Liputan6.com, Jakarta Culture lag adalah fenomena sosial yang sering terjadi dalam masyarakat. Culture lag menggambarkan apa yang terjadi dalam sistem sosial ketika mengalami perubahan dan efeknya yang tidak merata. Biasanya, culture lag adalah hasil gesekan antara penemuan baru dan norma-norma yang masih berlaku.
Baca Juga
Advertisement
Dalam masyarakat, culture lag adalah proses yang berkaitan dengan perubahan yang berlangsung cepat. Culture lag adalah salah satu penyebab konflik dan krisis etika. Sebutan lain dari culture lag adalah ketertinggalan budaya atau kesenjangan budaya.
Pencetus teori culture lag adalah William F. Ogburn. Isi teori culture lag adalah menyatakan bahwa ada kesenjangan antara nilai-nilai budaya tradisional dan realitas teknis di dunia. Berikut penjelasan tentang culture lag, teori, dampak, dan contohnya, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Jumat(21/01/2022).
Apa itu Culture lag?
Menurut Sociology Dictionary, Culture lag adalah jangka waktu antara pengenalan perkembangan teknologi baru (budaya material) ke dalam budaya atau masyarakat. Culture lag bisa diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan budaya untuk mengejar inovasi dalam teknologi. Culture lag juga bisa disebut dengan ketertinggalan budaya.
Ketertinggalan budaya terjadi ketika teknologi berkembang lebih cepat daripada aspek budaya non-materi. Dengan kata lain, Culture lag adalah ketika perubahan teknologi, atau sesuatu yang serupa seperti alat, berkembang lebih cepat daripada yang dapat diproses oleh masyarakat.
Advertisement
Teori Culture lag
Istilah Culture lag diciptakan oleh William F. Ogburn pada tahun 1992 dalam karyanya 'Social Change With Respect to Culture and Original Nature'. Culture lag atau ketertinggalan budaya adalah periode yang terjadi ketika budaya nonmaterial berjuang untuk beradaptasi dengan kondisi material yang baru.
Ogburn memperhatikan bahwa budaya material cenderung berkembang dan maju lebih cepat daripada budaya non-material. Budaya mengacu pada ide, kebiasaan, pemikiran, perilaku, dan segala sesuatu kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya memiliki dua aspek, material dan nonmaterial.
Aspek material mengacu pada bagian budaya yang lebih nyata, seperti teknologi, pakaian, mobil, telepon, dan apa pun yang dapat dilihat dan sentuh daripada diamati. Aspek nonmaterial mengacu pada bagian budaya yang tidak berwujud, seperti bahasa, ideologi, norma, nilai, gerak tubuh, dll.
Ogburn merasa bahwa budaya material cenderung lebih maju dengan pesat, sedangkan norma-norma masyarakat cenderung menolak perubahan dan maju jauh lebih lambat.
Bagaimana Culture lag terjadi?
Budaya masyarakat bisa berubah seiring waktu, baik itu dalam aspek material maupun nonmaterial. Seringkali, budaya material cenderung mengalami perubahan lebih cepat daripada aspek non-material. Ini membuat teknologi cenderung berkembang sebelum masyarakat menyesuaikannya.
Menurut Sociologygroup, Culture lag terjadi ketika budaya non material tidak mampu mengimbangi budaya material. Culture lag dianggap terjadi karena nilai-nilai dan ideologi serta cara berpikir cenderung berkembang lebih lambat daripada teknologi.
Advertisement
Efek Culture lag pada masyarakat
Culture lag menciptakan masalah bagi masyarakat dengan cara yang berbeda. Ketertinggalan yang diciptakan Culture lag memunculkan masalah dan konflik sosial. Efek Culture lag sering muncul ketika adanya ilmu pengetahuan atau teknologi baru.
Contohnya, munculnya penelitian sel punca telah memunculkan banyak teknologi medis baru yang berpotensi menguntungkan. Namun teknologi baru ini juga menimbulkan pertanyaan etis yang serius tentang penggunaan sel punca dalam pengobatan.
Culture lag pada kasus ini adalah ketakutan orang untuk menggunakan praktik medis baru yang mungkin bermanfaat karena masalah etika. Hal ini menunjukkan bahwa benar-benar ada keterputusan antara budaya material (penelitian sel induk) dan budaya non-material (Masalah dengan etika).
Culture lag dipandang sebagai masalah etika yang kritis karena kegagalan untuk mengembangkan konsensus sosial yang luas tentang penggunaan teknologi modern yang tepat dapat menyebabkan rusaknya solidaritas sosial dan munculnya konflik sosial.
Beda Culture lag dan Culture shock
Culture lag adalah istilah yang sering dikaitkan dengan Culture shock. Keduanya bahkan kerap tertukar penyebutannya. Culture lag dan Culture shock adalah kondisi yang berbeda.
Culture shock diartikan sebagai guncangan budaya atau kejutan budaya. Culture shock menggambarkan perasaan negatif yang dimiliki seseorang ketika menyesuaikan diri dengan budaya baru. Culture shock mengacu pada perasaan ketidakpastian, kebingungan, atau kecemasan yang mungkin dialami orang ketika mengadapi keadaan yang asing atau baru.
Sementara Culture lag mengacu pada gagasan bahwa masyarakat membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi atau sosial. Culture lag bisa menyebabkan timbulnya cultur shock.
Advertisement
Contoh culture lag
Penemuan vaksin HPV
Vaksin HPV merupakan penemuan untuk mencegah kanker serviks yang bisa disebabkan oleh virus Human Papilloma Virus (HPV). Vaksin ini bisa diberikan kepada remaja atau praremaja. Namun, penemuan vaksin ini menimbulkan banyak masalah etika.
Culture lag menghasilkan anggapan bahwa vaksin HPV mendorong anak-anak untuk melakukan aktivitas seksual sejak usia dini. Isu tersebut diangkat karena fakta bahwa kanker serviks diperoleh melalui virus HPV menyebar melalui awal aktivitas seksual. Sehingga seorang wanita kemungkinan besar terkena kanker jika dia melakukan aktivitas seksual.
Rekayasa genetika
Rekayasa genetika melibatkan mengubah DNA atau materi genetik dari organisme seluler untuk mengubah atau menambahkan sifat baru. Misalnya, calon orang tua dapat menggunakan rekayasa genetika untuk memilih warna mata atau jenis kelamin anak mereka yang belum lahir. Namun, banyak orang melihat jenis rekayasa genetika ini sebagai tidak etis dan percaya itu dapat menyebabkan konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Ini adalah contoh dari culture lag.
Â