiravir) bisa menjadi alternatif bagi Favipiravir." jelas Zullies.
Advertisement