Sukses

Mengenal Hari Raya Galungan dan Kuningan Beserta Rangkaiannya

Hari Raya Galungan adalah hari di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya.

Liputan6.com, Jakarta Hari Raya Galungan adalah hari raya yang dirayakan oleh umat Hindu Bali Setiap 210 hari sekali menggunakan perhitungan kalender Bali. Hari Raya Galungan dirayakan pada hari Budha Kliwon Dungulan sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

Galungan dalam bahasa Jawa Kuno memiliki arti bertarung. Galungan disebut juga dengan “dungulan” yang artinya menang. Perbedaan penyebutan Wuku Galungan (di Jawa) dengan Wuku Dungulan (di Bali) adalah sama artinya, yakni wuku yang kesebelas.

Hari Raya Galungan adalah hari di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya. Serta merayakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma).

Berikut Liputan6.com rangkum dari buleleng.bulelengkab.go.id, Selasa (7/6/2022) tentang Hari Raya Galungan.

2 dari 4 halaman

Mengenal Hari Raya Galungan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). 

Perayaan Hari Raya Galungan identik dengan penjor yang dipasang di tepi jalan, menghiasi jalan raya yang bernuansa alami. Penjor adalah bambu yang dihias sedemikian rupa sesuai tradisi masyarakat Bali setempat.

Hari Raya Galungan adalah hari di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya. Hari Raya Galungan juga untuk merayakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma).

Sebagai ucapan syukur, umat Hindu memberi dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara (dengan segala manifestasinya). Penjor yang terpasang di tepi jalan sendiri merupakan haturan ke hadapan Bhatara Mahadewa.

3 dari 4 halaman

Rangkaian Hari Raya Galungan

Tumpek Wariga

Tumpek Wariga jatuh pada 25 hari sebelum Galungan.  Pada hari Tumpek Wariga Ista Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa Kemakmuran dan Keselamatan Tumbuh-tumbuhan. Adapun tradisi masyarakat untuk merayakannya adalah dengan menghaturkan banten (sesaji) yang berupa bubuh (bubur) sumsum yang berwarna, seperti bubuh putih untuk umbi-umbian, bubuh bang untuk padang-padangan, bubuh gadang untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara generatif, bubuh kuning untuk bangsa pohon yang berkembangbiak secara vegetatif.

Pada hari Tumpek Wariga ini semua pepohonan akan disirami air suci yang dimohonkan di sebuah Pura dan diberi sesaji berupa bubuh tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh dan diisi sasat. Setelah selesai kemudian pemilik pohon akan menggetok atau mengelus batang pohon sambil bermonolog, yang maknanya berupa harapan si pemilik pohon agar nantinya pohon yang diupacarai dapat segera berbuah/menghasilkan, sehingga dapat digunakan untuk upacara hari raya Galungan. Peringatan hari ini merupakan wujud Cinta Kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.

Sugihan Jawa

Sugihan Jawa adalah hari sebagai pembersihan/penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung). Pada hari ini umat melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon, yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menetralisir segala sesuatu yang negatif pada Bhuana Agung, disimbolkan dengan pembersihan Merajan dan Rumah. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk haturan yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sugihan Jawa dirayakan setiap hari Kamis Wage wuku Sungsang.

Sugihan Bali

Sugihan Bali memiliki makna yaitu penyucian/pembersihan diri sendiri. Tata cara pelaksanaannya adalah dengan cara mandi, melakukan pembersihan secara fisik, dan memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih sebagai simbolis penyucian jiwa raga untuk menyongsong hari Galungan yang sudah semakin dekat. Sugihan Bali dirayakan setiap hari Jumat Kliwon wuku Sungsang

Hari Penyekeban

Hari Penyekeban ini memiliki makna filosofis untuk “nyekeb indriya” yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama. Hari Penyekeban ini dirayakan setiap Minggu Pahing wuku Dungulan.

Hari Penyajan

Penyajan berasal dari kata Saja yang dalam bahasa Bali artinya benar, serius. Japada hari penyajan ini memiliki filosofis untuk memantapkan diri untuk merayakan hari raya Galungan. Menurut kepercayaan, pada hari ini umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat lagi menuju Galungan. Hari ini dirayakan setiap Senin Pon wuku Dungulan.

Hari Penampahan

Hari Penampahan dilakukan sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage wuku Dungulan. Pada hari ini umat akan disibukkan dengan pembuatan penjor sebagai ungkapan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang diterima selama ini. Penjor ini dibuat dari batang bambu melengkung yang diisi hiasan sedemikian rupa.

Selain membuat penjor umat juga menyembelih babi yang dagingnya akan digunakan sebagai pelengkap upacara, penyembelihan babi ini juga mengandung makna simbolis membunuh semua nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, pada hari Penampahan ini para leluhur akan mendatangi sanak keturunannya yang ada di dunia, karena itulah masyarakat juga membuat suguhan khusus yang terdiri atas nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, lekesan (daun sirih dan pinang) atau rokok yang ditujukkan kepada leluhur yang “menyinggahi” mereka di rumahnya masing-masing.

4 dari 4 halaman

Rangkaian Hari Raya Galungan

Hari Raya Galungan

Pagi hari umat telah memulai upacara untuk Hari Raya Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di rumah masing-masing, hingga ke Pura sekitar lingkungan. Tradisi yang kerap kita jumpai pada Galungan adalah Tradisi Pulang Kampung. Umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang  ke daerah kelahirannya masing-masing. 

Hari Umanis Galungan

Pada umanis Galungan, umat akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara atau tempat rekreasi. Anak-anak akan melakukan tradisi ngelawang pada hari ini. Ngelawang adalah sebuah tradisi, di mana anak-anak akan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya (lawang ke lawang). Penduduk yang mempunyai rumah tersebut kemudian akan keluar dari rumah sambil membawa canang dan sesari/uang. Penduduk percaya bahwa dengan tarian barong ini dapat mengusir segala aura negatif dan mendatangkan aura positif. Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan

Hari Pemaridan Guru 

Kata Pemaridan Guru berasal dari kata Marid dan Guru. Memarid sama artinya dengan ngelungsur/nyurud (memohon) , dan Guru tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dapat diartikan bahwa hari ini adalah hari untuk nyurud/ngelungsur waranugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Dirayakan pada Sabtu Pon wuku Galungan.

Ulihan

Ulihan artinya pulang/kembali. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah hari kembalinya para dewata-dewati/leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugerah panjang umur. Dirayakan pada Minggu Wage wuku Kuningan.

Hari Pemacekan Agung

Kata pemacekan berasal dari kata pacek  yang artinya tekek atau tegar. Makna pemacekan agung ini adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan. Dirayakan pada Senin Kliwon wuku Kuningan.

Hari Kuningan

Hari Suci Kuningan dirayakan umat dengan cara memasang tamiang, kolem, dan endong. Tamiang adalah simbol senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra. Kolem adalah simbol senjata Dewa Mahadewa, sedangkan Endong adalah simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh Para Dewata dan Leluhur saat berperang melawan adharma. Tamiang kolem dipasang pada semua palinggih, bale, dan pelangkiran,  sedangkan endong dipasang hanya pada palinggih dan pelangkiran. 

Tumpeng  pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum. Keunikan hari raya Kuningan selain penggunaan warna kuning adalah yaitu persembahyangan harus sudah selesai sebelum jam 12 siang, sebab persembahan dan persembahyangan setelah jam 12 siang hanya akan diterima Bhuta dan Kala karena para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan. Hal ini sebenarnya mengandung nilai disiplin waktu dan kemampuan untuk memanajemen waktu. Warna kuning yang identik dengan hari raya Kuningan memiliki makna kebahagiaan, keberhasilan, dan kesejahtraan.

Hari Pegat Wakan

Hari ini adalah runtutan terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan. Dilaksanakan dengan cara melakukan persembahyangan, dan mencabut penjor yang telah dibuat pada hari Penampahan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Hari Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah galungan.