Liputan6.com, Jakarta Vaksin booster adalah dosis vaksin tambahan. Vaksin booster COVID-19 diberikan pada suntikan ketiga, usai enam bulan suntikan dosis lengkap diberikan. Mengapa vaksin booster COVID-19 diperlukan?
Vaksin booster COVID-19 dapat memungkinkan sistem kekebalan tubuh mengenali dan merespon virus lebih cepat. Melansir Medical News Today, pada Selasa (4/1/2022) vaksin booster diperlukan karena sistem kekebalan berkurang seiring bertambahnya waktu dan mengantisipasi varian virus baru.
Baca Juga
Advertisement
Bagaimana mekanisme pemberian vaksin booster COVID-19 itu? Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (4/1/2022) membolehkan setiap peserta memilih jenis vaksin berbeda dari dua dosis awal untuk suntikan booster.
Vaksinasi booster dengan jenis vaksin berbeda disebut dosis heterolog. Sementara vaksinasi booster dengan jenis vaksin sama seperti dosis awal disebut homolog. Mana yang lebih efektif atau menguntungkan?
Berikut Liputan6.com ulas tentang apa itu vaksin booster COVID-19 lebih mendalam, Selasa (4/1/2022).
Mekanisme Pemberian Vaksin Booster
The European Medicines Agency (EMA) dan the European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) memaparkan bukti penelitian tentang vaksinasi heterolog dan homolog, dikutip pada Selasa (4/1/2021).
Hasil penelitian menunjukkan, vaksinasi menggunakan jenis vaksin berbeda (heterolog) antara vaksin vektor virus dan vaksin mRNA dapat menghasilkan antibodi yang baik terhadap COVID-19 dan memberikan respon sel T (membantu tubuh melawan infeksi virus SARS-CoV-2) yang lebih tinggi daripada menggunakan jenis vaksin yang sama (vaksinasi homolog).
Tak hanya mampu meningkatkan respon sel T, vaksinasi heterolog juga mampu meningkatkan sel B memori (berperan mengikat virus untuk mengganggu kemampuannya menginfeksi sel manusia) dibanding pada vaksinasi homolog.
Adanya vaksinasi heterolog memungkinkan adanya fleksibilitas dalam hal pilihan vaksinasi. Terutama mengurangi dampak apabila ada jenis vaksin yang tidak tersedia pada kondisi tertentu. Meski baru ada sedikit bukti, tetapi ilmuwan mengatakan itu cukup menunjukkan metode vaksinasi demikian bisa digunakan.
Lalu bagaimana dengan efek samping vaksinasi menggunakan jenis vaksin berbeda (heterolog)?
Bukti awal penelitian yang ada saat ini, secara konsisten menunjukkan efek samping yang dapat ditolerasi. Meski pada beberapa penelitian juga menunjukkan ada efek samping lebih parah seperti nyeri, demam, sakit kepala, dan kelelahan, tetapi tidak konsisten atau jarang terjadi.
Advertisement
Efektivitas Jangka Pendek dan Panjang Vaksin Booster
Efektivitas jangka pendek vaksinasi booster dengan mekanisme pemberian heterolog dan homolog, pada studi baru-baru ini menunjukkan hasil yang baik. Hal ini diungkap Medical News Today dilansir, Selasa (4/1/2022).
Sebuah studi dalam jurnal The Lancet, ditemukan kedua mekanisme pemberian vaksinasi booster COVID-19 efektif meningkatkan respon kekebalan tubuh pada 28 hari setelah penyuntikan. Efek sampingnya pun sama-sama bisa ditoleransi.
“Data efek samping menunjukkan ketujuh vaksin aman digunakan sebagai dosis ketiga atau booster, dengan tingkat peradangan yang dapat diterima. Mulai dari efek nyeri di tempat suntikan, nyeri otot, dan kelelahan,” kata penulis utama penelitian, profesor di University of Southampton di Inggris, Dr. Saul Faust, Ph.D.
Tujuh vaksin booster COVID-19 yang dimaksudkan adalah Oxford-AstraZeneca, Pfizer-BioNTech, Modern, Novavax, Johnson & Johnson (Jansen), Curevac, dan Valneva.
Sementara efektivitas atau keuntungan jangka panjang vaksinasi booster COVID-19 dengan mekanisme pemberian heterolog dan homolog masih belum ada jaminan kuat. EMA dan ECDC menjelaskan ada satu penelitian yang menunjukkan penurunan perlindungan pada infeksi sejak 6 bulan setelah vaksinasi heterolog.
Begitu pula ada penelitian menunjukkan terjadinya penurunan efektivitas lebih besar dan cepat terjadi di antara individu yang lemah. Mulai dari lansia dan mereka yang memiliki komorbid (penyakit bawaan).
Pada penjelasan hasil penelitian vaksinasi booster COVID-19 yang sudah dipaparkan, menurut para ilmuwan belum bisa ditarik kesimpulan secara jelas dan studi lebih lanjut masih sangat diperlukan.
Dosis Vaksin Booster Rekomendasi CDC
CDC merekomendasikan usia 18 tahun ke atas harus mendapatkan vaksin dosis ketiga atau vaksin booster setidaknya dua bulan setelah vaksin awal dengan jenis J&J (Johnson & Johnson).
Kemudian setidaknya enam bulan setelah vaksin awal dengan seri jenis vaksin Pfizer-BioNTech atau Moderna. Sementara usia 5 tahun ke atas, oleh CDC direkomendasikan mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis lengkap (dua dosis).
Penelitian terbaru yang dikeluarkan peneliti Universitas Oxford pada 13 Desember 2021 melansir CNBC, pada Sabtu (1/1/2022) diungkap dua dosis (vaksin lengkap) AstraZeneca dan Pfizer-BionTech kurang efektif.
Riset dilakukan dengan menguji sampel darah subjek selama 28 hari, setelah dosis kedua disuntik. Akan tetapi, para peneliti optimis suntikan ketiga atau vaksin booster bisa meningkatkan kekebalan terhadap varian Omicron yang memiliki kemampuan penularan tinggi.
Advertisement
Vaksinasi Booster Efektif Melawan Omicron
Fakta terbaru mengenai vaksin booster yang lebih ampuh melindungi dari Omicron telah dibuktikan pada penelitian yang dilakukan di Denmark melansir Reuters, pada Sabtu (1/1/2022). Penelitian ini dilakukan pada 12.000 rumah tangga dengan infeksi COVID-19, termasuk 2.225 rumah tangga diantaranya dengan infeksi varian Omicron.
Pada kesempatan yang lain, penelitian juga dilakukan di Inggris pada 528.176 kasus Omicron dan 573.012 kasus Delta. Hasilnya diterbitkan oleh Badan Keamanan Kesehatan Inggris yang bekerja bersama unit Biostatistik MRC Universitas Cambridge, menunjukkan jumlah pasien rawat inap Omicron lebih rendah daripada Delta, tepatnya sepertiga varian Delta.
1. Penularan Masih 3,7 Kali Lebih Tinggi daripada Delta
Hasil penelitian menunjukkan infeksi masih tinggi terjadi di rumah dengan anggota keluarga yang sudah mendapat suntikan vaksin booster. Pada varian Omicron, penularan hampir 3,7 kali lebih tinggi terjadi daripada varian Delta. Penelitian ini masih membutuhkan tindakan lebih lanjut lagi.
2. Kemungkinan Terinfeksi Rendah
Para peneliti menuturkan objek penelitian baru sebatas pada penularan yang terjadi di rumah tangga. Meski demikian, hasil penelitian juga menunjukkan orang yang sudah mendapat vaksin booster 56 persen lebih kecil kemungkinannya terinfeksi dibanding yang belum menerima vaksin booster.
3. Kemungkinan Menularkan Rendah
Hasil penelitian lanjutannya menunjukkan, apabila infeksi Omicron terjadi pada orang yang sudah mendapat vaksin booster, kecil kemungkinan untuk menularkannya kembali kepada anggota keluarga yang lain daripada yang belum.
4. Mengurangi Risiko Rawat Inap
Vaksin COVID-19 memberikan peranan penting pada risiko rawat inap ini. Hasil penelitian yang dilakukan di Inggris menunjukkan risiko rawat inap varian Omicron lebih rendah pada penderita yang sudah mendapat vaksinasi dosis lengkap (2 dosis) dan vaksin booster (3 dosis).
Pengurangan risiko rawat inap berkurang mencapai 81 persen pada pasien yang sudah mendapat vaksin booster, apabila dibandingkan dengan pasien yang belum mendapatkan vaksinasi COVID-19 sama sekali. Presentasenya mungkin akan berbeda bila dibandingkan dengan pasien yang baru mendapat vaksinasi 2 dosis.
Meski demikian, Kepala Penasihat Medis di The UK Health Security Agency (UKHSA) Susan Hopkins, mengatakan pada hasil penelitian yang sudah dilakukan itu belum cukup karna objek belum dimaksimalkan. Begitu pula masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan “pasti” tentang risiko rawat inap dan peningkatan penularan Omicron.